Mataram (ANTARA) - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Nusa Tenggara Barat, menjatuhkan hukuman pidana selama 5,5 tahun atau setara 5 tahun 6 bulan penjara kepada Mantan Sekretaris Desa (Sekdes) Sesait, Dedi Supriadi.
Ketua Majelis Hakim Kadek Dedy Arcana dalam putusannya di Mataram, Kamis, menyatakan bahwa perbuatan Dedi Supriadi terbukti bersalah telah melakukan penyimpangan dalam pengelolaan anggaran dana desa dan alokasi dana desa tahun 2019 hingga menimbulkan kerugian negara mencapai Rp1 miliar.
"Oleh karena perbuatannya, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada terdakwa Dedi Supriadi selama 5 tahun 6 bulan," kata Dedy.
Hakim juga menjatuhkan pidana denda kepada terdakwa Dedi Supriadi Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan.
Hakim turut menghukum terdakwa Dedi Supriadi untuk membayar uang pengganti kerugian negara yang muncul berdasarkan perhitungan ahli senilai Rp1 miliar lebih.
Jika dalam kurun waktu satu bulan terdakwa tidak dapat membayarnya. Maka seluruh harta benda terdakwa akan disita dan dilelang oleh negara.
"Apabila harta bendanya tidak juga dapat melunasi besaran uang pengganti, maka terdakwa wajib menggantinya dengan pidana kurungan selama dua tahun," ucapnya.
Hakim menjatuhkan putusan demikian dengan menyatakan perbuatan terdakwa Dedi Supriadi terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Menurut hakim, terdakwa dalam kapasitas sebagai sekretaris desa di sepanjang periode pengelolaan anggaran di tahun 2019, telah melakukan sejumlah kegiatan di luar tugas pokoknya.
Terdakwa juga telah terbukti mengambil uang yang bersumber dari anggaran dana desa tahun 2019 dan memasukannya ke rekening pribadi.
"Uang tersebut digunakan untuk serangkaian kegiatan di luar tugas pokoknya sehingga tidak sesuai dengan pertanggungjawabannya," kata Dedy.
Hakim pun menyatakan perbuatan itu dilakukan secara terus menerus hingga melihatnya sebagai perbuatan yang berkelanjutan.
"Akibat perbuatan terdakwa itu, mengakibatkan negara tidak memperoleh manfaat melainkan muncul kerugian dari pengelolaan dana desa yang berasal dari kas negara," ujar dia.
Dari pertimbangan tersebut, hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 2 Ayat (1) Juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP sebagaimana yang diuraikan dalam dakwaan primair Jaksa Penuntut Umum.
Dari putusan terdakwa Dedi, disampaikan perihal sumber pendanaan desa di tahun 2019. Hakim menyebutkan bahwa Desa Sesait pada tahun tersebut mendapat suntikan dana Rp4,125 miliar.
Sumber anggarannya berasal dari pusat senilai Rp2,450 miliar dan dari pemerintah daerah Rp1,439 miliar, serta pendapatan dari bagi hasil pajak dan retribusi daerah Rp235,1 juta.
Anggaran tersebut digunakan untuk menjalankan beberapa program pekerjaan fisik dan non fisik. Salah satu yang membuat Dedi Supriadi duduk di kursi pesakitan persidangan, adalah proyek fisik pembangunan pangggung pertunjukan seni Suku Sasak, yakni Peresean. Nilainya Rp640 juta.
Namun dari pengelolaan dana desa tersebut muncul temuan Inspektorat Kabupaten Lombok Utara. Ada nilai sebanyak Rp759,13 juta yang tidak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya.
Dari audit secara "actual loss", kerugian negara bertambah menjadi Rp1 miliar lebih. Hal itu muncul dari pekerjaan proyek fisik yang tidak sesuai spesifikasi dan beberapa kegiatan non fisik yang diduga fiktif. Termasuk pembangunan panggung peresean yang belum sempat dimanfaatkan namun sudah ambrol.
Usai mendengar putusannya dibacakan, Jaksa Penuntut Umum menyatakan pikir-pikir. Sedangkan dari terdakwa melalui tim penasihat hukumnya yang diwakilkan Bayu Mahardika, langsung menyatakan banding.
