Mataram (ANTARA) - Kejaksaan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat mengusut adanya dugaan penerbitan surat perintah perjalanan dinas (SPPD) fiktif di lingkup DPRD Lombok Utara.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Mataram Ida Bagus Putu Widnyana di Mataram, Senin, membenarkan perihal pengusutan kasus tersebut.
"Iya, penanganan baru masuk 'puldata pulbaket' (pengumpulan data dan bahan keterangan)," kata Bagus.
Dalam tahap ini, jelas dia, pihaknya melakukan permintaan klarifikasi kepada para pihak terkait, termasuk nama-nama yang tercantum sebagai penerima SPPD.
Meskipun enggan menyebutkan siapa saja yang sudah memberikan klarifikasi. Namun, Bagus memastikan proses klarifikasi ini masih berjalan.
"Memang sudah ada beberapa orang yang kami mintai klarifikasi dan itu (proses) masih berjalan," ujarnya.
Dalam kasus ini ada 44 anggota legislatif dan 7 pegawai sekretaris dewan yang namanya turut tercantum sebagai penerima SPPD. Dugaan fiktif tersebut muncul dalam penerbitan di tahun 2021.
Jumlah anggaran SPPD yang diduga fiktif itu terbilang cukup beragam, mulai dari Rp1,8 juta hingga Rp3,9 juta.
Persoalan ini pun terungkap dari hasil temuan badan pemeriksa keuangan (BPK). Uang tersebut tidak digunakan untuk biaya penginapan. Sehingga dalam temuan tercantum kerugian negara Rp186,57 juta.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Mataram Ida Bagus Putu Widnyana di Mataram, Senin, membenarkan perihal pengusutan kasus tersebut.
"Iya, penanganan baru masuk 'puldata pulbaket' (pengumpulan data dan bahan keterangan)," kata Bagus.
Dalam tahap ini, jelas dia, pihaknya melakukan permintaan klarifikasi kepada para pihak terkait, termasuk nama-nama yang tercantum sebagai penerima SPPD.
Meskipun enggan menyebutkan siapa saja yang sudah memberikan klarifikasi. Namun, Bagus memastikan proses klarifikasi ini masih berjalan.
"Memang sudah ada beberapa orang yang kami mintai klarifikasi dan itu (proses) masih berjalan," ujarnya.
Dalam kasus ini ada 44 anggota legislatif dan 7 pegawai sekretaris dewan yang namanya turut tercantum sebagai penerima SPPD. Dugaan fiktif tersebut muncul dalam penerbitan di tahun 2021.
Jumlah anggaran SPPD yang diduga fiktif itu terbilang cukup beragam, mulai dari Rp1,8 juta hingga Rp3,9 juta.
Persoalan ini pun terungkap dari hasil temuan badan pemeriksa keuangan (BPK). Uang tersebut tidak digunakan untuk biaya penginapan. Sehingga dalam temuan tercantum kerugian negara Rp186,57 juta.