Jakarta (ANTARA) - Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati menyatakan bahwa jumlah armada pesawat di Indonesia mulai menunjukkan pemulihan setelah sempat mengalami penurunan drastis akibat pandemi COVID-19.
Adita dalam Evaluasi Publik Atas Kinerja Sektor Transportasi Umum dan Perhubungan Pemerintahan Jokowi yang dilaksanakan secara daring di Jakarta Rabu, mengatakan bahwa pandemi telah memberikan dampak signifikan terhadap industri penerbangan di Indonesia, termasuk jumlah armada yang beroperasi.
"Itu memang jumlah armada menurun drastis, sempat jatuh, (armada) hanya di sekitar 40 persen dibandingkan sebelum pandemi COVID-19, tetapi sekarang sudah mulai agak pulih meskipun belum mencapai titik imbangnya seperti sebelum pandemi," kata Adita.
Dia mengungkapkan bahwa sebelum pandemi, jumlah armada pesawat di Indonesia mencapai sekitar 800 unit. Namun, selama pandemi, jumlah tersebut menurun drastis hingga mencapai 60 persen.
Kementerian Perhubungan mencatat bahwa jumlah armada pesawat saat ini berada di kisaran 450 hingga 500 unit. Meskipun masih jauh dari jumlah ideal sebelum pandemi, pemulihan ini memberikan harapan bagi industri penerbangan untuk kembali bangkit.
"Kalau bicara jumlah pesawat, memang ini isu besar di Indonesia karena suplai pesawat itu menurun drastis pasca pandemi, ini karena situasi global juga belum pulih dan ini terjadi hampir di seluruh dunia dan tidak hanya di Indonesia," terang Adita.
Menurutnya pula, ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan juga masih menjadi masalah utama. Apalagi jumlah pesawat yang tersedia masih belum cukup untuk memenuhi lonjakan permintaan ini.
Menurutnya, hal itu menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan, yang berimbas pada harga tiket penerbangan.
"Dan ini juga yang menyebabkan suplai dan demand-nya juga tidak imbang, demand yang sangat tinggi itu hanya bisa dicukupi oleh pesawat yang ada," katanya.
Kementerian Perhubungan juga menyoroti pentingnya keberadaan lebih dari 800 armada pesawat untuk memenuhi permintaan perjalanan, terutama di daerah-daerah yang memiliki potensi besar, seperti kawasan pariwisata prioritas.
Meski begitu, Adita mengaku bahwa Pemerintah telah menetapkan koridor tarif batas atas dan tarif batas bawah untuk menjaga kestabilan harga tiket, namun maskapai diperbolehkan untuk menetapkan harga di batas atas sesuai dengan mekanisme pasar.
Meskipun demikian, kata Adita, Pemerintah terus memantau harga tiket agar tetap dalam koridor yang telah ditetapkan.
Apalagi, di beberapa periode tertentu, seperti musim mudik atau liburan Natal dan Tahun Baru, peningkatan permintaan perjalanan udara diprediksi akan terjadi. Kenaikan harga tiket di masa-masa tersebut dianggap wajar selama masih berada dalam batasan yang telah ditentukan.
Baca juga: Etihad tambah frekuensi penerbangan setiap hari ke Bali
Baca juga: Garuda Indonesia bidik peningkatan penumpang umrah tahun 2024
Meskipun demikian, pemerintah tetap waspada terhadap kemungkinan pelanggaran yang dilakukan oleh maskapai penerbangan terkait harga tiket.
Ia menegaskan, apabila terdapat pelanggaran tarif yang melebihi batas yang telah ditentukan, pemerintah akan menerapkan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
"Selama masih dalam koridor, Pemerintah tentu tidak bisa melakukan tindakan terhadap hal tersebut, tetapi kita tetap pantau kalau ada pelanggaran tentu akan ada sanksi yang akan diterapkan," tegas Adita.