Mataram (ANTARA) - Sore itu, seorang pria bule berkaca mata tiba di markas Komunitas seni budaya ERKAEM di kompleks BTN Montong Kedaton, Meninting Lombok Barat.

Secangkir kopi hitam kegemarannya dibawa dari rumahnya yang tak jauh dari markas Erkaem. Pakaiannya sederhana, kaos oblong, celana pendek dan bersandal jepit.

Tanpa sungkan-sungkan dia menyapa orang yang tengah berada di markas ERKAEM itu. Menyapanya bukan berbahasa Inggris, melainkan Bahasa Indonesia dan Bahasa Sasak.

Lafalnya benar-benar fasih. "Selamat sore, belum digelar, ya," katanya singkat sembari mencari tempat duduk.

Kebetulan saat itu, dia diundang menjadi pembicara di ERKAEM dalam Festival Buku Erkaem 2021. Temanya seputar soal Bahasa Sasak. Tema yang sangat pas karena pada 21 Februari 2021 merupakan Hari Bahasa Ibu Internasional.

Andrew Friend merupakan bule yang dibesarkan di daerah ladang jagung Illinois, Amerika Serikat. Dia penyusun kamus Bahasa Sasak dalam dua edisi, yakni, edisi 2017 dan edisi 2020.

Menariknya, dalam proses pembuatan kamus itu, dirinya harus bekerja keras untuk mengumpulkan kata demi kata, dimana dia berasal dari kultur budaya yang sangat jauh berbeda dengan Indonesia, khususnya Pulau Lombok.

"Akhirnya saya berhasil membuat kamus ini, edisi pertama terdiri 1.000 kata dan edisi kedua 1.200 kata," katanya.

Blusukan

Tentunya tak mudah mendapatkan kosa kata Bahasa Sasak. Dia blusukan (menyusuri) dari kampung ke kampung, bertemu dengan tetua sampai warga lokal. Dia pun harus melatih lafal di mulutnya sendiri saat menerima kosa kata baru.

Salah satu tetua adat yang banyak memberikan sumbangsih, yakni, Mamik Mus. Kebetulan dia sempat tinggal di kawasan Selong Belanak, Lombok Tengah.

Dari beliaulah, Mamik Mus, dia mendapatkan kosa kata. Awalnya saat itu dia menyampaikan hendak membuat kamus dan langsung disambut oleh Mamik.

Dengan diplomasi, berbekalkan secangkir kopi dan duduk-duduk di brugak atau bale-bale, dia belajar khusus Bahasa Sasak. Kemudian bersama-sama menuangkan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Yang paling sulit adalah mencari padanan kata baik dari Bahasa Sasak, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. "Terutama dalam pelafalannya.

Seperti diketahui, dalam Bahasa Sasak huruf "A" dibaca dengan "e" pepet dan huruf "k" dilafalkan "q". Misalnya nama daerah Pringgarata dibaca oleh warga Lombok dengan Pringg'e'rat'e' atau Suela jadi Suel'e' dan seterusnya. Kemudian, "tunjuk" jadi tunju'q.

Karena itu, dalam menyusun kamus Bahasa Sasak harus teliti dan diterjemahkan secara satu persatu. Tentunya harus didampingi orang yang sudah paham. "Kalau tidak bisa salah nantinya," katanya.

Maka wajar saja, proses pembuatannya terhitung lama sampai waktu satu tahun per-edisinya. "Saya sendiri menargetkan dalam setahun harus bisa mendapatkan 1.000 kosa kata Bahasa Sasak," ujarnya.

Tentunya dia harus membuat strategi untuk mencapai target itu. Yakni, salah satunya dengan setiap pekan menabung 25 kata, kemudian mencari kata yang bagus sebagai artinya atau praktis untuk digunakan oleh penutur.

Dari 25 kata itu dibuat padanan kata Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Selanjutnya dalam bentuk kalimat.

"Intinya mengasyikkan dalam menyusun kamus itu, meski agak keteteran juga," katanya.

Ide membuat kamus

Andrew menceritakan ide membuat kamus itu setelah melihat potensi objek wisata di Pulau Lombok, yang tentunya akan banyak didatangi wisatawan baik nasional maupun internasional.

Sehingga diperlukan suatu panduan terutama dalam berinteraksi dengan warga, karena itulah akhirnya dia membuat kamus Bahasa Sasak.

Ia menjelaskan para wisatawan dengan masyarakat setempat seringkali salah paham dalam berkomunikasi. Kadang-kadang dalam hal pembayaran makanan atau minuman atau saat meminta petunjuk arah.

Orang asing dengan orang lokal sama-sama tidak mengerti dengan jelas, akibatnya miskomunikasi bisa menjadi masalah dan menyebabkan banyak perselisihan atau kesalahpahaman yang merugikan kedua belah pihak.

"Karena itu dibutuhkan kamus yang bisa membantu semua orang baik orang asing maupun orang lokal," katanya.

Kendati demikian, ia menyebutkan kamus tersebut tidak mencakup setiap kata yang digunakan oleh setiap desa di Lombok selatan. Seperti istilah "lain gubuk lain base" artinya lain desa lain bahasa.

Kamus Tribahasa ini berdasarkan sumber dari dua desa yaitu Selong Belanak dan Sade. "Jadi bahasa yang tercantum dalam kamus ini, mengikuti cara dan logat masyarakat dari daerah tersebut," katanya.

Meski demikian, kamus bahasa ini masih bisa digunakan di daerah lain Lombok selatan walaupun ada sedikit perbedaan.

"Semoga kamus Bahasa Sasak/Indonesia/Inggris bermanfaat bagi Suku Sasak, orang Indonesia dan para wisatawan yang berkunjung ke Pulau Lombok yang indah dan menyenangkan," katanya.

Kisah si Andrew

Andrew Friend dibesarkan di daerah ladang jagung Illinois Amerika Serikat pada 1986. Ia mengaku tak pernah menyangka bisa sampai ke Indonesia dan menetap hingga berjodoh di Pulau Lombok.

Kisahnya berawal pada 2005 selepas pendidikannya tingkat SMA di tanah kelahirannya, diajak berkunjung ke Pulau Lombok oleh rekannya yang terlebih dahulu sudah menetap di Indonesia.

Sesampainya di Pulau Lombok, dia belajar Bahasa Indonesia dan Bahasa Sasak selama tiga sampai empat bulan. "Dalam waktu enam bulan saya sudah fasih berbahasa Indonesia," katanya.

Pada 2007, dia mendaftarkan diri ke perguruan tinggi negeri (PTN) kenamaan di NTB, yakni, Universitas Mataram dan diterima di jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian. Hingga meraih gelar strata 1 (S1) pada 2011.

Dia punya cerita saat dosennya bertanya "Andrew kenapa tidak kuliah di Harvard?," ucap dosennya. Andrew pun menjawab "Saya ingin kuliah di Unram karena kualitasnya sama dengan Harvard," katanya tersenyum.

Di Lombok pula dia bertemu dengan istrinya Julie Friend seorang Warga Negara Australia yang seorang guru.

Dia menyatakan benar-benar jatuh cinta dengan Pulau Lombok yang punya pemandangan indah dan masyarakatnya ramah-ramah, salah satu wujudnya adalah Kamus Sasak ke Bahasa Indonesia dan Inggris.*
 

Pewarta : Riza Fahriza
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024