Mataram (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat akan memberikan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi 10 ribu petani dan buruh tembakau di wilayah itu.
"Selain untuk pelatihan keterampilan bagi petani atau buruh tani tembakau, kami juga memprogramkan JKK dan JKM untuk perlindungan sosial bagi 10 ribu orang untuk petani atau buruh tani tembakau," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB, I Gede Putu Aryadi saat rapat koordinasi dan verifikasi data petani dan buruh tani tembakau di Mataram, Kamis.
Ia mengatakan anggaran untuk program JKK dan JKM dialokasikan melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) Tahun 2022.
Berdasarkan data statistik, terdapat lebih dari 42 ribu orang petani dan buruh tani tembakau di NTB. Dari jumlah tersebut, sekitar 20 ribu lebih berada di Kabupaten Lombok Timur, kemudian belasan ribu di Lombok Tengah dan sisanya di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Utara. Sedangkan di Pulau Sumbawa sebanyak 3 ribu orang, jumlah terbesar berada di Kabupaten Dompu.
Namun karena alokasi di provinsi yang sangat terbatas, sehingga untuk pemberian program perlindungan sosial akan dilakukan secara bertahap dan diharapkan ke depannya juga dialokasikan dari kabupaten dan kota serta sebagian dari CSR perusahaan atau industri tembakau.
Sasarannya adalah untuk petani dan buruh tani tembakau yang miskin, yang jauh dari akses. Sehingga jika sesuatu yang buruk terjadi kepada pekerja yang menjadi tulang punggung keluarga, keluarganya bisa dilindungi dan anak-anaknya bisa melanjutkan pendidikan.
"Di tengah keterbatasan yang ada, kami mengalokasikan DBHCHT untuk perlindungan petani dan buruh tani tembakau. Sehingga kami meminta kerjasama kepada pemerintah kabupaten dan kota agar tujuan mulia kita untuk menekan jumlah kemiskinan dan pengangguran ini dapat tercapai. Ini sebagai bukti kehadiran pemerintah di tengah masyarakat," ujar Gde.
Selain itu, Gde juga mengatakan kebanyakan keluarga PMI yang ditinggalkan merupakan petani dan buruh tani tembakau. Karena itu, perlu perhatian khusus untuk perlindungan PMI dengan cara mencegah keberangkatan PMI non prosedural.
Berdasarkan data, ada 535.000 warga NTB yang bekerja di luar negeri yang tersebar di ratusan negara penempatan di seluruh dunia, dengan negara penempatan terbanyak adalah Malaysia dan Timur Tengah.
Data dari PMI pusat menyebutkan jumlah warga Indonesia yang bekerja di luar negeri sebanyak 9 juta orang, tetapi berangkat secara prosedural hanya 4,3 juta. Penyebab banyaknya PMI un-prosedural salah satunya, yaitu banyak yang berangkat dengan visa kunjungan, tetapi sampai negara penempatan mengubah visanya menjadi visa bekerja. Meski dari segi visa legal tapi akan menjadi sangat rawan, karena pemerintah tidak bisa melacak sehingga PMI tidak bisa mendapatkan perlindungan.
"Kita tidak bisa mengintervensi negara penempatan karena mereka punya aturan sendiri. Yang bisa kita lakukan adalah mencegah dari sini. Yaitu, bagaimana menertibkan perusahaan P3MI agar mengikuti prosedur yang ada dan memberikan sosialisasi edukasi secara massif agar program zero unprocedural PMI ini dapat tercapai," ucap Aryadi.
Dalam mewujudkan program PMI zero un-prosedural ini harus dimulai di tingkat hulu, yaitu Kepala Desa di imbau untuk selektif mengeluarkan rekomendasi.
"Kita harus punya komitmen dan keberanian untuk betul-betul memastikan warga kita yang berangkat ini secara prosedural agar bisa mendapatkan perlindungan. Karena melindungi PMI yang berangkat sama dengan melindungi keluarga mereka di sini," tegas mantan Irbansus pada Inspektorat NTB tersebut.
