Mataram (ANTARA) - Dinas Perdagangan (Disdag) Nusa Tenggara Barat meminta pedagang dan masyarakat bijak menyikapi keputusan pemerintah yang melarang impor pakaian bekas karena kebijakan itu demi menjaga keberlangsungan industri tekstil dalam negeri.
"Ini sebenarnya peluang bisnis buat masyarakat. Tapi di sisi lain negara harus memikirkan pemasukan pajak buat negara. Karena barang bekas itu masuk tidak dikenakan pajak, itu yang membuat negara rugi tatkala barang itu dijual," kata Kepala Disdag NTB, Baiq Nelly Yuniarti di Mataram, Selasa.
Selain merugikan negara dari sisi pajak, menurut Nelly, keberadaan pakaian bekas impor ini juga sangat merugikan konveksi UMKM dalam negeri.
"Memang NTB ini tidak seperti Jawa. Kalau di Jawa UMKM konveksi-nya banyak. Mereka mulai terganggu adanya pakaian bekas impor ini. Tapi meski kita tidak seperti di Jawa, kita harus terima juga keputusan pusat itu," ujarnya.
Menurut dia, di NTB tidak ada importir pakaian bekas. Melainkan hanya pedagang atau penjual, sehingga tidak terlalu berpengaruh secara langsung.
"Itu yang dilarang impor-nya, kalau NTB belum ada importir pakaian bekas. Yang ada hanya penjualnya. Tapi kalau importir sudah dilarang yang jelas penjualnya tidak akan dapat barang," terang Nelly.
Karena tidak ada importir, pihaknya pun tidak akan melakukan razia pakaian bekas seperti di daerah lain di Tanah Air.
"Razia, tidak ada karena tidak ada importir di NTB. Apa yang mau di razia. Karena yang di razia ini terkait pajak," ucapnya.
Nelly menyebutkan di NTB ada tiga lokasi penjualan pakaian bekas, di antaranya di Pasar Karang Sukun Kota Mataram, Pasar Jelojok Kabupaten Lombok Tengah dan Pasar Masbagik, Kabupaten Lombok Timur.
"Kita miliki pabrik tekstil beberapa, belum konveksi UMKM, kan akhirnya mematikan usaha yang lain kalau itu impor pakaian bekas tidak dicegah. Terutama yang jual baju jadi, itu kan kasihan. Belum ongkos jahit, belum bahan, belum keahlian desainer mati," ujarnya.
"Memang baju bekas ini kualitas bagus dari luar negeri, merek terkenal, di jual murah bagaimana orang tidak tertarik. Tapi kan dampaknya harus kita lihat juga. Jadi sebagai masyarakat harus bijak juga," katanya.
Namun demikian, pihaknya berharap tidak ada gejolak terkait kebijakan larangan impor pakaian bekas tersebut di NTB.
"Mudah-mudahan tidak ada gejolak di bawah tapi sampai saat ini mereka masih jualan. Karena yang ditindak di pusat. Tapi walau tidak ada gejolak harus disiapkan alternatif buat penjual kalau kran ini ditutup karena itu erat kaitannya dengan mata pencaharian orang," katanya.
"Ini sebenarnya peluang bisnis buat masyarakat. Tapi di sisi lain negara harus memikirkan pemasukan pajak buat negara. Karena barang bekas itu masuk tidak dikenakan pajak, itu yang membuat negara rugi tatkala barang itu dijual," kata Kepala Disdag NTB, Baiq Nelly Yuniarti di Mataram, Selasa.
Selain merugikan negara dari sisi pajak, menurut Nelly, keberadaan pakaian bekas impor ini juga sangat merugikan konveksi UMKM dalam negeri.
"Memang NTB ini tidak seperti Jawa. Kalau di Jawa UMKM konveksi-nya banyak. Mereka mulai terganggu adanya pakaian bekas impor ini. Tapi meski kita tidak seperti di Jawa, kita harus terima juga keputusan pusat itu," ujarnya.
Menurut dia, di NTB tidak ada importir pakaian bekas. Melainkan hanya pedagang atau penjual, sehingga tidak terlalu berpengaruh secara langsung.
"Itu yang dilarang impor-nya, kalau NTB belum ada importir pakaian bekas. Yang ada hanya penjualnya. Tapi kalau importir sudah dilarang yang jelas penjualnya tidak akan dapat barang," terang Nelly.
Karena tidak ada importir, pihaknya pun tidak akan melakukan razia pakaian bekas seperti di daerah lain di Tanah Air.
"Razia, tidak ada karena tidak ada importir di NTB. Apa yang mau di razia. Karena yang di razia ini terkait pajak," ucapnya.
Nelly menyebutkan di NTB ada tiga lokasi penjualan pakaian bekas, di antaranya di Pasar Karang Sukun Kota Mataram, Pasar Jelojok Kabupaten Lombok Tengah dan Pasar Masbagik, Kabupaten Lombok Timur.
"Kita miliki pabrik tekstil beberapa, belum konveksi UMKM, kan akhirnya mematikan usaha yang lain kalau itu impor pakaian bekas tidak dicegah. Terutama yang jual baju jadi, itu kan kasihan. Belum ongkos jahit, belum bahan, belum keahlian desainer mati," ujarnya.
"Memang baju bekas ini kualitas bagus dari luar negeri, merek terkenal, di jual murah bagaimana orang tidak tertarik. Tapi kan dampaknya harus kita lihat juga. Jadi sebagai masyarakat harus bijak juga," katanya.
Namun demikian, pihaknya berharap tidak ada gejolak terkait kebijakan larangan impor pakaian bekas tersebut di NTB.
"Mudah-mudahan tidak ada gejolak di bawah tapi sampai saat ini mereka masih jualan. Karena yang ditindak di pusat. Tapi walau tidak ada gejolak harus disiapkan alternatif buat penjual kalau kran ini ditutup karena itu erat kaitannya dengan mata pencaharian orang," katanya.