Jakarta (ANTARA) - Gareth Southgate, Wembley, dan adu penalti. Rasanya ketiga hal itu jika dikombinasikan akan selalu menimbulkan kenangan buruk bagi publik sepak bola Inggris.
Generasi terdahulu sudah punya kenangan buruk atas kombinasi tiga hal itu, saat Southgate, yang jadi algojo keenam Inggris dalam adu penalti di semifinal Euro 1996, mendapati eksekusinya terlalu dekat dengan kiper Jerman Andreas Koepke.
Gara-gara Southgate, skuad Inggris dipaksa hanya menonton partai final Euro 1996 dari layar kaca di kediaman masing-masing, menyaksikan Jerman meraih gelar juara ketiga mereka.
25 tahun kemudian, kenangan buruk dari benak generasi terdahulu belum terhapuskan. Kombinasi Southgate, Wembley, dan adu penalti kembali menambah ingatan kurang menyenangkan atas jargon "It's coming home" yang sekali lagi hanya menjadi jargon tanpa wujud.
Wembley, 11 Juli 2021, Southgate yang berdiri di tepi lapangan Wembley dalam adu penalti final Euro 2020 kembali meninggalkan kenangan buruk untuk generasi penerus Inggris.
Tiga dari lima algojo pilihan Southgate gagal menceploskan bola dari titik putih ke dalam gawang dalam adu penalti, yang berakhir dengan tepisan kiper Italia Gianluigi Donnarumma atas eksekusi penendang kelima Inggris, Bukayo Saka.
Sebagai negara yang selalu dianggap penemu sepak bola modern dan liganya kerap diakui sebagai kompetisi paling kompetitif, mereka yang mengenakan jersey Inggris selalu dibebani ekspektasi tinggi tiap kali menyongsong turnamen internasional.
Namun, ekspektasi tinggi itu berulang kali berbuah kekecewaan yang terus berlangsung lebih dari setengah abad sejak trigol Geoff Hurst di final Piala Dunia 1966 membuat Inggris membawa pulang trofi Jules Rimet.
Ekspektasi yang sama tingginya juga jatuh di pundak Southgate saat ia dipercaya naik kelas dari pelatih tim U-21 untuk menggantikan Sam Allardyce menangani timnas senior yang mundur karena skandal FA pada 2016.
Keberhasilan menahan imbang Spanyol 2-2 dalam sebuah laga persahabatan, menyusul raihan tujuh poin dari tiga pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2018, meyakinkan FA memberi kontrak permanen jangka panjang untuk Southgate.
Di turnamen internasional perdananya, Southgate mampu mengantarkan Inggris mencapai semifinal Piala Dunia 2018. Dalam ajang tersebut, Harry Kane jadi top skor dengan enam gol dan The Three Lions setelah sekian lama mampu menaklukkan hantu adu penalti.
Dalam babak 16 besar melawan Kolombia, Inggris untuk pertama kalinya memenangi adu penalti di turnamen bergengsi semenjak mimpi buruk semifinal Euro 1996.
Peringkat keempat Piala Dunia 2018 sekaligus jadi capaian terbaik Inggris di turnamen internasional sejak semifinal Euro 1996.
Dalam edisi inagurasi kompetisi UEFA Nations League 2018/19, Southgate melanjutkan raihan positif di tenor kepelatihannya dengan membawa Inggris masuk empat besar, kendati kemudian dikalahkan Belanda di semifinal.
Southgate seolah meniti jalan panjang membayar kegagalannya di Euro 1996, tentunya dengan ekspektasi yang kian hari akan selalu meninggi.
Inggris kembali menyongsong putaran final Euro 2020 dengan ekspektasi tinggi, dibarengi dengan penampilan yang relatif pantas menyokong harapan itu.
Sebab Inggris jadi tim paling produktif dalam fase kualifikasi lewat torehan 37 gol, dan Kane sekali lagi jadi top skor dengan koleksi 12 gol sepanjang fase kualifikasi Euro 2020.
Di putaran final, Inggris mendapat keuntungan yang relatif besar, pasalnya, walaupun diselenggarakan secara pan-kontinental, Euro 2020 --yang penyelenggaraannya harus tertunda setahun karena pandemi COVID-19-- akan memainkan dua laga semifinal dan final di kandang Inggris, Wembley.
Inggris lolos ke babak gugur dengan memuncaki Grup D, walaupun dibebani label sebagai tim yang paling kurang produktif karena hanya mencetak tiga gol di antara semua juara grup.
Namun, masalah produktivitas itu perlahan terpecahkan dengan kemenangan 2-0 atas Jerman dan 4-0 atas Ukraina yang dibarengi keberhasilan Inggris menjadi satu-satunya tim dengan catatan nirbobol sepanjang turnamen hingga perempat final.
