Mataram (ANTARA) - Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Mataram Prof. Amiruddin mengatakan permintaan hitung ulang kerugian negara oleh tersangka tidak bisa menjadi rujukan aparat penegak hukum dalam menentukan arah penanganan suatu perkara.

"Kalau yang meminta hitung ulang dari tersangka, ya tidak bisa itu jadi rujukan," kata Amiruddin yang ditemui di Mataram, Senin.

Sepantasnya, kata dia, hitung ulang permintaan kerugian negara hanya diajukan oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini penyidik.

Apalagi sampai pihak atau lembaga resmi yang melakukan hitung ulang berdasarkan permintaan tersangka itu menggugurkan hasil awal. Amiruddin tidak membenarkan hal tersebut.

"Tidak bisa seperti itu," ujarnya.

Saat disinggung terkait kasus dugaan korupsi proyek pembangunan ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada RSUD Lombok Utara, yang menetapkan empat tersangka usai penyidik mengantongi hasil hitung kerugian negara sedikitnya Rp 240 juta, Amir mengaku belum melakukan kajian terhadap kasus tersebut.

Termasuk juga dengan alasan salah seorang tersangka mengajukan permintaan hitung ulang kerugian negara karena adanya material "on-site" dalam pelaksanaan proyek. Namun, menurut Amir, hal itu belum bisa menjadi rujukan penyidik menggugurkan hasil hitung di awal.

"Pada intinya kalau ada kerugian negara berarti ada korupsi. Kalau tidak ada, berarti tidak ada tindak pidana korupsi di situ. Itu prinsip," ucap dia.

Kepala Kejati NTB Sungarpin sebelumnya telah mengungkapkan bahwa progres penanganan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan ruang IGD RSUD Lombok Utara, kini tengah menunggu petunjuk dari Kejaksaan Agung (Kejagung).

Petunjuk tersebut terkait dengan agenda ekspose perkara menyusul kabar penyidik jaksa yang telah menerima hasil hitung ulang kerugian negara dari Inspektorat NTB.

Aparat pengawas internal perintah (APIP) tersebut melakukan penghitungan ulang berdasarkan adanya permintaan dari pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek yang kini menjadi tersangka.

Namun terkait hasil hitung ulang tersebut, Sungarpin enggan menyampaikan ke publik. Melainkan hal itu akan dibuka saat gelar perkara di Kejagung.

Proyek dengan nama pekerjaan penambahan ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada RSUD Lombok Utara ini dikerjakan oleh PT. Batara Guru Group. Proyek dikerjakan dengan nilai Rp5,1 miliar yang bersumber dari APBD Lombok Utara.

Dugaan korupsinya muncul pasca pemerintah memutus kontrak proyek di tengah progres pengerjaan. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya kerugian negara hasil hitung awal.

Modus korupsi dari kasus ini berkaitan dengan pekerjaan proyek yang tetap dinyatakan selesai meskipun masih ada dugaan kekurangan volume pekerjaan. Angka kerugian negara itu pun muncul dari dugaan tersebut.

Untuk proyek ini, Kejati NTB menetapkan Wakil Bupati Lombok Utara berinisial DKF sebagai tersangka. DKF terjerat kasus korupsi tersebut saat mengemban jabatan staf ahli dari konsultan pengawas proyek, CV. Indo Mulya Consultant.

DKF menjadi tersangka bersama pimpinan CV. Indo Mulya Consultant, berinisial LFH, Direktur RSUD Lombok Utara, berinisial SH, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek berinisial HZ, dan kuasa direktur PT. Batara Guru Group, MF.

Pewarta : Dhimas Budi Pratama
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024