Mataram (ANTARA) - Kejaksaan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, telah menindaklanjuti keputusan jaksa penuntut umum tidak melakukan penahanan terhadap Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) NTB Ida Made Santi Adnya yang menjadi tersangka penyebar hoaks perihal promosi penjualan hotel.
"Pertimbangan penuntut umum tidak melakukan penahanan, karena sikap kooperatif tersangka dan melihat peran dia sebagai Ketua PHDI NTB yang kini masih dibutuhkan dalam kepengurusan," kata Kepala Kejari Mataram Ivan Jaka di Mataram, Kamis.
Menurut dia, keputusan yang sudah melekat dalam kewenangan penuntut umum tersebut, jelasnya, sesuai dengan dasar hukum pada Pasal 21 KUHAP terkait syarat objektif dan subjektif dalam hal penahanan tersangka.
"Jadi yang bersangkutan juga sudah menyatakan bersedia untuk kooperatif ketika nanti diminta hadir penuntut umum, baik dalam persidangan maupun penahanan," ujarnya.
Keputusan penuntut umum tidak melakukan penahanan terhadap Made Santi ini menyusul kegiatan pelimpahan tersangka dan barang bukti dari penyidik kepolisian. Pelimpahan tersebut berlangsung, Rabu (27/7).
Penyidik melaksanakan pelimpahan berdasarkan tindak lanjut hasil penelitian jaksa yang telah menyatakan berkas perkara sudah lengkap.
Dalam perkara ini, Made Santi menjadi tersangka yang diduga menyebarkan berita bohong melalui unggahan media sosial pribadi. Unggahan pada 20 Februari 2021 tersebut berkaitan dengan promosi penjualan hotel berbintang bernama Bidari yang berada di Kota Mataram.
Made Santi terungkap mempromosikan penjualan itu melalui unggahan pada akun facebook milik pribadinya. Made Santi menjual dengan memberi informasi bahwa hotel tersebut baru dilelang di tahun 2021.
Namun dari hasil penyidikan terungkap bahwa proses pelelangan hotel tersebut berlangsung di tahun 2020. Hal itu pun diperkuat dengan adanya bukti dokumen penilaian aset yang berlangsung di tahun 2020.
"Jadi unggahan tersangka ini tidak sesuai dengan fakta sehingga masuk dalam penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik," ucap Ajun Komisaris Besar Polisi Darsono Setyo Adjie, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Subbidang Siber Ditreskrimsus Polda NTB.
Hal itu pun sesuai dengan sangkaan pidana yang menetapkan Made Santi sebagai tersangka, yakni Pasal 28 ayat 1 Juncto Pasal 45A ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Pertimbangan penuntut umum tidak melakukan penahanan, karena sikap kooperatif tersangka dan melihat peran dia sebagai Ketua PHDI NTB yang kini masih dibutuhkan dalam kepengurusan," kata Kepala Kejari Mataram Ivan Jaka di Mataram, Kamis.
Menurut dia, keputusan yang sudah melekat dalam kewenangan penuntut umum tersebut, jelasnya, sesuai dengan dasar hukum pada Pasal 21 KUHAP terkait syarat objektif dan subjektif dalam hal penahanan tersangka.
"Jadi yang bersangkutan juga sudah menyatakan bersedia untuk kooperatif ketika nanti diminta hadir penuntut umum, baik dalam persidangan maupun penahanan," ujarnya.
Keputusan penuntut umum tidak melakukan penahanan terhadap Made Santi ini menyusul kegiatan pelimpahan tersangka dan barang bukti dari penyidik kepolisian. Pelimpahan tersebut berlangsung, Rabu (27/7).
Penyidik melaksanakan pelimpahan berdasarkan tindak lanjut hasil penelitian jaksa yang telah menyatakan berkas perkara sudah lengkap.
Dalam perkara ini, Made Santi menjadi tersangka yang diduga menyebarkan berita bohong melalui unggahan media sosial pribadi. Unggahan pada 20 Februari 2021 tersebut berkaitan dengan promosi penjualan hotel berbintang bernama Bidari yang berada di Kota Mataram.
Made Santi terungkap mempromosikan penjualan itu melalui unggahan pada akun facebook milik pribadinya. Made Santi menjual dengan memberi informasi bahwa hotel tersebut baru dilelang di tahun 2021.
Namun dari hasil penyidikan terungkap bahwa proses pelelangan hotel tersebut berlangsung di tahun 2020. Hal itu pun diperkuat dengan adanya bukti dokumen penilaian aset yang berlangsung di tahun 2020.
"Jadi unggahan tersangka ini tidak sesuai dengan fakta sehingga masuk dalam penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik," ucap Ajun Komisaris Besar Polisi Darsono Setyo Adjie, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Subbidang Siber Ditreskrimsus Polda NTB.
Hal itu pun sesuai dengan sangkaan pidana yang menetapkan Made Santi sebagai tersangka, yakni Pasal 28 ayat 1 Juncto Pasal 45A ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).