Jakarta (ANTARA) - Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini mengatakan semasa hidup budayawan Betawi Ridwan Saidi merupakan sosok budayawan, politisi, sejarawan dan aktivis yang kritis namun tetap santun dalam menyampaikan masukan kepada pemerintah.
"Orangnya egaliter, gaya bicaranya berintonasi kuat tetapi sangat humoris sambil mengejek apa dan siapa yang dikritiknya," kata Didik J Rachbini melalui keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Minggu.
Di jagat politik nasional, kata Didik, suara Ridwan Saidi semasa menjadi wakil rakyat di Senayan dikenal cukup nyaring. Kritik budayawan itu lebih lunak lewat status formalnya sebagai anggota DPR sehingga tidak pernah sedikit pun ada indikasi akan ditangkap oleh pemerintahan pada saat itu.
Waktu itu, kata Didik, kekuatan oposisi tidak begitu berarti di tengah kekuatan politik otoriter. Akan tetapi, kritik-kritik yang dilontarkan memberi pelajaran bahwa dalam demokrasi harus ada suara lain yang berbeda dan mungkin bisa menjadi alternatif. "Simbol kritik yang menggema secara nasional itu ada pada figur Ridwan Saidi," kenang Didik.
Ia menilai Ridwan Saidi tidak pernah menyesal berada di luar lingkar kekuasaan karena sikap kritisnya. Budayawan Betawi tersebut adalah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lulusan Universitas Indonesia yang ditempa sejarah aktivisme sangat panjang.
Hal itu bersamaan dengan perubahan besar di Indonesia. Mulai dari Orde Lama, kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI), Orde Baru, masa transisi kejatuhan Orde Baru sampai masa demokrasi bebas saat ini.
Baca juga: Profil Ridwan Saidi, budayawan Betawi yang meninggal di usia 80 tahun
Baca juga: Balada Sahdi Sahdia pembuka Onstage Insomnia Theater Festival 2022 di Mataram
Menurut Didik, akademisi kelahiran 2 September 1960 itu, hampir dua dekade pascareformasi, demokrasi mengalami kemunduran dan Ridwan Saidi bersuara di publik agar pemerintah tidak main tangkap terhadap lawan politiknya. "Figur seperti Ridwan Saidi diperlukan untuk menjaga demokrasi agar tidak tergelincir mengarah ke otoriter," ucap dia.
Tidak hanya kritik masalah politik, Ridwan Saidi yang kelahiran 2 Juli 1942 itu juga diketahui kerap mengkritik masalah pembangunan, salah satunya soal pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan.
Meskipun dikenal kritis, Ridwan Saidi juga tidak segan mengapresiasi pemerintah, dalam hal ini Jokowi ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Mantan Ketua Umum Pengurus Besar HMI itu bangga kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena dinilai peduli terhadap masyarakat Betawi, salah satunya pembangunan kampung Budaya Betawi di Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
"Selamat jalan Bang Ridwan," ujar Didik.
"Orangnya egaliter, gaya bicaranya berintonasi kuat tetapi sangat humoris sambil mengejek apa dan siapa yang dikritiknya," kata Didik J Rachbini melalui keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Minggu.
Di jagat politik nasional, kata Didik, suara Ridwan Saidi semasa menjadi wakil rakyat di Senayan dikenal cukup nyaring. Kritik budayawan itu lebih lunak lewat status formalnya sebagai anggota DPR sehingga tidak pernah sedikit pun ada indikasi akan ditangkap oleh pemerintahan pada saat itu.
Waktu itu, kata Didik, kekuatan oposisi tidak begitu berarti di tengah kekuatan politik otoriter. Akan tetapi, kritik-kritik yang dilontarkan memberi pelajaran bahwa dalam demokrasi harus ada suara lain yang berbeda dan mungkin bisa menjadi alternatif. "Simbol kritik yang menggema secara nasional itu ada pada figur Ridwan Saidi," kenang Didik.
Ia menilai Ridwan Saidi tidak pernah menyesal berada di luar lingkar kekuasaan karena sikap kritisnya. Budayawan Betawi tersebut adalah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lulusan Universitas Indonesia yang ditempa sejarah aktivisme sangat panjang.
Hal itu bersamaan dengan perubahan besar di Indonesia. Mulai dari Orde Lama, kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI), Orde Baru, masa transisi kejatuhan Orde Baru sampai masa demokrasi bebas saat ini.
Baca juga: Profil Ridwan Saidi, budayawan Betawi yang meninggal di usia 80 tahun
Baca juga: Balada Sahdi Sahdia pembuka Onstage Insomnia Theater Festival 2022 di Mataram
Menurut Didik, akademisi kelahiran 2 September 1960 itu, hampir dua dekade pascareformasi, demokrasi mengalami kemunduran dan Ridwan Saidi bersuara di publik agar pemerintah tidak main tangkap terhadap lawan politiknya. "Figur seperti Ridwan Saidi diperlukan untuk menjaga demokrasi agar tidak tergelincir mengarah ke otoriter," ucap dia.
Tidak hanya kritik masalah politik, Ridwan Saidi yang kelahiran 2 Juli 1942 itu juga diketahui kerap mengkritik masalah pembangunan, salah satunya soal pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan.
Meskipun dikenal kritis, Ridwan Saidi juga tidak segan mengapresiasi pemerintah, dalam hal ini Jokowi ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Mantan Ketua Umum Pengurus Besar HMI itu bangga kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena dinilai peduli terhadap masyarakat Betawi, salah satunya pembangunan kampung Budaya Betawi di Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
"Selamat jalan Bang Ridwan," ujar Didik.