Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Boy Rafli Amar mengatakan kelompok ekstremisme yang mengarah pada tindakan terorisme kerap menyalahgunakan internet untuk melakukan propaganda.
"Selain menyalahgunakan internet untuk propaganda, mereka berusaha menyedot pendanaan terorisme yang menargetkan generasi muda," katanya melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Hal tersebut disampaikan Kepala BNPT di hadapan 16 negara yang hadir dalam Forum Tingkat Tinggi Aqaba Process Regional Asia Tenggara, di antaranya Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Filipina, Kamboja, Jepang, India, Australia, Selandia Baru, Prancis, AS, Inggris, dan Belanda yang diadakan di Bali pada 22-23 November 2022.
Kelompok ekstremisme melakukan rekrutmen dan perencanaan hingga pendanaan tindak pidana terorisme yang menargetkan anak muda bahkan mendorong pelibatan perempuan untuk melakukan aksi teror, katanya.
Menurutnya, perlu ada komitmen bersama antara pemerintah, organisasi, entitas internasional, dan perusahaan teknologi dalam menghadapi tantangan tersebut. "Sangat penting menggunakan pendekatan multidisiplin dengan menguatkan kemitraan dalam mengatasinya," ujar mantan Kapolda Papua tersebut.
Kerja sama itu, papar dia, tidak hanya antarnegara namun dengan berbagai organisasi internasional, termasuk perusahaan teknologi untuk mengatasi tantangan eksploitasi internet oleh kelompok teroris dan ekstremis berbasis kekerasan.
Baca juga: Pancasila adalah substansi perintah Tuhan dalam agama
Baca juga: Khilafah bukan solusi dari persoalan kebangsaan
Selain dihadiri negara-negara sahabat, pertemuan tersebut dihadiri perusahaan teknologi seperti Microsoft, Meta, TikTok, YouTube hingga Google. Dalam kesempatan itu, seluruh negara yang terlibat sepakat mengenai pentingnya peran Global Internet Forum to Counter Terrorism (GIFCT) dan Christchurch Call to Action yang di antaranya berisi pertukaran informasi, riset, dan praktik terbaik pencegahan radikalisasi melalui internet khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Aqaba Process merupakan sebuah inisiatif yang dibuat King Abdullah II dari Kerajaan Yordania pada tahun 2015 untuk mempertemukan perwakilan pejabat pemerintah, praktisi teknologi, dan masyarakat sipil. Tujuan Aqaba Process meningkatkan koordinasi di tingkat global, bertukar informasi, keahlian dalam upaya penanggulangan terorisme, dan ekstremisme "online" maupun "offline" menggunakan pendekatan holistik.
"Selain menyalahgunakan internet untuk propaganda, mereka berusaha menyedot pendanaan terorisme yang menargetkan generasi muda," katanya melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Hal tersebut disampaikan Kepala BNPT di hadapan 16 negara yang hadir dalam Forum Tingkat Tinggi Aqaba Process Regional Asia Tenggara, di antaranya Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Filipina, Kamboja, Jepang, India, Australia, Selandia Baru, Prancis, AS, Inggris, dan Belanda yang diadakan di Bali pada 22-23 November 2022.
Kelompok ekstremisme melakukan rekrutmen dan perencanaan hingga pendanaan tindak pidana terorisme yang menargetkan anak muda bahkan mendorong pelibatan perempuan untuk melakukan aksi teror, katanya.
Menurutnya, perlu ada komitmen bersama antara pemerintah, organisasi, entitas internasional, dan perusahaan teknologi dalam menghadapi tantangan tersebut. "Sangat penting menggunakan pendekatan multidisiplin dengan menguatkan kemitraan dalam mengatasinya," ujar mantan Kapolda Papua tersebut.
Kerja sama itu, papar dia, tidak hanya antarnegara namun dengan berbagai organisasi internasional, termasuk perusahaan teknologi untuk mengatasi tantangan eksploitasi internet oleh kelompok teroris dan ekstremis berbasis kekerasan.
Baca juga: Pancasila adalah substansi perintah Tuhan dalam agama
Baca juga: Khilafah bukan solusi dari persoalan kebangsaan
Selain dihadiri negara-negara sahabat, pertemuan tersebut dihadiri perusahaan teknologi seperti Microsoft, Meta, TikTok, YouTube hingga Google. Dalam kesempatan itu, seluruh negara yang terlibat sepakat mengenai pentingnya peran Global Internet Forum to Counter Terrorism (GIFCT) dan Christchurch Call to Action yang di antaranya berisi pertukaran informasi, riset, dan praktik terbaik pencegahan radikalisasi melalui internet khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Aqaba Process merupakan sebuah inisiatif yang dibuat King Abdullah II dari Kerajaan Yordania pada tahun 2015 untuk mempertemukan perwakilan pejabat pemerintah, praktisi teknologi, dan masyarakat sipil. Tujuan Aqaba Process meningkatkan koordinasi di tingkat global, bertukar informasi, keahlian dalam upaya penanggulangan terorisme, dan ekstremisme "online" maupun "offline" menggunakan pendekatan holistik.