Mataram (ANTARA) - Terdakwa korupsi pengelolaan dana pada program alokasi dana desa, dana desa, bagi hasil pajak dan retribusi pajak di Desa Kuripan, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Johari Maknun melalui penasihat hukumnya, menyatakan hasil audit BPKP NTB menyesatkan.
"Jika menjadikan hasil hitung RAB itu sebagai dasar dalam penentuan kerugian negara dan menghukum terdakwa, maka hal tersebut menjadi sesuatu yang 'misleading' (menyesatkan) dan harus direformis," kata Firzhal Arzhi Jiwantara, penasihat hukum terdakwa membacakan materi pledoi (nota pembelaan) ke hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, Kamis.
Karenanya, hasil audit BPKP Perwakilan NTB pada 4 September 2019 senilai Rp677 juta itu sangat tidak mendasar. Menurutnya, penghitungan kerugian negara sudah seharusnya berdasarkan acuan item masing-masing kegiatan yang diduga dilakukan terdakwa.
"Oleh karena itu, kami dari penasihat hukum mewakili terdakwa menolak dakwaan jaksa penuntut umum dan menyatakan keterangan ahli yang menghitung kerugian negara berdasarkan standar RAB, tidak mampu dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral," ujarnya.
Begitu juga dengan keterlibatan terdakwa dalam perannya sebagai Sekretaris Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) di Desa Kuripan.
Firzhal menyebutkan bahwa proses pencairan anggaran desa sejatinya harus melalui dan sepengetahuan saksi Mastur, Mantan Kepala Desa Kuripan yang kini telah menjalani vonis hukuman beserta bendahara.
JPU juga dinilai tidak mampu mengungkap secara tepat terkait fakta pembuktian yang menyatakan terdakwa terlibat dan berperan aktif secara bersama-sama dengan saksi Mastur untuk memperkaya diri dari pengelolaan dana desa periode tahun anggaran 2015-2016.
"Karenanya, sangat mengada-ada bahwa terdakwa menggunakan uang kerugian negara hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan seluruhnya oleh saksi Mastur, selaku Kepala Desa Kuripan," ucap dia.
Usai mendengarkan penyampaian pledoinya, ketua majelis hakim I Ketut Somanasa menyatakan sidang ditunda dan dilanjutkan pada Senin (27/9) mendatang.
JPU sebelumnya menuntut terdakwa Johari Maknun dengan pidana penjara selama lima tahun enam bulan dan denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan.
Tuntutan itu berdasarkan isi dakwaan kesatu yang berkaitan dengan ancaman pidana Pasal 2 Ayat 1 Jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Selain menuntut pidana, terdakwa Johari Maknun juga dibebankan untuk membayar uang pengganti kerugian negara senilai Rp577 juta subsider satu tahun penjara.
"Jika menjadikan hasil hitung RAB itu sebagai dasar dalam penentuan kerugian negara dan menghukum terdakwa, maka hal tersebut menjadi sesuatu yang 'misleading' (menyesatkan) dan harus direformis," kata Firzhal Arzhi Jiwantara, penasihat hukum terdakwa membacakan materi pledoi (nota pembelaan) ke hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, Kamis.
Karenanya, hasil audit BPKP Perwakilan NTB pada 4 September 2019 senilai Rp677 juta itu sangat tidak mendasar. Menurutnya, penghitungan kerugian negara sudah seharusnya berdasarkan acuan item masing-masing kegiatan yang diduga dilakukan terdakwa.
"Oleh karena itu, kami dari penasihat hukum mewakili terdakwa menolak dakwaan jaksa penuntut umum dan menyatakan keterangan ahli yang menghitung kerugian negara berdasarkan standar RAB, tidak mampu dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral," ujarnya.
Begitu juga dengan keterlibatan terdakwa dalam perannya sebagai Sekretaris Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) di Desa Kuripan.
Firzhal menyebutkan bahwa proses pencairan anggaran desa sejatinya harus melalui dan sepengetahuan saksi Mastur, Mantan Kepala Desa Kuripan yang kini telah menjalani vonis hukuman beserta bendahara.
JPU juga dinilai tidak mampu mengungkap secara tepat terkait fakta pembuktian yang menyatakan terdakwa terlibat dan berperan aktif secara bersama-sama dengan saksi Mastur untuk memperkaya diri dari pengelolaan dana desa periode tahun anggaran 2015-2016.
"Karenanya, sangat mengada-ada bahwa terdakwa menggunakan uang kerugian negara hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan seluruhnya oleh saksi Mastur, selaku Kepala Desa Kuripan," ucap dia.
Usai mendengarkan penyampaian pledoinya, ketua majelis hakim I Ketut Somanasa menyatakan sidang ditunda dan dilanjutkan pada Senin (27/9) mendatang.
JPU sebelumnya menuntut terdakwa Johari Maknun dengan pidana penjara selama lima tahun enam bulan dan denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan.
Tuntutan itu berdasarkan isi dakwaan kesatu yang berkaitan dengan ancaman pidana Pasal 2 Ayat 1 Jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Selain menuntut pidana, terdakwa Johari Maknun juga dibebankan untuk membayar uang pengganti kerugian negara senilai Rp577 juta subsider satu tahun penjara.