Mataram (ANTARA) - Warga dari sejumlah lingkungan di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, mulai menerapkan sistem pembatasan sosial dengan karantina lokal untuk mencegah penularan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Nampaknya aturan jam malam yang dimulai pada Sabtu (28/3), pukul 22.00 Wita, sesuai surat edaran Pemerintah Kota Mataram, sudah membangkitkan kesadaran warganya untuk melakukan proteksi diri dari ancaman virus mematikan tersebut.
Dari pantauan ANTARA, Jumat, hampir sebagian banyak lingkungan di Kota Mataram telah menutup akses masuknya dengan mulai menerapkan sistem ke luar masuk satu pintu.
Penutupan akses masuk lingkungan dibuat swadaya dengan berbagai cara dan kreativitas warganya. Ada yang memanfaatkan sambungan tali rapia, papan kayu, bambu, dan juga besi bekas.
Spanduk permakluman bertuliskan penutupan jalan untuk mencegah penularan COVID-19, juga nampak menambah variasi penutupan akses jalan.
Seperti di Lingkungan Melayu Bangsal, yang berada dekat dengan kawasan wisata Pelabuhan Pantai Ampenan, Kota Mataram. Sejumlah akses masuk sudah di tutup dan hanya memberlakukan satu jalur alternatif bagi mobilitas warganya.
"kita berlakukan waktu jaga bergilir, mulai jam pagi, siang, dan malam. Akan ada juga ronda malam untuk keamanan," kata Kepala Lingkungan Melayu Bangsal, M Nur.
Inovasi dari warga Lingkungan Melayu Bangsal di Kecamatan Ampenan, nampaknya menular ke lingkungan sebelah. Terlihat Lingkungan Melayu Tengah yang berada dekat dengan jalur perlimaan Ampenan, turut menerapkan akses satu pintu.
Sejumlah akses jalan dan gang kecil ditutup. Warga hanya membuka satu jalur masuk yang tembus ke Jalan Pabean, Kota Mataram.
Hal serupa juga terpantau secara masif di sejumlah lingkungan wilayah Kota Mataram, seperti yang diberlakukan warga Lingkungan Kekalik Jaya, Karang Bedil, Tangsi, Sekarbela, Kapitan, dan Punia.
Akses jalan ditutup, pemberlakuan sistem keluar masuk satu pintu dengan pengawasan orang dan kendaraan yang masuk menjadi rutinitas baru bagi warga setempat.
Penerapan PSBB
Menanggapi perkembangan kasus COVID-19 yang kian masif di tanah air, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat.
Bapak Jokowi memberikan tiket bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sesuai aturan yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Tindak lanjut dari penetapan tersebut, Pemerintah Kota Mataram melalui surat edarannya membuat kebijakan baru dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Selain pemberlakuan jam malam, sekolah dan kampus diliburkan, kerumunan warga dibubarkan, kegiatan keagamaan dibatasi, tempat-tempat hiburan diminta untuk tutup, kecuali pasar dan ritel modern penyedia bahan pokok kebutuhan masyarakat.
Penerapan kebijakan baru ini tidak terlepas dari status Kota Mataram yang kini sudah masuk zona merah penyebaran COVID-19. Dari pendataan Rabu (1/4), tercatat Kota Mataram memiliki jumlah kasus terbanyak, tiga korban positif terjangkit virus corona yang salah satunya meninggal dunia.
Meskipun banyak lingkungan di Kota Mataram secara swadaya telah membatasi mobilitas warga dengan menerapkan akses keluar masuk satu pintu, namun pemahaman tentang penerapan sistem PSBB nampaknya masih kurang.
Dari pantauan ANTARA di Kota Mataram, masih terdapat masjid-masjid di beberapa lingkungan menggelar ibadah salat Jumat di tengah ancaman COVID-19 yang kian berkembang masif.
Padahal jauh hari sebelumnya, warga disarankan untuk beribadah di rumah. Begitu juga dengan salat Jumat, untuk sementara waktu ditiadakan. Imbauan tersebut diberikan sebagai komitmen bersama dalam mencegah penularan COVID-19.
Imbauan tersebut sudah mengacu pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang didukung Surat Edaran Gubernur NTB dan aturan Pasal 59 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang meliputi pembatasan kegiatan keagamaan.
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Sholeh kepada ANTARA di Jakarta, Kamis (2/4) malam, mengatakan, pria muslim yang menggugurkan kewajiban salat Jumat tiga kali berturut-turut di kala pandemi virus corona (Covid-19) tak lantas digolongkan kafir jika muslim bersangkutan menggantinya dengan melaksanakan salat zuhur di rumah.
Pria muslim yang tidak salat Jumat untuk menghindari wabah penyakit itu, dikatakan, mengalami "udzhur syar'i" atau segala halangan sesuai kaidah syariat Islam yang menyebabkan seseorang boleh untuk tidak melakukan kewajiban atau boleh menggantikan kewajiban itu dengan kewajiban lain.
"Menurut pandangan para ulama fikih (ilmu hukum agama) udzhur syar'i untuk tidak salat Jumat antara lain karena sakit atau karena khawatir mendapatkan sakit. Nah, dalam kondisi ketika berkumpul dan berkerumun itu diduga kuat akan terkena wabah atau menularkan penyakit, maka itu menjadi udzhur untuk tidak Jumatan (salat Jumat)," kata Asrorun.
