Mataram, (Antara)- Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Mataram M Saleh mengatakan pihaknya hingga kini belum mendapatkan pemberitahuan resmi terkait dengan peringkat hitam pada program penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan (Proper) periode 2013-2014.
"Sejauh ini kami belum ada informasi atau surat resmi kalau ada dua rumah sakit di Kota Mataram mendapat proper hitam," katanya kepada wartawan di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Jumat.
Pernyataan itu dikemukakan Saleh menanggapi 21 perusahaan di Indonesia mendapat proper hitam dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Jakarta pada Selasa (2/12), dua di antaranya adalah rumah sakit di Kota Mataram dan satu lagi rumah sakit di Lombok Tengah.
Dikatakannya, penilai proper ini dilakukan oleh tim dari Provinsi NTB, sementara pemerintah kota sifatnya hanya pendamping. Bahkan dalam aturannya, ketika diklarifikasi pun pemerintah kota tidak diikutsertakan.
"Artinya yang melakukan proses akhir adalah pemerintah provinsi dan tim dari Kementeri Lingkungan Hidup dan Kehutanan," katanya.
Dengan demikian, jika sebuah perusahaan mendapatkan proper hitam, maka yang berhak memberikan sanksi hukum adalah kementerian, sementara pemerintah kota hanya dapat memberikan pembinaan.
"Jadi penegakan hukum perusahaan yang mendapat proper hitam itu ada di kementerian, kami sifatnya pendamping tim, karena timnya ada di provinsi," katanya.
Menurutnya, sebagai pendamping tim daerah akan terus melakukan pembinaan terhadap perusahaan yang dinyatakan mendapatkan proper hitam, jika tiga kali berurut-urut mendapatkan proper hitam, pemerintah daerah bisa melayangkan sanksi administrasi dan paksaan pemerintah.
"Kalau masih saja membandel, bisa saja sampai penutupan operasionalnya," katanya.
Dikatakannya, sebelum dua rumah sakit tersebut beroperasi, mereka telah memenuhi persyaratan dokumen upaya pemantauan lingkungan hidup dan upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL/UPL) yang dibuat dari para penggagas bagaimana mereka mengelola dan melindungi lingkungan hidup.
"Limbah cairnya mau diapakan, sistemnya bagaimana, limbah B3 (bahan, berbahaya dan beracun) serta pengelolaannya seperti apa, begitu juga limbah medis di rumah sakit, sehingga sebelum dan sesudahnya kami melakukan survei untuk mengeluarkan rekomendasi," katanya.
Saleh mengungkapkan, sejumlah rumah sakit di Kota Mataram saat ini masih mendapatkan proper merah dan belum ada yang mendapatkan proper biru, apalagi hijau yang merupakan peringkat terbaik pertama.
"Tingkatan paling rendah dalam penilaian proper adalah hitam, kemudian merah, biru dan terakhir hijau. Untuk penilaian biru baru didapatkan oleh Pertamina dan PLTD Sektor Lombok," katanya.
Akan tetapi, katanya, jika terbukti dari operasional sebuah perusahaan tersebut menimbulkan kerugian bagi masyarakat, maka daerah harus mampu membuktikan kerusakan yang ditimbulkan.
Namun, kata Darwis, Kasubid Amdal BLH Kota Mataram yang mendampingi Saleh, untuk menentukan sebuah pencemaran di daerah ini sangat sulit, karena hingga saat ini daerah belum memilik baku mutu air dan kelas sungai untuk melakukan pengujian.
Ia mengatkaan, penilaian proper hitam itu bukan berarti serta merta lingkungannya itu rusak, karena proper hitam dapat juga disebabkan karena faktor administrasi.
"Seperti kasus sebuah rumah sakit swasta di kawasan Selagalas Mataram dinilai hitam karena belum memiliki tempat pembuangan limbah B3, tetapi tempat penyimpanannya ada namun tidak khusus. Proper ini juga kurang adil, karena meski dari penilaian 10 item, sembilan item biru dan satu hitam, maka nilainya akan hitam," katanya.
