Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi menyoroti kontestasi ideologi politik gerakan Islam yang mengisi ruang-ruang digital antara organisasi Islam arus utama dengan gerakan Islamis yang silih bersaing.
"Era digital memberikan ruang gerak kepada siapapun untuk mengekspresikan pikiran-pikiran, gagasan, atau pendapatnya yang bisa diterima semua pihak, termasuk gagasan-gagasan di bidang keagamaan dan bidang ideologi kenegaraan," ujar Zainut saat bedah buku Kontestasi Ideologi Politik, Gerakan Islam Indonesia di Ruang Publik Digital di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis.
Zainut mengatakan buku tersebut merupakan hasil penelitiannya yang ditujukan untuk tugas akhir Pascasarjana di UIN Syarif Hidayatullah pada jenjang doktoral. Buku itu mengkaji dinamika kontestasi ideologis antara organisasi Islam arus utama yang diwakili NU dan Muhammadiyah dengan gerakan Islamis seperti HTI dan FPI di ruang digital.
Menurutnya, kemunculan ruang digital telah mengakibatkan demokratisasi dan fragmentasi otoritas keagamaan serta mempertajam kontestasi dan polarisasi ideologis antara organisasi Islam dan gerakan Islamis.
Dalam penelitiannya, wacana ideologi yang diproduksi dan didistribusikan oleh gerakan Islamis di ruang digital cenderung memperoleh daya tarik di kalangan kelas menengah Muslim perkotaan, utamanya yang tengah dilanda gelombang titik balik agama.
Sementara wacana ideologi yang diproduksi organisasi Islam arus utama cenderung memperoleh penerimaan luas di kalangan masyarakat santri, Muslim moderat, dan kaum abangan.
"Baik gerakan Islamis maupun organisasi Islam arus utama sama-sama membingkai wacana ideologi politik yang mereka yakini dengan menggunakan bahasa, simbol, dan identitas keagamaan dengan menggunakan media dan budaya populer secara kreatif," katanya.
Berdasarkan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah dan Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta menunjukkan situs keislaman bermuatan radikal cenderung lebih dominan dan populer di kalangan warganet Indonesia.
Baca juga: Pemkab Lombok Tengah mengimbau perangkat desa manfaatkan digitalisasi
Baca juga: Bankespoldagri Lombok Tengah memanfaatkan digitalisasi cegah konflik
Menurut dia, kontra narasi perlu terus diupayakan oleh organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk membendung wacana-wacana bermuatan radikal dan antisistem. Inovasi-Inovasi dalam membangun dakwah yang mempersatukan, menyuarakan persaudaraan, dan Islam Wasathiyah di ruang digital perlu dikembangkan dan diproduksi secara masif.
"Kelompok-kelompok Islam arus utama seperti NU dan Muhammadiyah memainkan peran utama dalam membendung narasi radikal dan antisistem yang dihembuskan oleh kelompok-kelompok Islamis sambil terus berupaya mempertahankan Pancasila dan NKRI sebagai hasil konsensus bersama," kata dia.
"Era digital memberikan ruang gerak kepada siapapun untuk mengekspresikan pikiran-pikiran, gagasan, atau pendapatnya yang bisa diterima semua pihak, termasuk gagasan-gagasan di bidang keagamaan dan bidang ideologi kenegaraan," ujar Zainut saat bedah buku Kontestasi Ideologi Politik, Gerakan Islam Indonesia di Ruang Publik Digital di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis.
Zainut mengatakan buku tersebut merupakan hasil penelitiannya yang ditujukan untuk tugas akhir Pascasarjana di UIN Syarif Hidayatullah pada jenjang doktoral. Buku itu mengkaji dinamika kontestasi ideologis antara organisasi Islam arus utama yang diwakili NU dan Muhammadiyah dengan gerakan Islamis seperti HTI dan FPI di ruang digital.
Menurutnya, kemunculan ruang digital telah mengakibatkan demokratisasi dan fragmentasi otoritas keagamaan serta mempertajam kontestasi dan polarisasi ideologis antara organisasi Islam dan gerakan Islamis.
Dalam penelitiannya, wacana ideologi yang diproduksi dan didistribusikan oleh gerakan Islamis di ruang digital cenderung memperoleh daya tarik di kalangan kelas menengah Muslim perkotaan, utamanya yang tengah dilanda gelombang titik balik agama.
Sementara wacana ideologi yang diproduksi organisasi Islam arus utama cenderung memperoleh penerimaan luas di kalangan masyarakat santri, Muslim moderat, dan kaum abangan.
"Baik gerakan Islamis maupun organisasi Islam arus utama sama-sama membingkai wacana ideologi politik yang mereka yakini dengan menggunakan bahasa, simbol, dan identitas keagamaan dengan menggunakan media dan budaya populer secara kreatif," katanya.
Berdasarkan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah dan Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta menunjukkan situs keislaman bermuatan radikal cenderung lebih dominan dan populer di kalangan warganet Indonesia.
Baca juga: Pemkab Lombok Tengah mengimbau perangkat desa manfaatkan digitalisasi
Baca juga: Bankespoldagri Lombok Tengah memanfaatkan digitalisasi cegah konflik
Menurut dia, kontra narasi perlu terus diupayakan oleh organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk membendung wacana-wacana bermuatan radikal dan antisistem. Inovasi-Inovasi dalam membangun dakwah yang mempersatukan, menyuarakan persaudaraan, dan Islam Wasathiyah di ruang digital perlu dikembangkan dan diproduksi secara masif.
"Kelompok-kelompok Islam arus utama seperti NU dan Muhammadiyah memainkan peran utama dalam membendung narasi radikal dan antisistem yang dihembuskan oleh kelompok-kelompok Islamis sambil terus berupaya mempertahankan Pancasila dan NKRI sebagai hasil konsensus bersama," kata dia.