Perjudian Southgate yang kekeuh memainkan Raheem Sterling dan Harry Kane di sepanjang turnamen sempat menuai pujian dari banyak pandit, termasuk mantan penggawa The Three Lions Alan Shearer.
Sebab, Sterling melanjutkan ketajamannya untuk Inggris meski di paruh akhir musim posisinya mulai tergusur di Manchester City, sedangkan Kane menjadi pencetak gol kemenangan atas Denmark di babak semifinal yang mengantarkan negara itu pertama kalinya mencapai final Euro.
Perjudian kembali dilakukan Southgate dengan menerapkan skema tiga bek dalam final melawan Italia dan sempat membuahkan hasil positif sebab bek sayap kiri Luke Shaw memecahkan rekor gol tercepat final Euro.
Belum sampai dua menit pertandingan berlangsung, tepatnya satu menit 57 detik, Shaw menjebol gawang Italia untuk membawa Inggris memimpin.
Sayangnya, keunggulan itu tak dibarengi kemampuan Inggris mendominasi permainan. Italia tampil lebih dominan sepanjang laga hingga mampu menyamakan kedudukan lewat Leonardo Bonucci.
Skor imbang 1-1 bertahan hingga waktu normal berakhir, melecut ingatan kecil atas keunggulan cepat yang terbuang dalam semifinal Euro 1996 kontra Jerman.
Dalam babak tambahan yang tetap buntu, Southgate kembali melakukan perjudian di menit-menit akhir dengan memasukkan Marcus Rashford dan Jadon Sancho, yang tampaknya khusus disiapkan untuk adu penalti.
Yang terjadi kemudian perjudian ini malah menjadi bumerang sebab Rashford dan Sancho jadi dua di antara tiga algojo Inggris yang gagal menyarangkan bola ke dalam gawang dalam adu penalti.
Jordan Pickford sempat menyalakan asa Inggris setelah ia menghentikan eksekusi penalti algojo kelima Italia, Jorginho, yang seharusnya bisa menjadi penentu kemenangan.
Tapi itu semua hanya berujung pada besarnya beban yang harus diletakkan ke pundak Bukayo Saka, remaja 19 tahun yang ditugasi Southgate sebagai algojo kelima Inggris.
Ketika bola tembakan Saka dimentahkan Donnarumma, maka kombinasi Southgate, Wembley dan adu penalti sekali lagi menyisakan mimpi buruk yang akan menghantui sepak bola Inggris entah sampai kapan.
Generasi terdahulu sudah punya kenangan buruk atas kombinasi tiga hal itu, saat Southgate, yang jadi algojo keenam Inggris dalam adu penalti di semifinal Euro 1996, mendapati eksekusinya terlalu dekat dengan kiper Jerman Andreas Koepke.
Gara-gara Southgate, skuad Inggris dipaksa hanya menonton partai final Euro 1996 dari layar kaca di kediaman masing-masing, menyaksikan Jerman meraih gelar juara ketiga mereka.
25 tahun kemudian, kenangan buruk dari benak generasi terdahulu belum terhapuskan. Kombinasi Southgate, Wembley, dan adu penalti kembali menambah ingatan kurang menyenangkan atas jargon "It's coming home" yang sekali lagi hanya menjadi jargon tanpa wujud.
Wembley, 11 Juli 2021, Southgate yang berdiri di tepi lapangan Wembley dalam adu penalti final Euro 2020 kembali meninggalkan kenangan buruk untuk generasi penerus Inggris.
Tiga dari lima algojo pilihan Southgate gagal menceploskan bola dari titik putih ke dalam gawang dalam adu penalti, yang berakhir dengan tepisan kiper Italia Gianluigi Donnarumma atas eksekusi penendang kelima Inggris, Bukayo Saka.
Sebagai negara yang selalu dianggap penemu sepak bola modern dan liganya kerap diakui sebagai kompetisi paling kompetitif, mereka yang mengenakan jersey Inggris selalu dibebani ekspektasi tinggi tiap kali menyongsong turnamen internasional.
Namun, ekspektasi tinggi itu berulang kali berbuah kekecewaan yang terus berlangsung lebih dari setengah abad sejak trigol Geoff Hurst di final Piala Dunia 1966 membuat Inggris membawa pulang trofi Jules Rimet.
Ekspektasi yang sama tingginya juga jatuh di pundak Southgate saat ia dipercaya naik kelas dari pelatih tim U-21 untuk menggantikan Sam Allardyce menangani timnas senior yang mundur karena skandal FA pada 2016.
Keberhasilan menahan imbang Spanyol 2-2 dalam sebuah laga persahabatan, menyusul raihan tujuh poin dari tiga pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2018, meyakinkan FA memberi kontrak permanen jangka panjang untuk Southgate.
