Jakarta (ANTARA) - Presiden Komisaris PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO) John Riady meyakini para pemangku kepentingan dapat menyelesaikan polemik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan, sehingga sistem kesehatan di dalam negeri makin kokoh dan menguntungkan masyarakat.

John berharap pemangku kepentingan duduk bersama untuk menemukan solusi terbaik, sehingga RUU Kesehatan berorientasi pada masyarakat dan peningkatan kualitas kesehatan. "RUU Kesehatan digagas untuk menjadi regulasi yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan kesehatan di Indonesia, baik dari aspek peningkatan layanan kepada masyarakat, kualitas sumber daya manusia (SDM) kesehatan, pemerataan dokter spesialis, dan aspek bisnis," katanya melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan SILO dengan jaringan rumah sakit swastanya di Indonesia mendukung upaya pemerintah membangun sistem kesehatan masyarakat yang berkualitas, andal, dan merata, di antaranya meminimalisasi masyarakat berobat ke luar negeri.

Menurut John, tingginya jumlah WNI yang berobat ke luar negeri mengakibatkan devisa negara sebesar Rp165 triliun menjadi hilang. "Saya yakin seluruh stakeholder bisa duduk bersama dengan niatan dan visi yang sama, membangun sistem kesehatan berkualitas, andal, dan merata," ujar John.

Ia mengatakan sistem layanan kesehatan nasional masih dibelit berbagai persoalan, yang mana salah satu permasalahan utama adalah kualitas dan kuantitas serta minimnya penyebaran dokter spesialis. "Sumber utama permasalahan adalah adanya ketimpangan SDM kesehatan dengan cakupan layanan, baik luasnya wilayah serta jumlah populasi," katanya.

Untuk peningkatan dan pemerataan kualitas, dibutuhkan lebih banyak lagi dokter spesialis. Saat ini, merujuk data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Indonesia hanya memiliki 54.000 dokter spesialis. Dengan populasi penduduk Indonesia 275 juta jiwa, maka rasio dokter spesialis sangat timpang atau hanya 2:10.000 warga.

Terdapat 647 rumah sakit umum daerah (RSUD) tidak dilengkapi spesialis yang vital seperti anestesi, bedah, ginekologi, obstetric, dan anak. "Maka, layanan kesehatan pun menjadi rentan dan tidak merata. Secara bisnis dan makro, industri kesehatan nasional kalah saing, sehingga setiap tahun kita kehilangan devisa Rp100 triliun dari warga yang berobat ke luar negeri," jelasnya.

RUU Kesehatan, kata John, mempunyai semangat menggenjot jumlah SDM kesehatan, terutama dokter spesialis. Draf regulasi itu akan menyederhanakan proses pendidikan dokter spesialis yang selama ini berlaku, dari jenjang sarjana kedokteran, co-ass selama dua tahun, hingga internship.

Calon dokter spesialis juga diwajibkan mengantongi rekomendasi dari pemerintah daerah setempat dan organisasi profesi. Selanjutnya, mereka juga wajib mengantongi surat tanda register (STR) dan surat izin praktik. Persoalannya, upaya penyederhanaan ini memicu polemik, karena dianggap mengabaikan organisasi profesi dan bersifat sentralistik di tangan kementerian. "Saya menilai perbedaan pendapat ini bisa diselesaikan oleh para pemangku kepentingan dan kebijakan, karena semangatnya sama yakni peningkatan kualitas dan pemerataan layanan kesehatan," imbuhnya.

Lebih jauh, ia mengatakan secara fundamental ketersediaan SDM kesehatan terutama para tenaga spesialis berkaitan erat peran sisi hulu pendidikan. Indonesia memiliki 92 fakultas kedokteran dan hanya 20 di antaranya dilengkapi program spesialis.

Baca juga: Baleg DPR setujui RUU Omnibus Law Kesehatan menjadi usul inisiatif DPR
Baca juga: RSMS Purwokerto masih kekurangan dokter subspesialis

Karena itu, lanjutnya, pihaknya sebagai salah satu lengan Grup Lippo, yang menopang sistem kesehatan nasional, berkomitmen mengurangi beban pemerintah. "SDM SILO selalu terhubung dengan institusi pendidikan yang dimiliki UPH sebagai satu Grup Lippo. Kami juga menyediakan berbagai fasilitas yang menunjang lahirnya dokter spesialis, seperti pendirian Mochtar Riady Comprehensive Cancer Center (MRCCC)," katanya.

Pro dan kontra lainnya terkait RUU Kesehatan adalah regulasi mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang mencakup peranan dan kewenangan BPJS Kesehatan. Menurut dia, selain mempertimbangkan dan melibatkan seluruh pihak terkait, baiknya juga mengundang pengusaha karena terkait hak dan kewajiban pemberi serta penerima kerja. "Hampir seluruh pihak menginginkan sistem jaminan sosial yang bisa diandalkan dan berkualitas, ada baiknya juga dilibatkan," katanya.

Sementara itu, SILO, yang memiliki jaringan 41 pusat layanan kesehatan sejauh ini telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. "Ini wujud komitmen kami, karena dunia kesehatan tidak sekadar memperhatikan profitabilitas, melainkan pula layanan untuk semua," tutup John Riady.





 

Pewarta : Kelik Dewanto
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024