Surabaya (ANTARA) - Pakar hukum udara dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Adhy Riadhy Arafah mengatakan negara wajib melindung pilot Susi Air Philips Mark Methrtens yang disandera Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya di Papua.
Dalam keterangan yang diterima di Surabaya, Jawa Timur, Rabu, Adhy mengatakan kewajiban negara melindungi pilot asal Selandia Baru itu karena Philips merupakan warga sipil yang tidak memiliki hubungan dengan konflik tersebut.
"Pertama, dia warga negara asing. Kedua, dia sedang tidak menjalankan misi apa pun kecuali pekerjaan dia secara profesional, lain halnya apabila pesawat tersebut membawa alat-alat militer," kata Adhy.
Jika pesawat yang dipiloti Philips itu membawa perlengkapan militer, lanjutnya, maka sabotase KKB tersebut bisa dijustifikasi. Namun, kenyataannya, pesawat itu adalah pesawat sipil dan tidak memiliki kepentingan politik maupun membawa alat-alat militer.
Sejak Perang Dunia II, lanjutnya, pesawat terbang identik dengan perpanjangan tangan negara. Akibatnya, pesawat sering menjadi target penyerangan bagi organisasi-organisasi yang kontra dengan negara. Oleh karena itu, penyerangan terhadap pesawat terbang paling banyak dilatarbelakangi oleh motif politik. "Akhirnya, jadi ajang untuk 'kalau saya nggak suka sama Indonesia, bajak aja pesawat Indonesia'. itu terjadi," kata alumnus Leiden University Belanda tersebut.
Baca juga: Pakar hukum UAI harap Kapolri tingkatkan reformasi kultural Polri
Baca juga: Pakar: Penting menata ulang negara hukum bersandar Pancasila
Kriminalitas seperti pembajakan maupun sabotase pesawat juga pasti akan menyita perhatian dunia. Atensi itulah yang memang dicari oleh kelompok-kelompok teroris dan separatis. Akan tetapi, menurut dia, aksi pembajakan dan pembakaran pesawat itu justru menunjukkan kelemahan KKB, alih-alih mempertontonkan kekuatan.
Jika KKB masih memiliki kekuatan, maka seharusnya mereka tidak perlu mengambil risiko dengan menyandera Philips. Masyarakat sipil yang tidak punya kepentingan tidak seharusnya dilibatkan konflik, katanya. "Ya kalau masih kuat, lawan aja tentara di sana (Papua). Kenapa harus pesawat sipil? Ini sudah desperate mereka. Pesawat sipil biarkan jadi pesawat sipil," ujarnya.
Dalam keterangan yang diterima di Surabaya, Jawa Timur, Rabu, Adhy mengatakan kewajiban negara melindungi pilot asal Selandia Baru itu karena Philips merupakan warga sipil yang tidak memiliki hubungan dengan konflik tersebut.
"Pertama, dia warga negara asing. Kedua, dia sedang tidak menjalankan misi apa pun kecuali pekerjaan dia secara profesional, lain halnya apabila pesawat tersebut membawa alat-alat militer," kata Adhy.
Jika pesawat yang dipiloti Philips itu membawa perlengkapan militer, lanjutnya, maka sabotase KKB tersebut bisa dijustifikasi. Namun, kenyataannya, pesawat itu adalah pesawat sipil dan tidak memiliki kepentingan politik maupun membawa alat-alat militer.
Sejak Perang Dunia II, lanjutnya, pesawat terbang identik dengan perpanjangan tangan negara. Akibatnya, pesawat sering menjadi target penyerangan bagi organisasi-organisasi yang kontra dengan negara. Oleh karena itu, penyerangan terhadap pesawat terbang paling banyak dilatarbelakangi oleh motif politik. "Akhirnya, jadi ajang untuk 'kalau saya nggak suka sama Indonesia, bajak aja pesawat Indonesia'. itu terjadi," kata alumnus Leiden University Belanda tersebut.
Baca juga: Pakar hukum UAI harap Kapolri tingkatkan reformasi kultural Polri
Baca juga: Pakar: Penting menata ulang negara hukum bersandar Pancasila
Kriminalitas seperti pembajakan maupun sabotase pesawat juga pasti akan menyita perhatian dunia. Atensi itulah yang memang dicari oleh kelompok-kelompok teroris dan separatis. Akan tetapi, menurut dia, aksi pembajakan dan pembakaran pesawat itu justru menunjukkan kelemahan KKB, alih-alih mempertontonkan kekuatan.
Jika KKB masih memiliki kekuatan, maka seharusnya mereka tidak perlu mengambil risiko dengan menyandera Philips. Masyarakat sipil yang tidak punya kepentingan tidak seharusnya dilibatkan konflik, katanya. "Ya kalau masih kuat, lawan aja tentara di sana (Papua). Kenapa harus pesawat sipil? Ini sudah desperate mereka. Pesawat sipil biarkan jadi pesawat sipil," ujarnya.