Nampaknya aturan jam malam yang dimulai pada Sabtu (28/3), pukul 22.00 Wita, sesuai surat edaran Pemerintah Kota Mataram, sudah membangkitkan kesadaran warganya untuk melakukan proteksi diri dari ancaman virus mematikan tersebut.
Dari pantauan ANTARA, Jumat, hampir sebagian banyak lingkungan di Kota Mataram telah menutup akses masuknya dengan mulai menerapkan sistem ke luar masuk satu pintu.
Penutupan akses masuk lingkungan dibuat swadaya dengan berbagai cara dan kreativitas warganya. Ada yang memanfaatkan sambungan tali rapia, papan kayu, bambu, dan juga besi bekas.
Spanduk permakluman bertuliskan penutupan jalan untuk mencegah penularan COVID-19, juga nampak menambah variasi penutupan akses jalan.
Seperti di Lingkungan Melayu Bangsal, yang berada dekat dengan kawasan wisata Pelabuhan Pantai Ampenan, Kota Mataram. Sejumlah akses masuk sudah di tutup dan hanya memberlakukan satu jalur alternatif bagi mobilitas warganya.
"kita berlakukan waktu jaga bergilir, mulai jam pagi, siang, dan malam. Akan ada juga ronda malam untuk keamanan," kata Kepala Lingkungan Melayu Bangsal, M Nur.
Inovasi dari warga Lingkungan Melayu Bangsal di Kecamatan Ampenan, nampaknya menular ke lingkungan sebelah. Terlihat Lingkungan Melayu Tengah yang berada dekat dengan jalur perlimaan Ampenan, turut menerapkan akses satu pintu.
Sejumlah akses jalan dan gang kecil ditutup. Warga hanya membuka satu jalur masuk yang tembus ke Jalan Pabean, Kota Mataram.
Hal serupa juga terpantau secara masif di sejumlah lingkungan wilayah Kota Mataram, seperti yang diberlakukan warga Lingkungan Kekalik Jaya, Karang Bedil, Tangsi, Sekarbela, Kapitan, dan Punia.
Akses jalan ditutup, pemberlakuan sistem keluar masuk satu pintu dengan pengawasan orang dan kendaraan yang masuk menjadi rutinitas baru bagi warga setempat.
Penerapan PSBB
Menanggapi perkembangan kasus COVID-19 yang kian masif di tanah air, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat.
Bapak Jokowi memberikan tiket bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sesuai aturan yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Tindak lanjut dari penetapan tersebut, Pemerintah Kota Mataram melalui surat edarannya membuat kebijakan baru dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Selain pemberlakuan jam malam, sekolah dan kampus diliburkan, kerumunan warga dibubarkan, kegiatan keagamaan dibatasi, tempat-tempat hiburan diminta untuk tutup, kecuali pasar dan ritel modern penyedia bahan pokok kebutuhan masyarakat.
Penerapan kebijakan baru ini tidak terlepas dari status Kota Mataram yang kini sudah masuk zona merah penyebaran COVID-19. Dari pendataan Rabu (1/4), tercatat Kota Mataram memiliki jumlah kasus terbanyak, tiga korban positif terjangkit virus corona yang salah satunya meninggal dunia.
Meskipun banyak lingkungan di Kota Mataram secara swadaya telah membatasi mobilitas warga dengan menerapkan akses keluar masuk satu pintu, namun pemahaman tentang penerapan sistem PSBB nampaknya masih kurang.
Dari pantauan ANTARA di Kota Mataram, masih terdapat masjid-masjid di beberapa lingkungan menggelar ibadah salat Jumat di tengah ancaman COVID-19 yang kian berkembang masif.
Padahal jauh hari sebelumnya, warga disarankan untuk beribadah di rumah. Begitu juga dengan salat Jumat, untuk sementara waktu ditiadakan. Imbauan tersebut diberikan sebagai komitmen bersama dalam mencegah penularan COVID-19.
Imbauan tersebut sudah mengacu pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang didukung Surat Edaran Gubernur NTB dan aturan Pasal 59 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang meliputi pembatasan kegiatan keagamaan.
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Sholeh kepada ANTARA di Jakarta, Kamis (2/4) malam, mengatakan, pria muslim yang menggugurkan kewajiban salat Jumat tiga kali berturut-turut di kala pandemi virus corona (Covid-19) tak lantas digolongkan kafir jika muslim bersangkutan menggantinya dengan melaksanakan salat zuhur di rumah.
Pria muslim yang tidak salat Jumat untuk menghindari wabah penyakit itu, dikatakan, mengalami "udzhur syar'i" atau segala halangan sesuai kaidah syariat Islam yang menyebabkan seseorang boleh untuk tidak melakukan kewajiban atau boleh menggantikan kewajiban itu dengan kewajiban lain.
"Menurut pandangan para ulama fikih (ilmu hukum agama) udzhur syar'i untuk tidak salat Jumat antara lain karena sakit atau karena khawatir mendapatkan sakit. Nah, dalam kondisi ketika berkumpul dan berkerumun itu diduga kuat akan terkena wabah atau menularkan penyakit, maka itu menjadi udzhur untuk tidak Jumatan (salat Jumat)," kata Asrorun.