Mataram (ANTARA) - Pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 menyebutkan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. 
       
Sementara itu pada Pasal 28 E dalam konstitusi itu secara jelas disebutkan “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…”.
       
Konstitusi itu sendiri adalah sebuah “perjanjian luhur” (nobel agreement) antara rakyat dan negara. Rakyat memberikan kuasa kepada negara agar hak-haknya dilindungi. Inilah yang disebut dengan “mandat konstitusi”.
       
Ketika ada hak warga negara di dalam konstitusi, maka di sana ada kewajiban konstitusional negara. Ini kedudukannya simetris. Hak keagaamaan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 E dan Pasal 29 UUD 1945 merupakan sebuah hak paling mendasar (fundamental rights) dari warga negara. 
       
Karena merupakan hak fundamental atau “non-derogable rights”, maka hak dimaksud tidak dapat dikesampingkan sama sekali. Salah satu hak keagamaan adalah, bagi umat Islam, menjalankan ibadah haji dan atau umroh. 
       
Indonesia baru memiliki Undang-undang Haji dan Umroh pada era kepemimpinan  Presiden BJ Habibie. Habibie sangat berjasa dalam memikirkan pelaksanaan haji dan umroh dengan diundangkannya UU No 17 Tahun 1999 tentang Haji dan Umroh. Sebelum itu yang digunakan adalah aturan kolonial yaitu Staatblad No 689 Tahun 1922. 
       
Terkait ibadah umrah, ada kasus di mana negara tidak memproteksi hak jamaah umrah yang gagal berangkat dengan jumlah ratusan ribu seperti jamaah PT First Anugerah Karya Wisata atau PT First Travel (FT) yang mencapai 63.310 orang maupun jamaah PT Amanah Bersama Umat atau PT Abu Tours (AT) sebanyak 86.720 orang.
       
Segala upaya hukum, baik pidana dan perdata maupun kepailitan semuanya buntu dan tidak membuahkan hasil. Jamaah tetap tidak bisa berangkat dan uangnya tetap tidak kembali. 
       
Meskipun Pemerintah membentuk Satgas Waspada Investasi (SWI) yang terdiri dari 13 lembaga negara dan kementerian seperti Kementerian Agama, Kemendagri, Kapolri, OJK, Kemenkominfo, Kementerian Koperasi, BKPM, Kemendikbud, Kemenristek, dan PPATK, tapi SWI sangat lemah dan tidak memiliki legal seat kuat. 
       
SWI gagal memberikan solusi terhadap kegagalan massif keberangkatan jamaah umroh. Padahal jika dilihat dari postur kelembagaannya, SWI seharunya powerful (sangat kuat) dan minimal memberikan alternatif solusi. Namun semuanya tidak terjadi. 
       
Dalam kasus First Travel, misalnya, di dalam putusan lembaga peradilan tertinggi di negeri ini, yakni Mahkamah Agung, asset yang berasal dari uang jamaah justru disita dan diambil negara. 
       
Padahal, asset tersebut bukan hasil dari uang korupsi, tapi dari kantong para jamaah yang banyak di antaranya berprofesi sebagai pedagang, satpam, penjual sayur, pensiunan, buruh dan sejenisnya.
       
Berdasarkan Pasal 117 UU No 8/2019 tentang Haji dan Umroh disebutkan secara jelas dan tegas bahwa uang jamaah tidak boleh diambil oleh siapapun, termasuk oleh negara.
       
Dalam kasus kegagalan keberangkatan jamaah First Travel, negara tidak hadir meskipun Menteri Agama (baik Menag Lukman Syaefuddin maupun Fahrul Rozi) memerintahkan agar semua jamaah yang gagal berangkat itu diberangkatkan atau uangnya dikembalikan. 
       
Menteri Agama Lukman Hakim mengeluarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) No 589/2017, sedangkan Menteri Agama Fahrul Rozi dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI menyampaikan janjinya untuk memberangkatkan jamaah secara bertahap.
       
Kenyataannya, sudah lebih dari empat tahun tidak ada satu pun jamaah yang gagal berangkat lalu diberangkatkan negara, sehingga tidak sedikit jamaah yang kemudian stress dan meninggal tanpa kejelasan. Padahal para jamaah itu ingin menapakkan kakinya, hadir ke Baitullah di Mekkah, meski hanya sekali dalam hidupnya. 
       
