Mataram (ANTARA) - Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian (Kementan), Dedi Nursyamsi, memotivasi kaum milenial atau generasi muda di Nusa Tenggara Barat untuk berani menggarap tiga komoditas yang sudah terbukti memberikan keuntungan.
"Kami berharap para petani milenial di NTB, terjun di tiga komoditas, yakni tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan yang sudah terjamin dan terbukti keuntungannya," kata Dedi, usai membuka pertemuan koordinasi penumbuhkembangan pengusaha pertanian milenial, di Mataram, Kamis.
Menurut dia, tanaman pangan berupa jagung, dan bawang sebagai salah satu tanaman hortikultura merupakan komoditas yang sudah berkembang di NTB, dan bisa untuk ekspor. Begitu juga dengan peternakan.
Untuk bisa sukses sebagai petani milenial dengan tiga komoditas tersebut harus menerapkan teknologi modern dalam berwirausaha tani, terutama menggunakan mekanisasi untuk efisiensi produksi.
Begitu juga dengan pemasaran hasil pertanian harus menggunakan teknologi informasi secara daring (online), sehingga pemasaran dan penjualan barang tidak lagi secara manual, terutama untuk skala ekspor.
"Seluruh dunia tendensi milenial menekuni usaha pertanian memang menurun. Untuk menyiasatinya tentu dengan inovasi teknologi. Sekarang sudah revolusi industri 4.0, dan yang menguasai adalah milenial, makanya banyak 'start up' berkembang," ujarnya.
Ia menyebutkan jumlah petani di Indonesia sekitar 33 juta orang. Namun yang berusia milenial sekitar 8 persen, sisanya tergolong petani "kolonial" atau usianya sudah kurang produktif lagi.
Sebagian besar petani milenial tersebut masih terfokus di Pulau Jawa, belum merata ke seluruh Tanah Air. Termasuk di NTB, dan Bali, masih relatif sedikit jumlahnya.
"Ke depan, petani milenial harus diduflikasi ke seluruh Tanah Air, tidak hanya di Pulau Jawa saja," katanya.
Kepala Pusat Pelatihan Pertanian (Puslatan) Kementan, Bustanul Arifin Caya menambahkan, kalangan generasi muda di NTB, harus mampu memanfaatkan potensi sektor pertanian di daerah, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun orientasi ekspor.
"Kalau sektor pertanian, khususnya tanaman pangan, hortikultura dan peternakan dikelola dengan baik, mulai dari hulu sampai hilir, maka akan mampu memberikan keuntungan yang relatif bagus," ucap Bustanul.
Pertemuan koordinasi penumbuhkembangan pengusaha pertanian milenial tersebut diikuti oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelatihan Kementan dari beberapa provinsi, perwakilan Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB, serta dari Bali.
Selain itu, dari Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) NTB sebanyak 15 orang, dan P4S Bali 5 orang, serta dari siswa SMKPP Negeri Mataram.
Kegiatan tersebut bertujuan untuk mewujudkan persamaan persepsi dan pemahaman dalam membahas konsep penumbuhan petani pengusaha milenial berorientasi ekspor.
"Kami berharap para petani milenial di NTB, terjun di tiga komoditas, yakni tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan yang sudah terjamin dan terbukti keuntungannya," kata Dedi, usai membuka pertemuan koordinasi penumbuhkembangan pengusaha pertanian milenial, di Mataram, Kamis.
Menurut dia, tanaman pangan berupa jagung, dan bawang sebagai salah satu tanaman hortikultura merupakan komoditas yang sudah berkembang di NTB, dan bisa untuk ekspor. Begitu juga dengan peternakan.
Untuk bisa sukses sebagai petani milenial dengan tiga komoditas tersebut harus menerapkan teknologi modern dalam berwirausaha tani, terutama menggunakan mekanisasi untuk efisiensi produksi.
Begitu juga dengan pemasaran hasil pertanian harus menggunakan teknologi informasi secara daring (online), sehingga pemasaran dan penjualan barang tidak lagi secara manual, terutama untuk skala ekspor.
"Seluruh dunia tendensi milenial menekuni usaha pertanian memang menurun. Untuk menyiasatinya tentu dengan inovasi teknologi. Sekarang sudah revolusi industri 4.0, dan yang menguasai adalah milenial, makanya banyak 'start up' berkembang," ujarnya.
Ia menyebutkan jumlah petani di Indonesia sekitar 33 juta orang. Namun yang berusia milenial sekitar 8 persen, sisanya tergolong petani "kolonial" atau usianya sudah kurang produktif lagi.
Sebagian besar petani milenial tersebut masih terfokus di Pulau Jawa, belum merata ke seluruh Tanah Air. Termasuk di NTB, dan Bali, masih relatif sedikit jumlahnya.
"Ke depan, petani milenial harus diduflikasi ke seluruh Tanah Air, tidak hanya di Pulau Jawa saja," katanya.
Kepala Pusat Pelatihan Pertanian (Puslatan) Kementan, Bustanul Arifin Caya menambahkan, kalangan generasi muda di NTB, harus mampu memanfaatkan potensi sektor pertanian di daerah, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun orientasi ekspor.
"Kalau sektor pertanian, khususnya tanaman pangan, hortikultura dan peternakan dikelola dengan baik, mulai dari hulu sampai hilir, maka akan mampu memberikan keuntungan yang relatif bagus," ucap Bustanul.
Pertemuan koordinasi penumbuhkembangan pengusaha pertanian milenial tersebut diikuti oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelatihan Kementan dari beberapa provinsi, perwakilan Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB, serta dari Bali.
Selain itu, dari Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) NTB sebanyak 15 orang, dan P4S Bali 5 orang, serta dari siswa SMKPP Negeri Mataram.
Kegiatan tersebut bertujuan untuk mewujudkan persamaan persepsi dan pemahaman dalam membahas konsep penumbuhan petani pengusaha milenial berorientasi ekspor.