Mataram (ANTARA) - Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Lombok Tengah akan mengoordinasikan penanganan kasus oknum polisi berinisial IMS terkait dengan dugaan sebagai dalang korupsi kredit fiktif senilai Rp2,38 miliar pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusa Tenggara Barat, Cabang Batukliang.
"Rencana pada hari Senin (12/12), kami dari penyidik mau koordinasi untuk perkara IMS ini ke Kejati NTB dan ke Polda NTB," kata Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Lombok Tengah Bratha Hariputra yang dihubungi di Mataram, Jumat.
Bratha Hariputra memastikan bahwa koordinasi dengan Kejati NTB dan Polda NTB tersebut bukan bertujuan untuk gelar perkara penetapan tersangka. "Belum itu (gelar perkara penetapan tersangka). Hanya koordinasi saja," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa koordinasi ini merupakan tindak lanjut hasil gelar perkara di Kejari Lombok Tengah yang telah menetapkan penanganan kasus IMS masuk ke tahap penyidikan. Hal itu pun telah dituangkan pihak kejaksaan dalam tuntutan milik dua terdakwa dari karyawan BPR NTB Cabang Batukliang, yakni Agus Fanahesa dan Johari yang turut terlibat dalam kasus ini.
Dalam tuntutan, jaksa menyatakan bahwa keterlibatan kedua terdakwa pada perkara korupsi kredit fiktif ini terungkap akibat adanya tunggakan pembayaran. Tunggakan tersebut muncul akibat adanya pencatutan nama 199 anggota Ditsamapta Polda NTB dengan nilai pinjaman Rp2,38 miliar. Nominal tersebut tercatat dalam pengajuan kredit periode 2014—2017.
Jaksa pun menguraikan tunggakan itu muncul akibat ulah IMS yang memanfaatkan kerja sama Polda NTB dengan BPR NTB Cabang Batukliang. Saat itu, IMS menduduki jabatan sebagai Perwira Administrasi Urusan Keuangan Direktorat Sabhara Polda NTB.
IMS yang kini diketahui bertugas di Polres Bima Kota disebut dalam dakwaan sebagai pihak yang menikmati pinjaman sebesar Rp2,38 miliar. Oleh karena itu, dalam uraian tuntutan Agus Fanahesa dan Johari, jaksa turut meminta majelis hakim memutuskan agar seluruh barang bukti dikembalikan kepada pihak Kejari Lombok Tengah untuk digunakan dalam penyidikan IMS.
Jaksa penuntut umum dalam tuntutan turut membebankan IMS sebagai saksi dalam perkara Agus Fanahesa dan Johari untuk membayar uang pengganti kerugian negara Rp2,38 miliar.
Baca juga: Jaksa menangani kasus korupsi pengadaan lahan kantor Samsat Sumbawa
Baca juga: Eks Kadistan Lotim tersangka korupsi Rp3,81 miliar alsintan ditahan kejaksaan
Terhadap Johari yang berperan sebagai account officer pada BPR NTB Cabang Batukliang dan Agus Fanahesa yang menjabat sebagai Kepala Pemasaran BPR Cabang Batukliang, jaksa telah menetapkan tuntutan agar hakim menjatuhkan pidana hukuman 2,5 tahun penjara dengan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan kepada kedua terdakwa.
Jaksa turut membebankan kedua terdakwa untuk membayar uang pengganti kerugian negara dengan masing-masing besaran Rp2 juta untuk Agus Fanahesa dan Rp1 juta untuk Johari dengan subsider masing-masing 1 bulan kurungan.
Jaksa menyatakan bahwa perbuatan kedua terdakwa yang berstatus sebagai karyawan BPR tersebut terbukti melanggar dakwaan subsider, Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Rencana pada hari Senin (12/12), kami dari penyidik mau koordinasi untuk perkara IMS ini ke Kejati NTB dan ke Polda NTB," kata Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Lombok Tengah Bratha Hariputra yang dihubungi di Mataram, Jumat.
Bratha Hariputra memastikan bahwa koordinasi dengan Kejati NTB dan Polda NTB tersebut bukan bertujuan untuk gelar perkara penetapan tersangka. "Belum itu (gelar perkara penetapan tersangka). Hanya koordinasi saja," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa koordinasi ini merupakan tindak lanjut hasil gelar perkara di Kejari Lombok Tengah yang telah menetapkan penanganan kasus IMS masuk ke tahap penyidikan. Hal itu pun telah dituangkan pihak kejaksaan dalam tuntutan milik dua terdakwa dari karyawan BPR NTB Cabang Batukliang, yakni Agus Fanahesa dan Johari yang turut terlibat dalam kasus ini.
Dalam tuntutan, jaksa menyatakan bahwa keterlibatan kedua terdakwa pada perkara korupsi kredit fiktif ini terungkap akibat adanya tunggakan pembayaran. Tunggakan tersebut muncul akibat adanya pencatutan nama 199 anggota Ditsamapta Polda NTB dengan nilai pinjaman Rp2,38 miliar. Nominal tersebut tercatat dalam pengajuan kredit periode 2014—2017.
Jaksa pun menguraikan tunggakan itu muncul akibat ulah IMS yang memanfaatkan kerja sama Polda NTB dengan BPR NTB Cabang Batukliang. Saat itu, IMS menduduki jabatan sebagai Perwira Administrasi Urusan Keuangan Direktorat Sabhara Polda NTB.
IMS yang kini diketahui bertugas di Polres Bima Kota disebut dalam dakwaan sebagai pihak yang menikmati pinjaman sebesar Rp2,38 miliar. Oleh karena itu, dalam uraian tuntutan Agus Fanahesa dan Johari, jaksa turut meminta majelis hakim memutuskan agar seluruh barang bukti dikembalikan kepada pihak Kejari Lombok Tengah untuk digunakan dalam penyidikan IMS.
Jaksa penuntut umum dalam tuntutan turut membebankan IMS sebagai saksi dalam perkara Agus Fanahesa dan Johari untuk membayar uang pengganti kerugian negara Rp2,38 miliar.
Baca juga: Jaksa menangani kasus korupsi pengadaan lahan kantor Samsat Sumbawa
Baca juga: Eks Kadistan Lotim tersangka korupsi Rp3,81 miliar alsintan ditahan kejaksaan
Terhadap Johari yang berperan sebagai account officer pada BPR NTB Cabang Batukliang dan Agus Fanahesa yang menjabat sebagai Kepala Pemasaran BPR Cabang Batukliang, jaksa telah menetapkan tuntutan agar hakim menjatuhkan pidana hukuman 2,5 tahun penjara dengan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan kepada kedua terdakwa.
Jaksa turut membebankan kedua terdakwa untuk membayar uang pengganti kerugian negara dengan masing-masing besaran Rp2 juta untuk Agus Fanahesa dan Rp1 juta untuk Johari dengan subsider masing-masing 1 bulan kurungan.
Jaksa menyatakan bahwa perbuatan kedua terdakwa yang berstatus sebagai karyawan BPR tersebut terbukti melanggar dakwaan subsider, Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.