Mataram (Antara Mataram) - Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva mengatakan perguruan tinggi sering gamang dalam menyikapi berbagai hal yang berkaitan dengan pemilihan umum sehingga peran kampus nyaris tidak terlihat.
"Kekhawatiran kampus melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pemilu akan merusak indenpensi dan prinsip intelektualitas," kata Hamdan saat berbicara pada seminar penguatan kontribusi perguruan tinggi dalam mewujudkan "good government", di Mataram, Jumat.
Seminar itu diselenggarakan civitas akademika Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram yang juga dihadiri anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BKP) Ali Masykur Musa, Rektor IAIN Mataram Nashuddin, dan Sekda NTB H Muh Nur.
Hamdan mengatakan semestinya kampus tidak perlu gamang dalam menyikapi pemilu, karena kampuslah yang melahirkan kader-kader intelektual, termasuk yang berkecimpung di dunia politik.
"Kampus juga menghasilkan kader politik, makanya perlu pikirkan kembali peran perguruan tinggi dalam demokrasi," ujarnya.
Menurut putra daerah NTB asal Bima, Pulau Sumbawa itu, perguruan tinggi sering memainkan peran yang khas di tengah turbulensi suatu negara.
Pada konteks Indonesia, bagaimana seharusnya perguruan tinggi berperan mewujudkan pemilu yang bermartabat sebagai bagian dari pembangunan bangsa.
Suatu negara pasti melaksanakan pemilu, tapi tidak semua pemilu berlangsung secara demokratis.
Jika berangkat dari pijak konsitusi, Indonesia merupakan negara demokrasi yang menekankan penegakan hukum yang demokratis, menekankan prinsip langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil.
"Harus ada kebebasan memilih, maka tindak pantas seseorang membayar untuk dipilih karena tidak sesuai prinsip `free and fair` dan semakin banyak pelanggaran bisa dipastikan kesuksesan pemilu dan keinginan untuk melahirkan `good government` pasti akan gagal," ujarnya.
Hamdan mengingatkan semua pihak, termasuk civitas akademika agar ikut mengawasi penyelenggaraan pemilu yang baik dan bermartamat.
Ia menyebut pemilu yang baik dan bermartabat jika memenuhi aspek penegakan hukum, budaya politik, dan kematangan organisasi parpol, penyelenggara pemilu yang netral dan profesional, pemilih yang cerdas, dan adanya lembaga peradilan yang independen dalam menyelesaikan sengketa dan perselisihan pemilu.
"Menurut saya, aturan pemilu sudah cukup dan memadai. Tapi penghormatan terhadap aturan dan etika dalam berdemokrasi masih sangat kurang. Itulah masalah pokok yang kita hadapi, karena etika dan moral harus dimiliki kontestan, penyelenggara, dan masyarakat pemilih pada umumnya," ujarnya di hadapan lebih dari 300 orang peserta seminar. (*)
"Kekhawatiran kampus melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pemilu akan merusak indenpensi dan prinsip intelektualitas," kata Hamdan saat berbicara pada seminar penguatan kontribusi perguruan tinggi dalam mewujudkan "good government", di Mataram, Jumat.
Seminar itu diselenggarakan civitas akademika Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram yang juga dihadiri anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BKP) Ali Masykur Musa, Rektor IAIN Mataram Nashuddin, dan Sekda NTB H Muh Nur.
Hamdan mengatakan semestinya kampus tidak perlu gamang dalam menyikapi pemilu, karena kampuslah yang melahirkan kader-kader intelektual, termasuk yang berkecimpung di dunia politik.
"Kampus juga menghasilkan kader politik, makanya perlu pikirkan kembali peran perguruan tinggi dalam demokrasi," ujarnya.
Menurut putra daerah NTB asal Bima, Pulau Sumbawa itu, perguruan tinggi sering memainkan peran yang khas di tengah turbulensi suatu negara.
Pada konteks Indonesia, bagaimana seharusnya perguruan tinggi berperan mewujudkan pemilu yang bermartabat sebagai bagian dari pembangunan bangsa.
Suatu negara pasti melaksanakan pemilu, tapi tidak semua pemilu berlangsung secara demokratis.
Jika berangkat dari pijak konsitusi, Indonesia merupakan negara demokrasi yang menekankan penegakan hukum yang demokratis, menekankan prinsip langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil.
"Harus ada kebebasan memilih, maka tindak pantas seseorang membayar untuk dipilih karena tidak sesuai prinsip `free and fair` dan semakin banyak pelanggaran bisa dipastikan kesuksesan pemilu dan keinginan untuk melahirkan `good government` pasti akan gagal," ujarnya.
Hamdan mengingatkan semua pihak, termasuk civitas akademika agar ikut mengawasi penyelenggaraan pemilu yang baik dan bermartamat.
Ia menyebut pemilu yang baik dan bermartabat jika memenuhi aspek penegakan hukum, budaya politik, dan kematangan organisasi parpol, penyelenggara pemilu yang netral dan profesional, pemilih yang cerdas, dan adanya lembaga peradilan yang independen dalam menyelesaikan sengketa dan perselisihan pemilu.
"Menurut saya, aturan pemilu sudah cukup dan memadai. Tapi penghormatan terhadap aturan dan etika dalam berdemokrasi masih sangat kurang. Itulah masalah pokok yang kita hadapi, karena etika dan moral harus dimiliki kontestan, penyelenggara, dan masyarakat pemilih pada umumnya," ujarnya di hadapan lebih dari 300 orang peserta seminar. (*)