Mataram (ANTARA) - Penyidik menemukan petunjuk penyelesaian dari penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesenian marching band pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB.
Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda NTB Komisaris Besar Polisi Nasrun Pasaribu di Mataram, Selasa, menjelaskan bahwa petunjuk tersebut berkaitan dengan hasil koordinasi dan supervisi (korsup) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama pihak kejaksaan.
"Jadi, hasil korsup dengan KPK waktu itu, kami sudah mendapatkan petunjuk. Sekarang tinggal menunggu hasil dari jaksa," kata dia.
Nasrun dalam pernyataan tersebut tidak cukup menjelaskan maksud hasil dari jaksa. Dia hanya menyebut bahwa berkas milik dua tersangka dalam kasus ini sedang dalam tahap perampungan.
"Berkas sudah mulai kami susun, tinggal menunggu saja (rampung)," ujarnya.
Nasrun pun memastikan bahwa dirinya sudah mengingatkan penyidik untuk mengedepankan sikap profesional dan penuh kehati-hatian dalam menangani sebuah perkara, termasuk, dalam upaya penyelesaian perkara ini agar bisa berlanjut ke tahap penuntutan.
Komisi antirasuah memberikan atensi terhadap penyelesaian kasus ini dengan melaksanakan korsup bersama pihak kejaksaan sejak awal tahun 2022.
Dalam pertemuan terakhir pada tanggal 31 Agustus 2022 di Gedung Kejati NTB, KPK menargetkan dalam 1 bulan kasus ini sudah bisa naik ke tahap penuntutan.
Kasus ini berkutat cukup lama di kepolisian terhitung sejak penanganan pada tahun 2018. Persoalannya berkaitan dengan pemenuhan alat bukti dari harga pembanding.
Dari uraian kasus, ada barang yang sebagian berasal dari produk usaha rumahan maupun impor. Hal itu yang membuat berkas milik dua tersangka kerap bolak-balik dari jaksa peneliti ke meja penyidik.
Menurut KPK, harga pembanding yang menjadi petunjuk jaksa peneliti itu bisa terpenuhi dengan menyesuaikan spesifikasi dari produk bermerek. Penyidik bisa mencocokkan barang dengan harga pasaran sesuai tahun produksi.
Dalam kasus ini pun penyidik telah menetapkan dua tersangka, yakni pejabat pembuat komitmen (PPK) berinisial MI dan direktur pelaksana proyek dari CV Embun Emas, berinisial LB.
Keduanya ditetapkan dengan penguatan alat bukti dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB. Potensi kerugian negara mencapai Rp702 juta.
Kerugian muncul dari hasil identifikasi penyaluran anggaran pengadaan dalam dua tahap. Pertama senilai Rp1,57 miliar untuk dibagikan ke lima SMA Negeri dan kedua Rp982,43 juta untuk empat SMA swasta.
Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda NTB Komisaris Besar Polisi Nasrun Pasaribu di Mataram, Selasa, menjelaskan bahwa petunjuk tersebut berkaitan dengan hasil koordinasi dan supervisi (korsup) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama pihak kejaksaan.
"Jadi, hasil korsup dengan KPK waktu itu, kami sudah mendapatkan petunjuk. Sekarang tinggal menunggu hasil dari jaksa," kata dia.
Nasrun dalam pernyataan tersebut tidak cukup menjelaskan maksud hasil dari jaksa. Dia hanya menyebut bahwa berkas milik dua tersangka dalam kasus ini sedang dalam tahap perampungan.
"Berkas sudah mulai kami susun, tinggal menunggu saja (rampung)," ujarnya.
Nasrun pun memastikan bahwa dirinya sudah mengingatkan penyidik untuk mengedepankan sikap profesional dan penuh kehati-hatian dalam menangani sebuah perkara, termasuk, dalam upaya penyelesaian perkara ini agar bisa berlanjut ke tahap penuntutan.
Komisi antirasuah memberikan atensi terhadap penyelesaian kasus ini dengan melaksanakan korsup bersama pihak kejaksaan sejak awal tahun 2022.
Dalam pertemuan terakhir pada tanggal 31 Agustus 2022 di Gedung Kejati NTB, KPK menargetkan dalam 1 bulan kasus ini sudah bisa naik ke tahap penuntutan.
Kasus ini berkutat cukup lama di kepolisian terhitung sejak penanganan pada tahun 2018. Persoalannya berkaitan dengan pemenuhan alat bukti dari harga pembanding.
Dari uraian kasus, ada barang yang sebagian berasal dari produk usaha rumahan maupun impor. Hal itu yang membuat berkas milik dua tersangka kerap bolak-balik dari jaksa peneliti ke meja penyidik.
Menurut KPK, harga pembanding yang menjadi petunjuk jaksa peneliti itu bisa terpenuhi dengan menyesuaikan spesifikasi dari produk bermerek. Penyidik bisa mencocokkan barang dengan harga pasaran sesuai tahun produksi.
Dalam kasus ini pun penyidik telah menetapkan dua tersangka, yakni pejabat pembuat komitmen (PPK) berinisial MI dan direktur pelaksana proyek dari CV Embun Emas, berinisial LB.
Keduanya ditetapkan dengan penguatan alat bukti dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB. Potensi kerugian negara mencapai Rp702 juta.
Kerugian muncul dari hasil identifikasi penyaluran anggaran pengadaan dalam dua tahap. Pertama senilai Rp1,57 miliar untuk dibagikan ke lima SMA Negeri dan kedua Rp982,43 juta untuk empat SMA swasta.