Kepala BPJS Ketenagakerjaan NTB Adventus Edison Souhuwat mengatakan 10.000 perlindungan sosial yang diberikan berupa JKK dan JKM kepada petani dan buruh tani tembakau itu dengan iuran Rp16.800 per bulan. Manfaat yang diperoleh, antara lain jika peserta mengalami kecelakaan kerja, dengan program JKK biaya perawatan RS akan di cover seluruhnya oleh BPJS.
Kemudian, selama petani belum bisa direkomendasikan bekerja oleh dokter, maka selama setahun upah-nya akan dibayarkan 100 persen.
Jika lewat 12 bulan menurut dokter masih belum bisa kerja, maka akan diberi 50 persen. Apabila karena kecelakaan mengalami cacat, akan diberikan santunan cacat. Jika peserta mengalami kecelakaan kerja hingga menyebabkan meninggal dunia, peserta akan diberikan 48 kali upah dan santunan berkala Rp200.000 sebulan selama 12 tahun yang dibayar secara lunas.
Manfaat lainnya yaitu, dua orang anaknya akan diberikan beasiswa untuk melanjutkan sekolah. Untuk tingkat TK-SD akan diberikan Rp1,5 juta, SMP Rp2 juta SMA Rp3 juta dan perguruan tinggi Rp12 juta per tahunnya sehingga, totalnya Rp140 juta untuk dua orang anak.
Program yang kedua, JKM manfaatnya yaitu jika peserta meninggal bukan karena kecelakaan kerja, maka akan mendapatkan santunan sebesar Rp42 juta dan anaknya juga diberikan beasiswa.
Edison juga mengatakan berdasarkan data, pekerja non-ASN di NTB yang telah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan sudah 100 persen.
"Harapannya ke depan tokoh agama lintas agama, guru ngaji maupun marbot juga mendapatkan perlindungan," katanya.
"Selain untuk pelatihan keterampilan bagi petani atau buruh tani tembakau, kami juga memprogramkan JKK dan JKM untuk perlindungan sosial bagi 10 ribu orang untuk petani atau buruh tani tembakau," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB, I Gede Putu Aryadi saat rapat koordinasi dan verifikasi data petani dan buruh tani tembakau di Mataram, Kamis.
Ia mengatakan anggaran untuk program JKK dan JKM dialokasikan melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) Tahun 2022.
Berdasarkan data statistik, terdapat lebih dari 42 ribu orang petani dan buruh tani tembakau di NTB. Dari jumlah tersebut, sekitar 20 ribu lebih berada di Kabupaten Lombok Timur, kemudian belasan ribu di Lombok Tengah dan sisanya di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Utara. Sedangkan di Pulau Sumbawa sebanyak 3 ribu orang, jumlah terbesar berada di Kabupaten Dompu.
Namun karena alokasi di provinsi yang sangat terbatas, sehingga untuk pemberian program perlindungan sosial akan dilakukan secara bertahap dan diharapkan ke depannya juga dialokasikan dari kabupaten dan kota serta sebagian dari CSR perusahaan atau industri tembakau.
Sasarannya adalah untuk petani dan buruh tani tembakau yang miskin, yang jauh dari akses. Sehingga jika sesuatu yang buruk terjadi kepada pekerja yang menjadi tulang punggung keluarga, keluarganya bisa dilindungi dan anak-anaknya bisa melanjutkan pendidikan.
"Di tengah keterbatasan yang ada, kami mengalokasikan DBHCHT untuk perlindungan petani dan buruh tani tembakau. Sehingga kami meminta kerjasama kepada pemerintah kabupaten dan kota agar tujuan mulia kita untuk menekan jumlah kemiskinan dan pengangguran ini dapat tercapai. Ini sebagai bukti kehadiran pemerintah di tengah masyarakat," ujar Gde.