"Kami menghormati putusan hakim, namun kami melihat klien kami dalam kasus ini telah dizalimi, karena itu kami ajukan banding," kata Bayu usai mendampingi kliennya mengikuti sidang putusan.
Ketua Majelis Hakim Kadek Dedy Arcana dalam putusannya di Mataram, Kamis, menyatakan bahwa perbuatan Dedi Supriadi terbukti bersalah telah melakukan penyimpangan dalam pengelolaan anggaran dana desa dan alokasi dana desa tahun 2019 hingga menimbulkan kerugian negara mencapai Rp1 miliar.
"Oleh karena perbuatannya, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada terdakwa Dedi Supriadi selama 5 tahun 6 bulan," kata Dedy.
Hakim juga menjatuhkan pidana denda kepada terdakwa Dedi Supriadi Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan.
Hakim turut menghukum terdakwa Dedi Supriadi untuk membayar uang pengganti kerugian negara yang muncul berdasarkan perhitungan ahli senilai Rp1 miliar lebih.
Jika dalam kurun waktu satu bulan terdakwa tidak dapat membayarnya. Maka seluruh harta benda terdakwa akan disita dan dilelang oleh negara.
"Apabila harta bendanya tidak juga dapat melunasi besaran uang pengganti, maka terdakwa wajib menggantinya dengan pidana kurungan selama dua tahun," ucapnya.
Hakim menjatuhkan putusan demikian dengan menyatakan perbuatan terdakwa Dedi Supriadi terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Menurut hakim, terdakwa dalam kapasitas sebagai sekretaris desa di sepanjang periode pengelolaan anggaran di tahun 2019, telah melakukan sejumlah kegiatan di luar tugas pokoknya.
Terdakwa juga telah terbukti mengambil uang yang bersumber dari anggaran dana desa tahun 2019 dan memasukannya ke rekening pribadi.
"Uang tersebut digunakan untuk serangkaian kegiatan di luar tugas pokoknya sehingga tidak sesuai dengan pertanggungjawabannya," kata Dedy.
Hakim pun menyatakan perbuatan itu dilakukan secara terus menerus hingga melihatnya sebagai perbuatan yang berkelanjutan.
"Akibat perbuatan terdakwa itu, mengakibatkan negara tidak memperoleh manfaat melainkan muncul kerugian dari pengelolaan dana desa yang berasal dari kas negara," ujar dia.
Dari pertimbangan tersebut, hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 2 Ayat (1) Juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP sebagaimana yang diuraikan dalam dakwaan primair Jaksa Penuntut Umum.
Dari putusan terdakwa Dedi, disampaikan perihal sumber pendanaan desa di tahun 2019. Hakim menyebutkan bahwa Desa Sesait pada tahun tersebut mendapat suntikan dana Rp4,125 miliar.
Sumber anggarannya berasal dari pusat senilai Rp2,450 miliar dan dari pemerintah daerah Rp1,439 miliar, serta pendapatan dari bagi hasil pajak dan retribusi daerah Rp235,1 juta.
Anggaran tersebut digunakan untuk menjalankan beberapa program pekerjaan fisik dan non fisik. Salah satu yang membuat Dedi Supriadi duduk di kursi pesakitan persidangan, adalah proyek fisik pembangunan pangggung pertunjukan seni Suku Sasak, yakni Peresean. Nilainya Rp640 juta.
Namun dari pengelolaan dana desa tersebut muncul temuan Inspektorat Kabupaten Lombok Utara. Ada nilai sebanyak Rp759,13 juta yang tidak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya.
Dari audit secara "actual loss", kerugian negara bertambah menjadi Rp1 miliar lebih. Hal itu muncul dari pekerjaan proyek fisik yang tidak sesuai spesifikasi dan beberapa kegiatan non fisik yang diduga fiktif. Termasuk pembangunan panggung peresean yang belum sempat dimanfaatkan namun sudah ambrol.
Usai mendengar putusannya dibacakan, Jaksa Penuntut Umum menyatakan pikir-pikir. Sedangkan dari terdakwa melalui tim penasihat hukumnya yang diwakilkan Bayu Mahardika, langsung menyatakan banding.
"Kami menghormati putusan hakim, namun kami melihat klien kami dalam kasus ini telah dizalimi, karena itu kami ajukan banding," kata Bayu usai mendampingi kliennya mengikuti sidang putusan.