Di turnamen internasional perdananya, Southgate mampu mengantarkan Inggris mencapai semifinal Piala Dunia 2018. Dalam ajang tersebut, Harry Kane jadi top skor dengan enam gol dan The Three Lions setelah sekian lama mampu menaklukkan hantu adu penalti.
Dalam babak 16 besar melawan Kolombia, Inggris untuk pertama kalinya memenangi adu penalti di turnamen bergengsi semenjak mimpi buruk semifinal Euro 1996.
Peringkat keempat Piala Dunia 2018 sekaligus jadi capaian terbaik Inggris di turnamen internasional sejak semifinal Euro 1996.
Dalam edisi inagurasi kompetisi UEFA Nations League 2018/19, Southgate melanjutkan raihan positif di tenor kepelatihannya dengan membawa Inggris masuk empat besar, kendati kemudian dikalahkan Belanda di semifinal.
Southgate seolah meniti jalan panjang membayar kegagalannya di Euro 1996, tentunya dengan ekspektasi yang kian hari akan selalu meninggi.
Inggris kembali menyongsong putaran final Euro 2020 dengan ekspektasi tinggi, dibarengi dengan penampilan yang relatif pantas menyokong harapan itu.
Sebab Inggris jadi tim paling produktif dalam fase kualifikasi lewat torehan 37 gol, dan Kane sekali lagi jadi top skor dengan koleksi 12 gol sepanjang fase kualifikasi Euro 2020.
Di putaran final, Inggris mendapat keuntungan yang relatif besar, pasalnya, walaupun diselenggarakan secara pan-kontinental, Euro 2020 --yang penyelenggaraannya harus tertunda setahun karena pandemi COVID-19-- akan memainkan dua laga semifinal dan final di kandang Inggris, Wembley.
Inggris lolos ke babak gugur dengan memuncaki Grup D, walaupun dibebani label sebagai tim yang paling kurang produktif karena hanya mencetak tiga gol di antara semua juara grup.
Namun, masalah produktivitas itu perlahan terpecahkan dengan kemenangan 2-0 atas Jerman dan 4-0 atas Ukraina yang dibarengi keberhasilan Inggris menjadi satu-satunya tim dengan catatan nirbobol sepanjang turnamen hingga perempat final.
Perjudian Southgate yang kekeuh memainkan Raheem Sterling dan Harry Kane di sepanjang turnamen sempat menuai pujian dari banyak pandit, termasuk mantan penggawa The Three Lions Alan Shearer.
Sebab, Sterling melanjutkan ketajamannya untuk Inggris meski di paruh akhir musim posisinya mulai tergusur di Manchester City, sedangkan Kane menjadi pencetak gol kemenangan atas Denmark di babak semifinal yang mengantarkan negara itu pertama kalinya mencapai final Euro.
Perjudian kembali dilakukan Southgate dengan menerapkan skema tiga bek dalam final melawan Italia dan sempat membuahkan hasil positif sebab bek sayap kiri Luke Shaw memecahkan rekor gol tercepat final Euro.
Belum sampai dua menit pertandingan berlangsung, tepatnya satu menit 57 detik, Shaw menjebol gawang Italia untuk membawa Inggris memimpin.
Sayangnya, keunggulan itu tak dibarengi kemampuan Inggris mendominasi permainan. Italia tampil lebih dominan sepanjang laga hingga mampu menyamakan kedudukan lewat Leonardo Bonucci.
Skor imbang 1-1 bertahan hingga waktu normal berakhir, melecut ingatan kecil atas keunggulan cepat yang terbuang dalam semifinal Euro 1996 kontra Jerman.
Dalam babak tambahan yang tetap buntu, Southgate kembali melakukan perjudian di menit-menit akhir dengan memasukkan Marcus Rashford dan Jadon Sancho, yang tampaknya khusus disiapkan untuk adu penalti.
Yang terjadi kemudian perjudian ini malah menjadi bumerang sebab Rashford dan Sancho jadi dua di antara tiga algojo Inggris yang gagal menyarangkan bola ke dalam gawang dalam adu penalti.
Jordan Pickford sempat menyalakan asa Inggris setelah ia menghentikan eksekusi penalti algojo kelima Italia, Jorginho, yang seharusnya bisa menjadi penentu kemenangan.
Tapi itu semua hanya berujung pada besarnya beban yang harus diletakkan ke pundak Bukayo Saka, remaja 19 tahun yang ditugasi Southgate sebagai algojo kelima Inggris.
Ketika bola tembakan Saka dimentahkan Donnarumma, maka kombinasi Southgate, Wembley dan adu penalti sekali lagi menyisakan mimpi buruk yang akan menghantui sepak bola Inggris entah sampai kapan.