Mataram (ANTARA) - Rencana pemerintah melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kegiatan logistik nasional dalam upaya menekan biaya logistik dinilai akan menimbulkan persoalan baru, yakni tingginya biaya logistik.
Direktur The National Maritime Institute (NAMARIN), Siswanto Rusdi, Jumat di Jakarta menjelaskan, persoalan tersebut muncul dari akan makin panjangnya mata rantai proses logistik karena mesti melewati pertimbangan lembaga pencegah rasuah itu.
“Ini memang baru asumsi saya mengingat pelibatan KPK baru disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto beberapa waktu lalu. Pemerintah pasti sedang menyiapkan langkah-langkah untuk itu,” katanya.
Siswanto lebih lanjut mengemukakan, apapun langkah yang akan ditempuh pemerintah itu berpeluang menjadikan sektor logistik nasional makin “highly regulated”, sehingga alih-alih menurunkan biaya logistik, malah justru akan mendongkraknya menjadi makin tinggi.
Menurut dia, pemerintah harus ingat kebijakan menekan “dwelling time” (waktu tunggu kontainer) di pelabuhan lima tahun yang lalu. Berbagai regulasi yang dikeluarkan untuk menekan dwelling time malah mendorong naiknya ongkos logistik.
Tidak lain karena “lift-off” (kegiatan menurunkan) dan “lift-on” (menaikkan) kargo makin tinggi dalam upaya mengurangi penumpukan kontainer di Container Yard (CY). CY adalah suatu tempat atau lapangan yang digunakan untuk tempat penumpukan peti kemas yang berisi ataupun yang kosong.
“Karena itu pemerintah sebaiknya mengurungkan niatnya untuk melibatkan KPK dalam kegiatan logistik nasional. Biarkan saja bisnis berjalan sebagaimana biasa. Bila dinilai ada perbuatan melanggar hukum dalam proses bisnis yang ada, serahkan kepada sistem hukum yang berlaku,” kata Direktur Namarin.
Ia menambahkan, pelibatan KPK bisa disebut sebagai extra judicial, dan hal seperti ini biasanya malah akan membuat tingkat kepastian hukum atau ‘legal certainty’ Indonesia di mata internasional makin turun.
Direktur The National Maritime Institute (NAMARIN), Siswanto Rusdi, Jumat di Jakarta menjelaskan, persoalan tersebut muncul dari akan makin panjangnya mata rantai proses logistik karena mesti melewati pertimbangan lembaga pencegah rasuah itu.
“Ini memang baru asumsi saya mengingat pelibatan KPK baru disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto beberapa waktu lalu. Pemerintah pasti sedang menyiapkan langkah-langkah untuk itu,” katanya.
Siswanto lebih lanjut mengemukakan, apapun langkah yang akan ditempuh pemerintah itu berpeluang menjadikan sektor logistik nasional makin “highly regulated”, sehingga alih-alih menurunkan biaya logistik, malah justru akan mendongkraknya menjadi makin tinggi.
Menurut dia, pemerintah harus ingat kebijakan menekan “dwelling time” (waktu tunggu kontainer) di pelabuhan lima tahun yang lalu. Berbagai regulasi yang dikeluarkan untuk menekan dwelling time malah mendorong naiknya ongkos logistik.
Tidak lain karena “lift-off” (kegiatan menurunkan) dan “lift-on” (menaikkan) kargo makin tinggi dalam upaya mengurangi penumpukan kontainer di Container Yard (CY). CY adalah suatu tempat atau lapangan yang digunakan untuk tempat penumpukan peti kemas yang berisi ataupun yang kosong.
“Karena itu pemerintah sebaiknya mengurungkan niatnya untuk melibatkan KPK dalam kegiatan logistik nasional. Biarkan saja bisnis berjalan sebagaimana biasa. Bila dinilai ada perbuatan melanggar hukum dalam proses bisnis yang ada, serahkan kepada sistem hukum yang berlaku,” kata Direktur Namarin.
Ia menambahkan, pelibatan KPK bisa disebut sebagai extra judicial, dan hal seperti ini biasanya malah akan membuat tingkat kepastian hukum atau ‘legal certainty’ Indonesia di mata internasional makin turun.