Jakarta (ANTARA) - Kepala Grup Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran (DKSP) Bank Indonesia (BI) Dudi Dermawan menilai perkembangan layanan keuangan digital dan teknologi finansial (tekfin/fintech) perlu diperkuat dengan sinergi para pelaku dan regulator di ekosistem tersebut.
"Kolaborasi dan sinergi antara regulator dan fintech perlu terus diperkuat untuk mendukung dan mengawal berbagai inisiatif strategis dalam rangka mendorong pemulihan ekonomi dan integrasi keuangan serta mengakselerasi digitalisasi sistem pembayaran di Indonesia," kata Dudi di Jakarta, Senin.
Adapun Dudi mencontohkan sejumlah inovasi dalam keuangan yang merupakan hasil kolaborasi dari berbagai pihak seperti BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta asosiasi terkait. Beberapa di antaranya adalah Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang sudah bisa digunakan hingga di negara lain seperti Thailand; hingga BI-FAST yang merupakan infrastruktur sistem pembayaran ritel nasional yang dapat memfasilitasi pembayaran ritel secara real-time, aman, efisien, dan tersedia setiap saat.
"Semua produk layanan tersebut mengikuti blueprint sistem pembayaran 3I yaitu integrated, interoperable, dan interconnected. Semuanya disatukan dalam inovasi di infrastruktur (pembayaran, keuangan), dan sangat terhubung satu sama lain," kata Dudi.
Lebih lanjut, ia mengatakan baik BI maupun pemerintah berkomitmen untuk menciptakan ekosistem end-to-end yang lebih stabil, aman, inovatif, dan inklusif. Sependapat, Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital OJK Triyono mengatakan penguatan sektor keuangan digital dapat dilihat dari segi sisi penawaran (supply) dan permintaan (demand).
Baca juga: BI perkirakan penyaluran kredit tumbuh 11 persen
Baca juga: BI catat modal asing masuk Rp3,02 triliun sepekan ini
"Di sisi supply, saat ini OJK berkolaborasi dengan seluruh elemen ekosistem keuangan digital tengah mempersiapkan infrastruktur seperti e-KYC, tanda tangan elektronik, dan digital ID serta perangkat keamanan siber yang diyakini mampu meningkatkan tata kelola dan tingkat keamanan dalam bertransaksi melalui layanan dan produk keuangan digital," jelas Triyono.
"Sementara di sisi demand, masyarakat juga harus disiapkan dengan literasi keuangan digital yang memadai sehingga paham akan risiko-risiko dalam bertransaksi melalui produk dan layanan keuangan digital. Saya kira, peran asosiasi juga cukup sentral di kedua sisi," imbuhnya.
"Kolaborasi dan sinergi antara regulator dan fintech perlu terus diperkuat untuk mendukung dan mengawal berbagai inisiatif strategis dalam rangka mendorong pemulihan ekonomi dan integrasi keuangan serta mengakselerasi digitalisasi sistem pembayaran di Indonesia," kata Dudi di Jakarta, Senin.
Adapun Dudi mencontohkan sejumlah inovasi dalam keuangan yang merupakan hasil kolaborasi dari berbagai pihak seperti BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta asosiasi terkait. Beberapa di antaranya adalah Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang sudah bisa digunakan hingga di negara lain seperti Thailand; hingga BI-FAST yang merupakan infrastruktur sistem pembayaran ritel nasional yang dapat memfasilitasi pembayaran ritel secara real-time, aman, efisien, dan tersedia setiap saat.
"Semua produk layanan tersebut mengikuti blueprint sistem pembayaran 3I yaitu integrated, interoperable, dan interconnected. Semuanya disatukan dalam inovasi di infrastruktur (pembayaran, keuangan), dan sangat terhubung satu sama lain," kata Dudi.
Lebih lanjut, ia mengatakan baik BI maupun pemerintah berkomitmen untuk menciptakan ekosistem end-to-end yang lebih stabil, aman, inovatif, dan inklusif. Sependapat, Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital OJK Triyono mengatakan penguatan sektor keuangan digital dapat dilihat dari segi sisi penawaran (supply) dan permintaan (demand).
Baca juga: BI perkirakan penyaluran kredit tumbuh 11 persen
Baca juga: BI catat modal asing masuk Rp3,02 triliun sepekan ini
"Di sisi supply, saat ini OJK berkolaborasi dengan seluruh elemen ekosistem keuangan digital tengah mempersiapkan infrastruktur seperti e-KYC, tanda tangan elektronik, dan digital ID serta perangkat keamanan siber yang diyakini mampu meningkatkan tata kelola dan tingkat keamanan dalam bertransaksi melalui layanan dan produk keuangan digital," jelas Triyono.
"Sementara di sisi demand, masyarakat juga harus disiapkan dengan literasi keuangan digital yang memadai sehingga paham akan risiko-risiko dalam bertransaksi melalui produk dan layanan keuangan digital. Saya kira, peran asosiasi juga cukup sentral di kedua sisi," imbuhnya.