Mataram (ANTARA) - Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat mengantongi hasil penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan terkait penyidikan tindak pidana pencucian uang dalam kasus penggelapan dana Yayasan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Bima.
"Hasil PPATK sudah kami dapatkan dan sekarang masih dalam proses pemeriksaan penyidik," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB Komisaris Besar Polisi Teddy Ristiawan di Mataram, Selasa.
Meskipun enggan menjelaskan perihal materi hasil penelusuran PPATK, Teddy mengatakan bahwa penyidik kini sedang menyusun agenda dari tindak lanjut hasil penelusuran PPATK tersebut.
"Hasil ada, tetapi itu rahasia penyidikan. Yang pasti, hasil PPATK ini sekarang menjadi dasar penyidik melanjutkan penanganan kasus," ujarnya.
Dengan adanya hasil penelusuran PPATK, Teddy mengatakan penyidik sudah mengagendakan serangkaian pemeriksaan saksi, termasuk terpidana dari kasus penggelapan dana Yayasan STKIP Bima.
"Pada intinya siapa pun yang berkaitan dengan kasus ini akan diperiksa. Kalau pun sudah diperiksa, tetapi dari hasil PPATK ada hal baru, akan dipanggil lagi. Terpidana kasus penggelapan juga begitu, kalau ada kaitan dengan mereka, akan diperiksa lagi," ucap Teddy.
Pihak kepolisian menangani kasus ini berdasarkan laporan yang merujuk pada putusan pidana penggelapan dana Yayasan STKIP Bima.
Dalam perkara tersebut, muncul angka kerugian yang cukup besar. Hal itu pun telah ditindaklanjuti pihak kampus sehingga masuk dalam penanganan kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Untuk kasus pidana penggelapan dana Yayasan STKIP Bima telah diperoleh putusan berkekuatan hukum tetap dari hakim banding Pengadilan Tinggi NTB tertanggal 21 Juli 2022.
Dalam putusan tingkat banding tersebut, hakim menguatkan putusan Pengadilan Negeri Raba Bima dengan nomor perkara 69/Pid.B/ 2022/PN Rbi tertanggal 31 Mei 2022.
Putusan pada pengadilan tingkat pertama itu menjatuhkan vonis kepada tiga terdakwa, masing-masing Muhammad Sopyan selama tiga tahun penjara, Amran Amir (dua tahun penjara) dan Muhammad Fakhri (delapan bulan penjara).
Amran Amir merupakan mantan Ketua STKIP Bima periode 2016-2020, kemudian Muhammad Fakhri (Ketua Yayasan STKIP Bima periode 2019-2020), sedangkan Muhammad Sopyan (Kepala Bagian Administrasi Umum periode 2016-2019 dan Kepala Bagian Keuangan periode 2019-2020).
Majelis hakim Pengadilan Negeri Raba Bima menyatakan ketiga terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama dan secara berlanjut melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatan.
Putusan tersebut sesuai dengan dakwaan tunggal dari jaksa penuntut umum, yakni pasal 374 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto pasal 64 ayat 1 KUHP.
Namun, dalam putusan pidana tersebut tidak ada pernyataan yang membebankan tiga terpidana untuk mengganti uang kerugian yang muncul sesuai hasil audit independen pihak kampus senilai Rp19,34 miliar. Hal itu yang menjadi dasar kepolisian melanjutkan kasus tersebut ke tahap penyidikan TPPU.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Penyidik kantongi hasil PPATK terkait kasus TPPU dana Yayasan STKIP
"Hasil PPATK sudah kami dapatkan dan sekarang masih dalam proses pemeriksaan penyidik," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB Komisaris Besar Polisi Teddy Ristiawan di Mataram, Selasa.
Meskipun enggan menjelaskan perihal materi hasil penelusuran PPATK, Teddy mengatakan bahwa penyidik kini sedang menyusun agenda dari tindak lanjut hasil penelusuran PPATK tersebut.
"Hasil ada, tetapi itu rahasia penyidikan. Yang pasti, hasil PPATK ini sekarang menjadi dasar penyidik melanjutkan penanganan kasus," ujarnya.
Dengan adanya hasil penelusuran PPATK, Teddy mengatakan penyidik sudah mengagendakan serangkaian pemeriksaan saksi, termasuk terpidana dari kasus penggelapan dana Yayasan STKIP Bima.
"Pada intinya siapa pun yang berkaitan dengan kasus ini akan diperiksa. Kalau pun sudah diperiksa, tetapi dari hasil PPATK ada hal baru, akan dipanggil lagi. Terpidana kasus penggelapan juga begitu, kalau ada kaitan dengan mereka, akan diperiksa lagi," ucap Teddy.
Pihak kepolisian menangani kasus ini berdasarkan laporan yang merujuk pada putusan pidana penggelapan dana Yayasan STKIP Bima.
Dalam perkara tersebut, muncul angka kerugian yang cukup besar. Hal itu pun telah ditindaklanjuti pihak kampus sehingga masuk dalam penanganan kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Untuk kasus pidana penggelapan dana Yayasan STKIP Bima telah diperoleh putusan berkekuatan hukum tetap dari hakim banding Pengadilan Tinggi NTB tertanggal 21 Juli 2022.
Dalam putusan tingkat banding tersebut, hakim menguatkan putusan Pengadilan Negeri Raba Bima dengan nomor perkara 69/Pid.B/ 2022/PN Rbi tertanggal 31 Mei 2022.
Putusan pada pengadilan tingkat pertama itu menjatuhkan vonis kepada tiga terdakwa, masing-masing Muhammad Sopyan selama tiga tahun penjara, Amran Amir (dua tahun penjara) dan Muhammad Fakhri (delapan bulan penjara).
Amran Amir merupakan mantan Ketua STKIP Bima periode 2016-2020, kemudian Muhammad Fakhri (Ketua Yayasan STKIP Bima periode 2019-2020), sedangkan Muhammad Sopyan (Kepala Bagian Administrasi Umum periode 2016-2019 dan Kepala Bagian Keuangan periode 2019-2020).
Majelis hakim Pengadilan Negeri Raba Bima menyatakan ketiga terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama dan secara berlanjut melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatan.
Putusan tersebut sesuai dengan dakwaan tunggal dari jaksa penuntut umum, yakni pasal 374 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto pasal 64 ayat 1 KUHP.
Namun, dalam putusan pidana tersebut tidak ada pernyataan yang membebankan tiga terpidana untuk mengganti uang kerugian yang muncul sesuai hasil audit independen pihak kampus senilai Rp19,34 miliar. Hal itu yang menjadi dasar kepolisian melanjutkan kasus tersebut ke tahap penyidikan TPPU.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Penyidik kantongi hasil PPATK terkait kasus TPPU dana Yayasan STKIP