Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Sitti Hikmawatty mendesak agar polisi mengutamakan asas restorative justice pada Sistem Peradilan Pidana pada Anak (SPPA) menilik terdapat Anak Berhadapan dengan Hukum dalam kericuhan 21-22 Mei.

Pernyataan Hikmah kepada wartawan di Jakarta, Senin, itu terkait keprihatinan KPAI atas kurang terlihatnya keberpihakan pihak aparat dalam mengatasi kasus anak dalam kericuhan 21-22 Mei. Ditemukan indikasi-indikasi polisi belum menerapkan SPPA yang sangat mengutamakan restorative justice.

"KPAI dalam waktu dekat akan menyampaikan data-data terkait pendalaman kasus ini kepada publik. Tujuannya, selain untuk meluruskan kesimpangsiuran data yang ada sekaligus menjelaskan posisi KPAI dalam menyikapi kasus kerusuhan Mei yang melibatkan cukup banyak anak, yang seharusnya berada di ranah perlindungan," kata dia.

Dia mengatakan KPAI pada Jumat (26/7) menerima laporan pengaduan dari pendamping hukum anak-anak yang terlibat kasus kerusuhan tanggal 21-22 Mei 2019 di sekitaran kantor Bawaslu.

"Laporan pengaduan yang disampaikan Riki Martin selaku Direktur Paham (Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia) Indonesia, sekaligus juga menyampaikan bukti-bukti tertulis tentang proses pendampingan hukum yang dilakukan lembaga tersebut kepada KPAI," kata dia.

Selain berkas hukum acara terkait beberapa klien yang dibantunya tersebut, Hikmah mengatakan pelapor juga melengkapi itu dengan bukti-bukti kekerasan yang diterima anak-anak selama masa penangkapan dan pemeriksaan.

Dalam kesempatan pertemuan itu, kata dia, disampaikan beberapa hal yang sangat krusial untuk ditindaklanjuti KPAI sebagai institusi resmi perlindungan anak di Indonesia.

Baca juga: Perlindungan anak dari radikalisme perlu ditingkatkan, sebut KPAI

Baca juga: KPPPA: anak jangan sampai terpapar radikalisme

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019