Mataram (ANTARA) - Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat mengungkap peran dari tiga tersangka yang diduga melanggar prosedur perekrutan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) tujuan Polandia.
Kepala Bidang Humas Polda NTB Komisaris Besar Polisi Artanto dalam konferensi pers di Mataram, Kamis, menyampaikan, tiga tersangka dalam kasus ini memiliki peran berbeda.
"Pertama PJ (47), ini yang merekrut para CPMI. Kemudian MN (42), ini yang melakukan kegiatan administrasi termasuk memberikan pelatihan Bahasa Inggris dan 'Table Manner' (etika makan)," kata Artanto.
Baca juga: 148 CPMI asal NTB gagal ke Malaysia karena tak gunakan visa kerja
Baca juga: Polda NTB ungkap peran tiga tersangka perekrut CPMI tujuan Polandia
Selanjutnya untuk peran tersangka berinisial HZ (48), kata dia, mengurus kelengkapan paspor dan yang menjanjikan para CPMI berangkat ke Polandia.
Artanto menjelaskan, dalam proses perekrutan CPMI, tiga tersangka menarik biaya pendaftaran perorangan senilai Rp10 juta. Ketiga tersangka membuka penempatan kerja untuk negara Kanada dengan janji gaji Rp35 juta per bulan.
Periode perekrutan dilaksanakan mulai April sampai Juli 2021. Dalam perekrutan, terdaftar puluhan CPMI yang berasal dari Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, dan Kabupaten Lombok Timur.
"Perekrutan dengan biaya pendaftaran Rp10 juta itu mengatasnamakan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia atau P3MI berinisial PT. YAB," ucap dia.
Biaya Rp10 juta itu pun digunakan tersangka sebagai biaya pembuatan paspor CPMI dan "Medical Check-Up".
Setelah melalui proses awal tersebut, ketiga tersangka kembali meminta tambahan Rp2,5 juta untuk biaya pelatihan Bahasa Inggris dan etika makan.
Ketiga tersangka memberikan pelatihan di salah satu balai pelatihan yang ada di Kabupaten Lombok Tengah.
Kegiatan pelatihan itu pun, lanjutnya, mendapatkan atensi dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTB.
"Saat tim dari Disnakertrans NTB melakukan sidak, disebutkan kalau negara Kanada tidak memiliki 'Job Order' untuk penempatan kerja," ujarnya.
Korban yang mengetahui informasi tersebut langsung meminta penjelasan dari para tersangka.
"Tetapi mereka (tiga tersangka) ini tidak hilang akal, melainkan mengalihkan negara tujuan para CPMI untuk bekerja ke Polandia," ucapnya.
Dengan menggunakan P3MI berinisial PT. NKICRC, para tersangka kembali membuka pendaftaran CPMI untuk negara tujuan Polandia.
"Di situ, mereka (tiga tersangka) membuatkan syarat tambahan lagi, CPMI harus mengeluarkan biaya Rp5 juta. Katanya, itu untuk pengajuan visa kerja," katanya.
Namun hingga pelatihan selesai, belum ada satu pun CPMI yang berangkat ke luar negeri. Hal itu pun yang menjadi dasar korban melaporkan kasus ini ke kepolisian.
Lebih lanjut, Kepala Sub Bidang Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Ditreskrimum Polda NTB Ajun Komisaris Besar Polisi Ni Made Pujawati, menegaskan, dalam kasus ini ada 53 CPMI yang masuk dalam perekrutan secara perorangan.
"Jadi dari 53 orang yang menjadi korban, baru ada 12 CPMI yang mau memberikan keterangan sebagai saksi lengkap dengan kuitansi penyerahan uang," ujarnya.
Meskipun tidak semua, namun Pujawati memastikan bahwa penyidik telah mengantongi alat bukti yang menguatkan unsur perbuatan melawan hukum ketiga tersangka.
Ketentuan pidana dalam kasus ini sesuai aturan Pasal 81 Undang-Undang RI Nomor 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pujawati turut menyampaikan bahwa Indonesia tidak memiliki "Job Order" dengan Polandia. Selain indikasi pelanggaran tersebut, para tersangka juga melanggar prosedur dalam pemberian pelatihan.
"Di situ mereka (CPMI) dijanjikan bekerja di sektor perkebunan. Jadi tidak ada hubungan pelatihan 'Table Manner' itu dengan bekerja di sektor perkebunan," ucap dia.
Perihal label perusahaan yang digunakan para tersangka dalam perekrutan CPMI ini masih dalam koordinasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan RI.
"Memang ada mereka (tiga tersangka) ini tunjukkan salinan rekomendasi perusahaan yang menyatakan bahwa dia adalah pegawai yang dapat perintah merekrut. Tetapi untuk lebih jelasnya, nanti kami koordinasi dengan ahli dan pejabat kementerian," ujarnya.
