Mataram (ANTARA) - Kejaksaan Negeri Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, mengungkapkan potensi kerugian negara yang muncul atas kasus dugaan korupsi proyek jalan aspal menuju Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tunak sedikitnya Rp600 juta.
"Kalau potensi kerugian negaranya, kami taksir sedikitnya Rp600 juta. Bahkan, bisa lebih," kata Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Lombok Tengah Bratha Hariputra yang ditemui di Mataram, Kamis.
Bratha menyampaikan hal tersebut dengan melihat upaya penyidik yang kini menggandeng akuntan publik dari Bali untuk membantu menghitung kerugian negara.
"Jadi, untuk pastinya berapa nilai kerugian, itu kami tunggu hasil audit dari akuntan publik. Koordinasi dengan mereka masih berjalan. Semoga hasilnya cepat keluar," ujarnya.
Ia pun memastikan hasil audit akuntan publik akan menjadi kelengkapan alat bukti dalam upaya penyidik mengungkap peran tersangka.
Bahkan, untuk menguatkan alat bukti, penyidik kembali melaksanakan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi. Pemeriksaan untuk mempertajam alat bukti pidana yang mengarah pada pelanggaran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
Pengerjaan proyek jalan aspal yang ambruk di sejumlah titik jalan sepanjang 1 kilometer itu, kata dia, berasal dari pengadaan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) NTB.
Berdasarkan data dari laman resmi Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), proyek jalan ini berlangsung pada tahun 2017.
Rekanan yang muncul sebagai pelaksana proyek adalah PT Indomine Utama yang beralamat di Selagalas, Kota Mataram, dengan anggaran pengerjaan Rp3,49 miliar.
Dalam penanganan kasus, Kejari Lombok Tengah menggandeng ahli konstruksi dari Nusa Tenggara Timur untuk melakukan pemeriksaan kondisi aspal.
Berdasarkan hasil analisis ahli ditemukan adanya kekurangan volume pekerjaan dari proyek aspal tersebut.
Hasil analisis itu yang kemudian menjadi dasar tim audit dari akuntan publik melakukan penghitungan kerugian negara.
"Kalau potensi kerugian negaranya, kami taksir sedikitnya Rp600 juta. Bahkan, bisa lebih," kata Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Lombok Tengah Bratha Hariputra yang ditemui di Mataram, Kamis.
Bratha menyampaikan hal tersebut dengan melihat upaya penyidik yang kini menggandeng akuntan publik dari Bali untuk membantu menghitung kerugian negara.
"Jadi, untuk pastinya berapa nilai kerugian, itu kami tunggu hasil audit dari akuntan publik. Koordinasi dengan mereka masih berjalan. Semoga hasilnya cepat keluar," ujarnya.
Ia pun memastikan hasil audit akuntan publik akan menjadi kelengkapan alat bukti dalam upaya penyidik mengungkap peran tersangka.
Bahkan, untuk menguatkan alat bukti, penyidik kembali melaksanakan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi. Pemeriksaan untuk mempertajam alat bukti pidana yang mengarah pada pelanggaran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
Pengerjaan proyek jalan aspal yang ambruk di sejumlah titik jalan sepanjang 1 kilometer itu, kata dia, berasal dari pengadaan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) NTB.
Berdasarkan data dari laman resmi Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), proyek jalan ini berlangsung pada tahun 2017.
Rekanan yang muncul sebagai pelaksana proyek adalah PT Indomine Utama yang beralamat di Selagalas, Kota Mataram, dengan anggaran pengerjaan Rp3,49 miliar.
Dalam penanganan kasus, Kejari Lombok Tengah menggandeng ahli konstruksi dari Nusa Tenggara Timur untuk melakukan pemeriksaan kondisi aspal.
Berdasarkan hasil analisis ahli ditemukan adanya kekurangan volume pekerjaan dari proyek aspal tersebut.
Hasil analisis itu yang kemudian menjadi dasar tim audit dari akuntan publik melakukan penghitungan kerugian negara.