Dalam kasus ini negara bersikap diskriminatif, sementara pada kasus lain yang dihadapi sesama perseroan terbatas (PT), negara justru pasang badan dan menalangi perusahaan yang bermasalah serta memberikan ganti rugi kepada para korban yang mengalami kerugian dan penderitaan. 
       
Sebutlah misalnya dalam kasus PT Lapindo dengan kerugian hampir satu trilliun rupiah. Atau PT Bank Century dengan kerugian Rp 6, 76 trilliun, atau juga PTAsuransi  Jiwasraya dengan kerugian Rp 22 triliun. Dalam kasus-kasus itu negara hadir dengan  ringan tangan. Mengapa dalam kasus First Travel maupun Abu Tours negara alpa?
       
Dalam kaitan ini, hasil penelitian TM. Luthfi Yazid merekomendasikan bahwa negara dengan organnya yang disebut pemerintah mempunyai peluang dan kesempatan untuk memberangkatkan jamaah yang gagal berangkat umrah secara massif itu dengan menggunakan dasar 86 UU Haji dan Umroh. 
       
Berdasarkan pasal tersebut Presiden RI mengeluarkan Penetapan Presiden ataupun Kepres dan menetapkan bahwa kegagalan keberangkatan massif bagi  ratusan ribu jamaah umrah itu sebagai keadaan darurat dan luar biasa. Atas dasar itu pemerintah memberangkatkan para jamaah yang gagal berangkat tersebut. 
       
Selain itu, TM. Luthfi Yazid merekomendasikan agar dilakukan review (regulation reform) atas semua norma dan aturan terkait pelaksanaan umroh. Jika ada yang inkoheren dengan mandat konstitusi, maka mesti direvisi, diamandemen, atau dicabut.
       
Anjuran agar dilakukan digitalisasi penyelenggaraan perjalanan ibadah umroh juga menjadi saran dalam disertasi tersebut. Dengan digitalisasi biaya umroh dapat ditekan murah dan jamaah dapat menentukan sendiri kapan akan berangkat umroh dan kapan akan kembali ke tanah air. 
       
Selain itu jamaah akan dapat menentukan tempat untuk transit, misalnya di Istanbul, Kairo atau Dubai, sambil beristirahat. Semuanya dapat diatur dan dilaksanakan secara digital.
       
Perbandingan dengan negara lain juga dilakukan dalam studi peraih gelar Doktor dalam bidang hukum dengan predikat Cum laude itu, yakni perbandingan dengan Malaysia, Singapura, Jepang, Korea Selatan, dan Hongkong.
       
Studi TM. Luthfi Yazid kemudian menyimpulkan bahwa demi konstitusi Pemerintah bertanggungjawab untuk memberangkatkan jamaah yang gagal melaksanakan perjalanan ibadah umrah dan ingin bersimpuh di Baitullah itu.

*Tulisan ini adalah intisari dari bahasan dan sorotan dalam disertasi T.M. Luthfi Yazid dengan judul “Tanggungjawab Konstitusional Negara Dalam Melindungi Hak Keagamaan Warga Negara” yang dipertahankan dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Mataram, 20 Februari 2021. Ketua sidang merangkap penguji adalah Rektor Universitas Mataram Prof. Dr. Lalu Husni. Penguji lainnya Prof. Dr. Galang Asmara, Prof. Gatot Dwi, Hayyan ul Haq, S.H, LL.M, PhD,  Prof. Dr. Zainal Asikin,  Prof. Dr. Amiruddin, Dr. Hirsanuddin, S.H, dan Dr, Cahyowati. Sementara itu penguji dari luar Universitas Mataram adalah Guru Besar Universitas Andalas sekaligus Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Saldi Isra serta Guru Besar University of Tokyo yang juga menjadi Ketua Masyarakat Islam Indonesia (KMII) di Jepang dan Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) Prof. Muhammad Aziz, PhD. 

 

Pewarta : Oleh Dr. T.M. Luthfi Yazid, S.H., LL.M*
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024