Selain itu, Gde juga mengatakan kebanyakan keluarga PMI yang ditinggalkan merupakan petani dan buruh tani tembakau. Karena itu, perlu perhatian khusus untuk perlindungan PMI dengan cara mencegah keberangkatan PMI non prosedural.
Berdasarkan data, ada 535.000 warga NTB yang bekerja di luar negeri yang tersebar di ratusan negara penempatan di seluruh dunia, dengan negara penempatan terbanyak adalah Malaysia dan Timur Tengah.
Data dari PMI pusat menyebutkan jumlah warga Indonesia yang bekerja di luar negeri sebanyak 9 juta orang, tetapi berangkat secara prosedural hanya 4,3 juta. Penyebab banyaknya PMI un-prosedural salah satunya, yaitu banyak yang berangkat dengan visa kunjungan, tetapi sampai negara penempatan mengubah visanya menjadi visa bekerja. Meski dari segi visa legal tapi akan menjadi sangat rawan, karena pemerintah tidak bisa melacak sehingga PMI tidak bisa mendapatkan perlindungan.
"Kita tidak bisa mengintervensi negara penempatan karena mereka punya aturan sendiri. Yang bisa kita lakukan adalah mencegah dari sini. Yaitu, bagaimana menertibkan perusahaan P3MI agar mengikuti prosedur yang ada dan memberikan sosialisasi edukasi secara massif agar program zero unprocedural PMI ini dapat tercapai," ucap Aryadi.
Dalam mewujudkan program PMI zero un-prosedural ini harus dimulai di tingkat hulu, yaitu Kepala Desa di imbau untuk selektif mengeluarkan rekomendasi.
"Kita harus punya komitmen dan keberanian untuk betul-betul memastikan warga kita yang berangkat ini secara prosedural agar bisa mendapatkan perlindungan. Karena melindungi PMI yang berangkat sama dengan melindungi keluarga mereka di sini," tegas mantan Irbansus pada Inspektorat NTB tersebut.
Kepala BPJS Ketenagakerjaan NTB Adventus Edison Souhuwat mengatakan 10.000 perlindungan sosial yang diberikan berupa JKK dan JKM kepada petani dan buruh tani tembakau itu dengan iuran Rp16.800 per bulan. Manfaat yang diperoleh, antara lain jika peserta mengalami kecelakaan kerja, dengan program JKK biaya perawatan RS akan di cover seluruhnya oleh BPJS.
Kemudian, selama petani belum bisa direkomendasikan bekerja oleh dokter, maka selama setahun upah-nya akan dibayarkan 100 persen.
Jika lewat 12 bulan menurut dokter masih belum bisa kerja, maka akan diberi 50 persen. Apabila karena kecelakaan mengalami cacat, akan diberikan santunan cacat. Jika peserta mengalami kecelakaan kerja hingga menyebabkan meninggal dunia, peserta akan diberikan 48 kali upah dan santunan berkala Rp200.000 sebulan selama 12 tahun yang dibayar secara lunas.
Manfaat lainnya yaitu, dua orang anaknya akan diberikan beasiswa untuk melanjutkan sekolah. Untuk tingkat TK-SD akan diberikan Rp1,5 juta, SMP Rp2 juta SMA Rp3 juta dan perguruan tinggi Rp12 juta per tahunnya sehingga, totalnya Rp140 juta untuk dua orang anak.
Program yang kedua, JKM manfaatnya yaitu jika peserta meninggal bukan karena kecelakaan kerja, maka akan mendapatkan santunan sebesar Rp42 juta dan anaknya juga diberikan beasiswa.
Edison juga mengatakan berdasarkan data, pekerja non-ASN di NTB yang telah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan sudah 100 persen.
"Harapannya ke depan tokoh agama lintas agama, guru ngaji maupun marbot juga mendapatkan perlindungan," katanya.