Mataram (ANTARA) - Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, mengatakan, salah satu solusi penanganan jangka panjang mencegah terjadinya abrasi pantai pada sejumlah kawasan rawan abrasi dengan melakukan mitigasi struktural.

"Mitigasi struktural adalah dengan membangun alat pemecah gelombang atau tanggul pada kawasan rawan abrasi," kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Mataram Mahfuddin Noor di Mataram, Jumat.

Pernyataan itu disampaikan menyikapi permasalahan dampak abrasi pantai sepanjang sekitar 9 kilometer di Kota Mataram yang setiap tahun terjadi akibat gelombang pasang dan titik yang paling rawan ada di wilayah Mapak.

Sebagai langkah antisipasi, katanya, berbagai upaya mitigasi melalui edukasi dan sosialisasi di kawasan pesisir sudah dilakukan. Bahkan sudah berulang kali dilakukan pembuatan tanggul dengan pematokan kayu dan karung berisi pasir.

Tapi ternyata hal itu tidak dapat bertahan lama, karena kayu dan karung berisi pasir hanyut terbawa gelombang pasang.

 "Bahkan, pernah juga rumah dan dapur salah seorang warga jebol diterjang gelombang pasang," katanya.

Terkait dengan itu, dalam hal itu mitigasi melalui edukasi dan sosialisasi nilai tidak cukup sehingga harus didukung dengan mitigasi struktural yakni dengan pembangunan tanggul dan alat pemecah gelombang.

"Pembangunan tanggul dan alat pemecah gelombang di kawasan Mapak memang sudah direncanakan beberapa tahun lalu. Namun tertunda karena keterbatasan anggaran yang butuh dana besar," katanya.

Selain itu, lanjutnya, juga perlu kesadaran masyarakat agar tidak membangun rumah di sempadan pantai. Ini juga harus menjadi atensi bersama untuk menghindari adanya korban ketika gelombang pasang.

"Masyarakat harus memiliki kesadaran untuk tidak membangun pada kawasan rawan abrasi yang sudah ditetapkan sebagai lahan tidak boleh dibangun," katanya.

Karenanya sebagai penanganan jangka pendek, lanjutnya, selain membuat tanggul darurat dari karung berisi pasir dan pematokan kayu, masyarakat juga diimbau untuk meningkatkan kewaspadaan.

Pasalnya, puncak potensi bencana hidrometeorologi sesuai prediksi BMKG akan terjadi sampai 31 Desember 2022, karena itu warga yang berada di kawasan rawan abrasi, segera melakukan evakuasi.

"Baik terhadap barang-barang berharga maupun anggota keluarga yang dinilai rentan. Bila perlu untuk sementara waktu pindah ke lokasi lebih aman sebagai langkah pengurangan risiko bencana," katanya.
 

Pewarta : Nirkomala
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024