Mataram (ANTARA) - Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Mataram menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama milik mantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lombok Utara dr. Syamsul Hidayat dalam perkara korupsi proyek penambahan ruang operasi dan ICU tahun 2019.
"Sesuai dengan informasi yang kami terima, hakim pengadilan tinggi menerima permintaan banding penuntut umum dan penasihat hukum terdakwa dengan menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama," kata Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo di Mataram, Kamis.
Dengan kata lain, terdakwa Syamsul Hidayat dinyatakan tetap terbukti bersalah secara bersama-sama dengan terdakwa lain melakukan tindak pidana korupsi dalam pengerjaan proyek yang masuk dalam masa rehabilitasi pascagempa Lombok di tahun 2018, sesuai Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor: 15/Pid.Sus.Tpk/2022/PN.Mtr, tanggal 24 Oktober 2022.
Perbuatan terdakwa pun dinyatakan terbukti melanggar dakwaan primair sesuai Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dengan putusan demikian, terdakwa Syamsul Hidayat tetap akan menjalani hukuman sesuai putusan pengadilan tingkat pertama dengan pidana hukuman 5 tahun penjara dengan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan.
"Hakim dalam putusan juga memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan," ujarnya.
Lebih lanjut, Kelik menyampaikan bahwa pihaknya kini masih menunggu berkas putusan banding dari Pengadilan Tinggi Mataram.
"Kalau sudah ada kami terima, baru bisa kami teruskan ke para pihak," kata Kelik.
Sesuai prosedur hukum, lanjut dia, penuntut umum dan terdakwa mendapatkan hak untuk melakukan upaya hukum lanjutan ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
"Nanti, para pihak diberikan waktu 14 hari untuk menyatakan sikap. Itu dihitung sejak para pihak menerima pemberitahuan putusan banding dari kami," ucap dia.
Dalam perkara ini hakim pengadilan tingkat pertama telah menetapkan kerugian negara senilai Rp1,75 miliar. Namun, kerugian telah dibebankan kepada terdakwa lain, yakni Darsito, penerima kuasa proyek dari kontraktor pelaksana PT Apro Megatama.
Nilai kerugian yang disampaikan hakim tersebut lebih tinggi dari bukti audit Inspektorat NTB Rp1,57 miliar. Keputusan hakim menyatakan nilai kerugian lebih tinggi dari hasil audit melihat adanya denda keterlambatan pekerjaan yang sedikitnya bernilai Rp300 juta muncul dalam fakta persidangan.
Hakim pun meminta agar terdakwa Darsito menggantinya dengan pidana kurungan selama 2 tahun, apabila harta benda berharga milik terdakwa tidak cukup menutupi nilai uang pengganti Rp1,75 miliar tersebut.
Kepada terdakwa Darsito, hakim turut menjatuhkan hukuman pidana 7 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Selain menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Darsito, dan Syamsul Hidayat sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA), hakim turut menggelar sidang putusan untuk terdakwa Bakri, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek, dan Sulaksono, konsultan pengawas proyek.
Untuk hukuman terhadap terdakwa Bakri dan Sulaksono, hakim menjatuhkan pidana serupa dengan Syamsul Hidayat. Keduanya dijatuhkan 5 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Perkara yang ditangani pihak Kejati NTB ini berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan NTB. Muncul catatan kekurangan pekerjaan proyek dengan nilai kerugian Rp212 juta.
Kerugian itu muncul dalam status pekerjaan yang sudah diserahterimakan atau Provisional Hand Over (PHO) berdasarkan berita acara Nomor: 61 PPK-Konstruksi/RSUD.KLU/II/2020, tertanggal 24 Februari 2020, dari pihak pelaksana proyek kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Utara.
Pihak kejaksaan pun menindaklanjuti temuan BPK tersebut ke tahap penyelidikan. Sampai pada proses penyidikan, pihak kejaksaan memperoleh hasil audit inspektorat dengan nilai kerugian negara sedikitnya Rp1,57 miliar.
Proyek tahun 2019 ini dikerjakan oleh PT Apro Megatama yang berdomisili di Makassar, Sulawesi Selatan. Pengerjaan proyek tersebut menelan dana APBD Kabupaten Lombok Utara dengan nilai Rp6,4 miliar.
