Mataram (ANTARA) - Hasil audit Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pertanian yang menindaklanjuti temuan BPK RI dalam proyek pengadaan benih jagung hibrida varietas balitbang tahun anggaran 2017 di Nusa Tenggara Barat muncul dari ketidaksesuaian spesifikasi benih dalam kontrak.
Landasan Itjen Kementan RI merilis kerugian negara senilai Rp10,633 miliar tersebut terungkap dalam kesaksian Mantan Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) NTB Lalu Muhammad Syafriari pada persidangan dua terdakwa yang berasal dari penyedia barang, yakni Aryanto Prametu dan Lalu Ikhwanul Hubby.
"Alasannya (landasan audit Itjen Kementan) karena tidak sesuai spesifikasi benih dalam kontrak," kata Syafriari ke hadapan majelis hakim di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, Selasa.
Syafriari memastikan hal tersebut ke hadapan majelis hakim berdasarkan laporan hasil pemeriksaan Itjen Kementan RI yang sebelumnya telah dia terima.
"Saya membaca laporannya, jadi alasannya (Itjen Kementan) seperti itu (ketidaksesuaian spesifikasi benih dalam kontrak)," ujarnya.
Tindak lanjut dari hasil audit tersebut, lanjutnya, terlaksana sebuah pertemuan pada 8 November 2018. Hasilnya, meminta kepada kedua perusahaan penyedia barang, yakni dari PT Sinta Agro Mandiri (SAM) milik terdakwa Aryanto Prametu dan PT Wahana Banu Sejahtera (WBS) milik Lalu Ikhwanul Hubby untuk segera melaksanakan pemulihan kerugian negara.
Namun hingga tenggat waktu yang diberikan selama 60 hari, Syafriari menyampaikan bahwa kedua perusahaan penyedia barang menyatakan ketidaksanggupannya untuk memulihkan kerugian negara.
"Sampai akhirnya muncul risalah yang memberikan keringanan kepada kedua perusahaan penyedia barang," kata Syafriari.
Dalam risalah tersebut, kedua perusahaan penyedia barang telah diberikan keringan untuk memulihkan kerugian negara lebih dari tenggat waktu 60 hari.
"Tetapi sampai saya pensiun Juli 2019, belum sepenuhnya (ada pemulihan kerugian negara). Sempat saya tanya ke bendahara, baru Rp500 juta," ujarnya.
Namun Syafriari kemudian kembali di tahun 2020 menanyakan hal tersebut ke kantornya. Menurut informasi yang dia dapatkan, kerugian negara sudah lunas terbayarkan.
"Tahun 2020 saya ke sana, katanya sudah lunas semua," ucapnya.
Adanya pemulihan kerugian negara Rp10,633 miliar itu pun telah dibuktikan berdasarkan surat tanda lunas melalui Distanbun NTB pada 27 November 2020. Pemulihannya dikuatkan dengan bukti setor atau bukti penerimaan kas negara pada 9 Februari 2021.
PT SAM sebagai perusahaan penyedia barang pada tahun 2017 mendapat penunjukkan langsung dari Distanbun NTB dalam paket pengadaan benih jagung hibrida 3 varietas balitbang. Nilai kontraknya Rp17,256 miliar untuk pengadaan benih sejumlah 480 ton.
Jenis dari benih jagung hibrida 3 varietas balitbang oleh PT SAM, adalah Bima 14, Bima 15, Bima 19, dan Bima 20.
Selanjutnya PT WBS dalam paket pengadaan benih jagung hibrida balitbang, hibrida umum 2 dan komposit mendapat nilai kontrak Rp31 miliar untuk 849 ton benih dengan jenis Bima 10, Bima 15, Bima 20 Uri, Asia 92, Prima 1, Bioseed-70, Bioseed-89, Bioseed-54, Advanta 78, Dragon, dan komposit (Bisma).
Namun dari kedua pengadaan tersebut, muncul permasalahan dari kalangan petani penerima benih di seluruh kabupaten dan kota yang ada di NTB. Dalam laporannya, sebagian besar benih jagung yang disalurkan kedua perusahaan tersebut tidak dapat tumbuh.
Setelah ditelusuri oleh tim dari Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (PSBTPH) Jawa Timur, terungkap bahwa benih yang bermasalah tersebut tidak memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan sesuai peraturan yang berlaku dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 355/HK.130/C/05/2015 tanggal 18 Mei 2015 tentang Pedoman Teknis Sertifikasi Benih Bina Tanaman Pangan.
Standar mutu benih yang menjadi spesifikasi syarat kontrak tersebut, antara lain, daya kecambah minimal 85 persen, kotoran benih maksimal 2 persen, kadar air maksimal 12 persen, benih murni minimal 98 persen dan benih tanaman lain maksimal 0,2 persen.