"Sejauh ini kami belum ada informasi atau surat resmi kalau ada dua rumah sakit di Kota Mataram mendapat proper hitam," katanya kepada wartawan di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Jumat.
Pernyataan itu dikemukakan Saleh menanggapi 21 perusahaan di Indonesia mendapat proper hitam dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Jakarta pada Selasa (2/12), dua di antaranya adalah rumah sakit di Kota Mataram dan satu lagi rumah sakit di Lombok Tengah.
Dikatakannya, penilai proper ini dilakukan oleh tim dari Provinsi NTB, sementara pemerintah kota sifatnya hanya pendamping. Bahkan dalam aturannya, ketika diklarifikasi pun pemerintah kota tidak diikutsertakan.
"Artinya yang melakukan proses akhir adalah pemerintah provinsi dan tim dari Kementeri Lingkungan Hidup dan Kehutanan," katanya.
Dengan demikian, jika sebuah perusahaan mendapatkan proper hitam, maka yang berhak memberikan sanksi hukum adalah kementerian, sementara pemerintah kota hanya dapat memberikan pembinaan.
"Jadi penegakan hukum perusahaan yang mendapat proper hitam itu ada di kementerian, kami sifatnya pendamping tim, karena timnya ada di provinsi," katanya.
Menurutnya, sebagai pendamping tim daerah akan terus melakukan pembinaan terhadap perusahaan yang dinyatakan mendapatkan proper hitam, jika tiga kali berurut-urut mendapatkan proper hitam, pemerintah daerah bisa melayangkan sanksi administrasi dan paksaan pemerintah.
"Kalau masih saja membandel, bisa saja sampai penutupan operasionalnya," katanya.
Dikatakannya, sebelum dua rumah sakit tersebut beroperasi, mereka telah memenuhi persyaratan dokumen upaya pemantauan lingkungan hidup dan upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL/UPL) yang dibuat dari para penggagas bagaimana mereka mengelola dan melindungi lingkungan hidup.
"Limbah cairnya mau diapakan, sistemnya bagaimana, limbah B3 (bahan, berbahaya dan beracun) serta pengelolaannya seperti apa, begitu juga limbah medis di rumah sakit, sehingga sebelum dan sesudahnya kami melakukan survei untuk mengeluarkan rekomendasi," katanya.
Saleh mengungkapkan, sejumlah rumah sakit di Kota Mataram saat ini masih mendapatkan proper merah dan belum ada yang mendapatkan proper biru, apalagi hijau yang merupakan peringkat terbaik pertama.
"Tingkatan paling rendah dalam penilaian proper adalah hitam, kemudian merah, biru dan terakhir hijau. Untuk penilaian biru baru didapatkan oleh Pertamina dan PLTD Sektor Lombok," katanya.
Akan tetapi, katanya, jika terbukti dari operasional sebuah perusahaan tersebut menimbulkan kerugian bagi masyarakat, maka daerah harus mampu membuktikan kerusakan yang ditimbulkan.
Namun, kata Darwis, Kasubid Amdal BLH Kota Mataram yang mendampingi Saleh, untuk menentukan sebuah pencemaran di daerah ini sangat sulit, karena hingga saat ini daerah belum memilik baku mutu air dan kelas sungai untuk melakukan pengujian.
Ia mengatkaan, penilaian proper hitam itu bukan berarti serta merta lingkungannya itu rusak, karena proper hitam dapat juga disebabkan karena faktor administrasi.
"Seperti kasus sebuah rumah sakit swasta di kawasan Selagalas Mataram dinilai hitam karena belum memiliki tempat pembuangan limbah B3, tetapi tempat penyimpanannya ada namun tidak khusus. Proper ini juga kurang adil, karena meski dari penilaian 10 item, sembilan item biru dan satu hitam, maka nilainya akan hitam," katanya.