"Sesuai dengan informasi yang kami terima, hakim pengadilan tinggi menerima permintaan banding penuntut umum dan penasihat hukum terdakwa dengan menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama," kata Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo di Mataram, Kamis.
Dengan kata lain, terdakwa Syamsul Hidayat dinyatakan tetap terbukti bersalah secara bersama-sama dengan terdakwa lain melakukan tindak pidana korupsi dalam pengerjaan proyek yang masuk dalam masa rehabilitasi pascagempa Lombok di tahun 2018, sesuai Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor: 15/Pid.Sus.Tpk/2022/PN.Mtr, tanggal 24 Oktober 2022.
Perbuatan terdakwa pun dinyatakan terbukti melanggar dakwaan primair sesuai Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dengan putusan demikian, terdakwa Syamsul Hidayat tetap akan menjalani hukuman sesuai putusan pengadilan tingkat pertama dengan pidana hukuman 5 tahun penjara dengan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan.
"Hakim dalam putusan juga memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan," ujarnya.
Lebih lanjut, Kelik menyampaikan bahwa pihaknya kini masih menunggu berkas putusan banding dari Pengadilan Tinggi Mataram.
"Kalau sudah ada kami terima, baru bisa kami teruskan ke para pihak," kata Kelik.
Sesuai prosedur hukum, lanjut dia, penuntut umum dan terdakwa mendapatkan hak untuk melakukan upaya hukum lanjutan ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
"Nanti, para pihak diberikan waktu 14 hari untuk menyatakan sikap. Itu dihitung sejak para pihak menerima pemberitahuan putusan banding dari kami," ucap dia.
Dalam perkara ini hakim pengadilan tingkat pertama telah menetapkan kerugian negara senilai Rp1,75 miliar. Namun, kerugian telah dibebankan kepada terdakwa lain, yakni Darsito, penerima kuasa proyek dari kontraktor pelaksana PT Apro Megatama.
Nilai kerugian yang disampaikan hakim tersebut lebih tinggi dari bukti audit Inspektorat NTB Rp1,57 miliar. Keputusan hakim menyatakan nilai kerugian lebih tinggi dari hasil audit melihat adanya denda keterlambatan pekerjaan yang sedikitnya bernilai Rp300 juta muncul dalam fakta persidangan.
Hakim pun meminta agar terdakwa Darsito menggantinya dengan pidana kurungan selama 2 tahun, apabila harta benda berharga milik terdakwa tidak cukup menutupi nilai uang pengganti Rp1,75 miliar tersebut.
Kepada terdakwa Darsito, hakim turut menjatuhkan hukuman pidana 7 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Selain menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Darsito, dan Syamsul Hidayat sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA), hakim turut menggelar sidang putusan untuk terdakwa Bakri, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek, dan Sulaksono, konsultan pengawas proyek.
Untuk hukuman terhadap terdakwa Bakri dan Sulaksono, hakim menjatuhkan pidana serupa dengan Syamsul Hidayat. Keduanya dijatuhkan 5 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Perkara yang ditangani pihak Kejati NTB ini berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan NTB. Muncul catatan kekurangan pekerjaan proyek dengan nilai kerugian Rp212 juta.
Kerugian itu muncul dalam status pekerjaan yang sudah diserahterimakan atau Provisional Hand Over (PHO) berdasarkan berita acara Nomor: 61 PPK-Konstruksi/RSUD.KLU/II/2020, tertanggal 24 Februari 2020, dari pihak pelaksana proyek kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Utara.
Pihak kejaksaan pun menindaklanjuti temuan BPK tersebut ke tahap penyelidikan. Sampai pada proses penyidikan, pihak kejaksaan memperoleh hasil audit inspektorat dengan nilai kerugian negara sedikitnya Rp1,57 miliar.
Proyek tahun 2019 ini dikerjakan oleh PT Apro Megatama yang berdomisili di Makassar, Sulawesi Selatan. Pengerjaan proyek tersebut menelan dana APBD Kabupaten Lombok Utara dengan nilai Rp6,4 miliar.