Selain tidak memenuhi standar mutu, terungkap bahwa benih yang bermasalah itu tidak disertai dengan sertifikat benih.
Landasan Itjen Kementan RI merilis kerugian negara senilai Rp10,633 miliar tersebut terungkap dalam kesaksian Mantan Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) NTB Lalu Muhammad Syafriari pada persidangan dua terdakwa yang berasal dari penyedia barang, yakni Aryanto Prametu dan Lalu Ikhwanul Hubby.
"Alasannya (landasan audit Itjen Kementan) karena tidak sesuai spesifikasi benih dalam kontrak," kata Syafriari ke hadapan majelis hakim di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, Selasa.
Syafriari memastikan hal tersebut ke hadapan majelis hakim berdasarkan laporan hasil pemeriksaan Itjen Kementan RI yang sebelumnya telah dia terima.
"Saya membaca laporannya, jadi alasannya (Itjen Kementan) seperti itu (ketidaksesuaian spesifikasi benih dalam kontrak)," ujarnya.
Tindak lanjut dari hasil audit tersebut, lanjutnya, terlaksana sebuah pertemuan pada 8 November 2018. Hasilnya, meminta kepada kedua perusahaan penyedia barang, yakni dari PT Sinta Agro Mandiri (SAM) milik terdakwa Aryanto Prametu dan PT Wahana Banu Sejahtera (WBS) milik Lalu Ikhwanul Hubby untuk segera melaksanakan pemulihan kerugian negara.
Namun hingga tenggat waktu yang diberikan selama 60 hari, Syafriari menyampaikan bahwa kedua perusahaan penyedia barang menyatakan ketidaksanggupannya untuk memulihkan kerugian negara.
"Sampai akhirnya muncul risalah yang memberikan keringanan kepada kedua perusahaan penyedia barang," kata Syafriari.
Dalam risalah tersebut, kedua perusahaan penyedia barang telah diberikan keringan untuk memulihkan kerugian negara lebih dari tenggat waktu 60 hari.
"Tetapi sampai saya pensiun Juli 2019, belum sepenuhnya (ada pemulihan kerugian negara). Sempat saya tanya ke bendahara, baru Rp500 juta," ujarnya.
Namun Syafriari kemudian kembali di tahun 2020 menanyakan hal tersebut ke kantornya. Menurut informasi yang dia dapatkan, kerugian negara sudah lunas terbayarkan.
"Tahun 2020 saya ke sana, katanya sudah lunas semua," ucapnya.
Adanya pemulihan kerugian negara Rp10,633 miliar itu pun telah dibuktikan berdasarkan surat tanda lunas melalui Distanbun NTB pada 27 November 2020. Pemulihannya dikuatkan dengan bukti setor atau bukti penerimaan kas negara pada 9 Februari 2021.
PT SAM sebagai perusahaan penyedia barang pada tahun 2017 mendapat penunjukkan langsung dari Distanbun NTB dalam paket pengadaan benih jagung hibrida 3 varietas balitbang. Nilai kontraknya Rp17,256 miliar untuk pengadaan benih sejumlah 480 ton.
Jenis dari benih jagung hibrida 3 varietas balitbang oleh PT SAM, adalah Bima 14, Bima 15, Bima 19, dan Bima 20.
Selanjutnya PT WBS dalam paket pengadaan benih jagung hibrida balitbang, hibrida umum 2 dan komposit mendapat nilai kontrak Rp31 miliar untuk 849 ton benih dengan jenis Bima 10, Bima 15, Bima 20 Uri, Asia 92, Prima 1, Bioseed-70, Bioseed-89, Bioseed-54, Advanta 78, Dragon, dan komposit (Bisma).
Namun dari kedua pengadaan tersebut, muncul permasalahan dari kalangan petani penerima benih di seluruh kabupaten dan kota yang ada di NTB. Dalam laporannya, sebagian besar benih jagung yang disalurkan kedua perusahaan tersebut tidak dapat tumbuh.
Setelah ditelusuri oleh tim dari Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (PSBTPH) Jawa Timur, terungkap bahwa benih yang bermasalah tersebut tidak memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan sesuai peraturan yang berlaku dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 355/HK.130/C/05/2015 tanggal 18 Mei 2015 tentang Pedoman Teknis Sertifikasi Benih Bina Tanaman Pangan.
Standar mutu benih yang menjadi spesifikasi syarat kontrak tersebut, antara lain, daya kecambah minimal 85 persen, kotoran benih maksimal 2 persen, kadar air maksimal 12 persen, benih murni minimal 98 persen dan benih tanaman lain maksimal 0,2 persen.
Selain tidak memenuhi standar mutu, terungkap bahwa benih yang bermasalah itu tidak disertai dengan sertifikat benih.