Jakarta (ANTARA) - Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai pertumbuhan ekonomi pada tahun 2023 yang ditargetkan sebesar 5,3 persen dinilai menunjukkan kekhawatiran dan ketidakoptimisan atas kondisi ekonomi global yang tengah tidak menentu.
Menurut Tauhid, proyeksi pertumbuhan ekonomi itu diambil dari batas bawah dari asumsi dasar makro dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 yang disetujui Badan Anggaran (Banggar) DPR RI di mana pertumbuhan ekonomi diperkirakan sebesar 5,3 persen-5,9 persen.
"Artinya pemerintah mengambil preferensi batas bawah dari target pertumbuhan ekonomi. Yang kami bayangkan adalah pemerintah tadinya berani ambil porsi pertumbuhan ekonomi berada pada 5,9. Artinya pemerintah tidak optimis, bahkan cenderung bahwa tahun depan terjadi awan gelap sehingga pertumbuhan ekonomi berada pada 5,3 persen. Kalau optimis seharusnya 5,9 persen," katanya dalam diskusi publik secara daring di Jakarta, Selasa.
Menurut Tauhid, dalam pidato yang disampaikan Presiden Jokowi, tampaknya awan gelap benar-benar terjadi pada tahun 2023. "Kami melihat tampaknya benar-benar terjadi awan gelap di tahun 2023," katanya.
Tauhid juga menilai tahun depan tampaknya masih menjadi tahun yang cukup kritis karena krisis Ukraina-Rusia. Ia menilai hal itu juga ditunjukkan dari harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia (ICP) tahun 2023 yang diperkirakan berada pada kisaran 90 dolar AS per barel.
Baca juga: Indonesia alami pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial
Baca juga: BI optimistis pertumbuhan ekonomi NTB 6,5-7,5 persen pada 2022
Sementara itu, inflasi pada 2023 diupayakan tetap dijaga pada kisaran 3,3 persen serta defisit anggaran tahun 2023 yang direncanakan sebesar 2,85 persen terhadap PDB atau Rp598,2 triliun. Ia mengakui jika asumsi makro yang ditetapkan cukup beralasan mengingat skenario konsolidasi APBN pada tahun depan ditunjukkan dengan defisit yang dipatok hampir Rp600 triliun.
Begitu pula pengetatan ekspansi fiskal yang pada tahun depan semakin dibatasi di mana belanja negara berkurang dibandingkan pada 2022 lalu. Proyeksi belanja negara pada APBN 2022 direncanakan Rp3.106 triliun, sementara belanja di APBN 2023 hanya sebesar Rp3.041 triliun.
"Saya kira tahun depan akan terjadi stagnasi ekonomi dan ini harus diwaspadai terutama oleh masyarakat bawah karena tampaknya akan terjadi pengurangan subsidi BBM yang cukup signifikan dengan keterbatasan anggaran karena konsolidasi fiskal di tahun mendatang," ujar Tauhid.
Menurut Tauhid, proyeksi pertumbuhan ekonomi itu diambil dari batas bawah dari asumsi dasar makro dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 yang disetujui Badan Anggaran (Banggar) DPR RI di mana pertumbuhan ekonomi diperkirakan sebesar 5,3 persen-5,9 persen.
"Artinya pemerintah mengambil preferensi batas bawah dari target pertumbuhan ekonomi. Yang kami bayangkan adalah pemerintah tadinya berani ambil porsi pertumbuhan ekonomi berada pada 5,9. Artinya pemerintah tidak optimis, bahkan cenderung bahwa tahun depan terjadi awan gelap sehingga pertumbuhan ekonomi berada pada 5,3 persen. Kalau optimis seharusnya 5,9 persen," katanya dalam diskusi publik secara daring di Jakarta, Selasa.
Menurut Tauhid, dalam pidato yang disampaikan Presiden Jokowi, tampaknya awan gelap benar-benar terjadi pada tahun 2023. "Kami melihat tampaknya benar-benar terjadi awan gelap di tahun 2023," katanya.
Tauhid juga menilai tahun depan tampaknya masih menjadi tahun yang cukup kritis karena krisis Ukraina-Rusia. Ia menilai hal itu juga ditunjukkan dari harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia (ICP) tahun 2023 yang diperkirakan berada pada kisaran 90 dolar AS per barel.
Baca juga: Indonesia alami pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial
Baca juga: BI optimistis pertumbuhan ekonomi NTB 6,5-7,5 persen pada 2022
Sementara itu, inflasi pada 2023 diupayakan tetap dijaga pada kisaran 3,3 persen serta defisit anggaran tahun 2023 yang direncanakan sebesar 2,85 persen terhadap PDB atau Rp598,2 triliun. Ia mengakui jika asumsi makro yang ditetapkan cukup beralasan mengingat skenario konsolidasi APBN pada tahun depan ditunjukkan dengan defisit yang dipatok hampir Rp600 triliun.
Begitu pula pengetatan ekspansi fiskal yang pada tahun depan semakin dibatasi di mana belanja negara berkurang dibandingkan pada 2022 lalu. Proyeksi belanja negara pada APBN 2022 direncanakan Rp3.106 triliun, sementara belanja di APBN 2023 hanya sebesar Rp3.041 triliun.
"Saya kira tahun depan akan terjadi stagnasi ekonomi dan ini harus diwaspadai terutama oleh masyarakat bawah karena tampaknya akan terjadi pengurangan subsidi BBM yang cukup signifikan dengan keterbatasan anggaran karena konsolidasi fiskal di tahun mendatang," ujar Tauhid.