Kepala Bidang Humas Polda NTB Komisaris Besar Polisi Artanto dalam konferensi pers di Mataram, Kamis, menyampaikan, tiga tersangka dalam kasus ini memiliki peran berbeda.
"Pertama PJ (47), ini yang merekrut para CPMI. Kemudian MN (42), ini yang melakukan kegiatan administrasi termasuk memberikan pelatihan Bahasa Inggris dan 'Table Manner' (etika makan)," kata Artanto.
Baca juga: 148 CPMI asal NTB gagal ke Malaysia karena tak gunakan visa kerja
Baca juga: Polda NTB ungkap peran tiga tersangka perekrut CPMI tujuan Polandia
Selanjutnya untuk peran tersangka berinisial HZ (48), kata dia, mengurus kelengkapan paspor dan yang menjanjikan para CPMI berangkat ke Polandia.
Artanto menjelaskan, dalam proses perekrutan CPMI, tiga tersangka menarik biaya pendaftaran perorangan senilai Rp10 juta. Ketiga tersangka membuka penempatan kerja untuk negara Kanada dengan janji gaji Rp35 juta per bulan.
Periode perekrutan dilaksanakan mulai April sampai Juli 2021. Dalam perekrutan, terdaftar puluhan CPMI yang berasal dari Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, dan Kabupaten Lombok Timur.
"Perekrutan dengan biaya pendaftaran Rp10 juta itu mengatasnamakan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia atau P3MI berinisial PT. YAB," ucap dia.
Biaya Rp10 juta itu pun digunakan tersangka sebagai biaya pembuatan paspor CPMI dan "Medical Check-Up".
Setelah melalui proses awal tersebut, ketiga tersangka kembali meminta tambahan Rp2,5 juta untuk biaya pelatihan Bahasa Inggris dan etika makan.
Ketiga tersangka memberikan pelatihan di salah satu balai pelatihan yang ada di Kabupaten Lombok Tengah.
Kegiatan pelatihan itu pun, lanjutnya, mendapatkan atensi dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTB.
"Saat tim dari Disnakertrans NTB melakukan sidak, disebutkan kalau negara Kanada tidak memiliki 'Job Order' untuk penempatan kerja," ujarnya.
Korban yang mengetahui informasi tersebut langsung meminta penjelasan dari para tersangka.
"Tetapi mereka (tiga tersangka) ini tidak hilang akal, melainkan mengalihkan negara tujuan para CPMI untuk bekerja ke Polandia," ucapnya.
Dengan menggunakan P3MI berinisial PT. NKICRC, para tersangka kembali membuka pendaftaran CPMI untuk negara tujuan Polandia.
"Di situ, mereka (tiga tersangka) membuatkan syarat tambahan lagi, CPMI harus mengeluarkan biaya Rp5 juta. Katanya, itu untuk pengajuan visa kerja," katanya.
Namun hingga pelatihan selesai, belum ada satu pun CPMI yang berangkat ke luar negeri. Hal itu pun yang menjadi dasar korban melaporkan kasus ini ke kepolisian.
Lebih lanjut, Kepala Sub Bidang Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Ditreskrimum Polda NTB Ajun Komisaris Besar Polisi Ni Made Pujawati, menegaskan, dalam kasus ini ada 53 CPMI yang masuk dalam perekrutan secara perorangan.
"Jadi dari 53 orang yang menjadi korban, baru ada 12 CPMI yang mau memberikan keterangan sebagai saksi lengkap dengan kuitansi penyerahan uang," ujarnya.
Meskipun tidak semua, namun Pujawati memastikan bahwa penyidik telah mengantongi alat bukti yang menguatkan unsur perbuatan melawan hukum ketiga tersangka.
Ketentuan pidana dalam kasus ini sesuai aturan Pasal 81 Undang-Undang RI Nomor 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pujawati turut menyampaikan bahwa Indonesia tidak memiliki "Job Order" dengan Polandia. Selain indikasi pelanggaran tersebut, para tersangka juga melanggar prosedur dalam pemberian pelatihan.
"Di situ mereka (CPMI) dijanjikan bekerja di sektor perkebunan. Jadi tidak ada hubungan pelatihan 'Table Manner' itu dengan bekerja di sektor perkebunan," ucap dia.
Perihal label perusahaan yang digunakan para tersangka dalam perekrutan CPMI ini masih dalam koordinasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan RI.
"Memang ada mereka (tiga tersangka) ini tunjukkan salinan rekomendasi perusahaan yang menyatakan bahwa dia adalah pegawai yang dapat perintah merekrut. Tetapi untuk lebih jelasnya, nanti kami koordinasi dengan ahli dan pejabat kementerian," ujarnya.