Mataram (ANTARA) - Peristiwa yang dialami oleh Razman Arif Nasution (RAN) yang sedang viral di media sosial beberapa hari ini merupakan momentum bagi organisasi advokat maupun para advokat untuk melakukan introspeksi dan berbenah diri, terlebih profesi advokat pada prinsipnya adalah profesi terhormat atau officium nobile.
Dalam beberapa hari terakhir ini telah terjadi gonjang-ganjing di dunia advokat terkait dengan figur RAN yang diberhentikan secara tidak hormat oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI) 2008.
RAN menurut keterangan KAI (2008) diduga melakukan pelanggaran-pelanggaran terkait ijazahnya, Surat Keputusan pengangkatannya, magangnya, maupun adanya pengaduan-pengaduan lain oleh klien terhadap RAN.
Selanjutnya, RAN mengajukan permohonan untuk bergabung dengan KAI yang dipimpin oleh Tjoetjoe Sandjaja Hernanto (TSH). Terkait hal ini di dalam KAI (TSH) muncul kontroversi alias pro dan kontra bahwa ada yang tidak keberatan untuk RAN bergabung, namun tidak sedikit pula yang mengkritisi serta menolak bergabungnya RAN ke KAI (TSH).
Oleh karena itu, Dewan Pengurus Pusat KAI (TSH) membentuk Tim Verifikasi menyangkut persoalan RAN. Akan tetapi, Setelah Tim Verifikasi terbentuk, saudara RAN ternyata memberikan pernyataan kepada publik bahwa RAN tidak jadi bergabung dengan KAI (TSH) dan memilih berlabuh ke PERADI Bersatu.
Fenomena “loncat pagar” yang dilakukan RAN tersebut perlu disoroti serta menjadi pelajaran berharga bagi semua organisasi advokat maupun para advokat sebab menyangkut beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, terkait dengan integritas (integrity) yang merupakan intrinsic values dan menjadi harta termahal dari seorang advokat. Integrity ini dibangun berdasarkan values system atau pondasi daripada dibentuknya Kode Etik Advokat (KEA). Memperteguh integritas advokat adalah sebuah keniscayaan, suatu taken for granted.
Kedua, terkait dengan kepercayaan publik (public trust). Kepercayaan publik ini sangat penting dijaga oleh organisasi advokat maupun seorang advokat. Dengan adanya public trust tersebut, nilai-nilai keadilan (justice values) dapat diperjuangkan. Bukan saja kepastian hukum, tetapi kepastian hukum yang adil yang harus dikedepankan sesuai mandat konstitusi.
Ketiga, dalam konteks ini, apa yang diperlukan bukan hanya law enforcement, melainkan juga ethics enforcement. Dengan demikian, penting untuk dibangun atau dibentuk Dewan Kehormatan Advokat Bersama yang berkredibilitas sehingga peristiwa “loncat pagar” dapat diminimalisasi.
Terakhir, peristiwa heboh semacam ini boleh juga dianalogikan seperti adanya kerikil dalam sepatu. Artinya jika terdapat suatu kerikil di dalam sepatu, bukan sepatunya yang dibuang, namun kerikilnya yang disingkirkan.
Pada titik ini, sudah saatnya organisasi advokat yang jumlahnya kian banyak bersinergi dan menggagas terbentuknya Dewan Kehormatan Advokat Bersama yang terdiri dari orang-orang yang berintegritas dan kredibel.
Melalui upaya ini diharapkan kepercayaan publik kepada advokat maupun organisasi advokat akan tumbuh kembali. Sebaliknya, bukan tidak mungkin kepercayaan publik kepada advokat maupun organisasi advokat memupus dan sirna.
*TM Luthfi Yazid, Alumnus School of Law, University of Warwick Inggris, Wakil Ketua Dewan Penasehat Indonesian Association of British Alumni (IABA), mantan peneliti di University of Gakushuin, Tokyo dan salah satu pendiri Japan Indonesian Lawyers Association (JILA).
Dalam beberapa hari terakhir ini telah terjadi gonjang-ganjing di dunia advokat terkait dengan figur RAN yang diberhentikan secara tidak hormat oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI) 2008.
RAN menurut keterangan KAI (2008) diduga melakukan pelanggaran-pelanggaran terkait ijazahnya, Surat Keputusan pengangkatannya, magangnya, maupun adanya pengaduan-pengaduan lain oleh klien terhadap RAN.
Selanjutnya, RAN mengajukan permohonan untuk bergabung dengan KAI yang dipimpin oleh Tjoetjoe Sandjaja Hernanto (TSH). Terkait hal ini di dalam KAI (TSH) muncul kontroversi alias pro dan kontra bahwa ada yang tidak keberatan untuk RAN bergabung, namun tidak sedikit pula yang mengkritisi serta menolak bergabungnya RAN ke KAI (TSH).
Oleh karena itu, Dewan Pengurus Pusat KAI (TSH) membentuk Tim Verifikasi menyangkut persoalan RAN. Akan tetapi, Setelah Tim Verifikasi terbentuk, saudara RAN ternyata memberikan pernyataan kepada publik bahwa RAN tidak jadi bergabung dengan KAI (TSH) dan memilih berlabuh ke PERADI Bersatu.
Fenomena “loncat pagar” yang dilakukan RAN tersebut perlu disoroti serta menjadi pelajaran berharga bagi semua organisasi advokat maupun para advokat sebab menyangkut beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, terkait dengan integritas (integrity) yang merupakan intrinsic values dan menjadi harta termahal dari seorang advokat. Integrity ini dibangun berdasarkan values system atau pondasi daripada dibentuknya Kode Etik Advokat (KEA). Memperteguh integritas advokat adalah sebuah keniscayaan, suatu taken for granted.
Kedua, terkait dengan kepercayaan publik (public trust). Kepercayaan publik ini sangat penting dijaga oleh organisasi advokat maupun seorang advokat. Dengan adanya public trust tersebut, nilai-nilai keadilan (justice values) dapat diperjuangkan. Bukan saja kepastian hukum, tetapi kepastian hukum yang adil yang harus dikedepankan sesuai mandat konstitusi.
Ketiga, dalam konteks ini, apa yang diperlukan bukan hanya law enforcement, melainkan juga ethics enforcement. Dengan demikian, penting untuk dibangun atau dibentuk Dewan Kehormatan Advokat Bersama yang berkredibilitas sehingga peristiwa “loncat pagar” dapat diminimalisasi.
Terakhir, peristiwa heboh semacam ini boleh juga dianalogikan seperti adanya kerikil dalam sepatu. Artinya jika terdapat suatu kerikil di dalam sepatu, bukan sepatunya yang dibuang, namun kerikilnya yang disingkirkan.
Pada titik ini, sudah saatnya organisasi advokat yang jumlahnya kian banyak bersinergi dan menggagas terbentuknya Dewan Kehormatan Advokat Bersama yang terdiri dari orang-orang yang berintegritas dan kredibel.
Melalui upaya ini diharapkan kepercayaan publik kepada advokat maupun organisasi advokat akan tumbuh kembali. Sebaliknya, bukan tidak mungkin kepercayaan publik kepada advokat maupun organisasi advokat memupus dan sirna.
*TM Luthfi Yazid, Alumnus School of Law, University of Warwick Inggris, Wakil Ketua Dewan Penasehat Indonesian Association of British Alumni (IABA), mantan peneliti di University of Gakushuin, Tokyo dan salah satu pendiri Japan Indonesian Lawyers Association (JILA).