Mataram (ANTARA) - Mantan anggota DPRD Lombok Timur Saprudin yang menjadi salah seorang terdakwa korupsi terungkap memanfaatkan program penyaluran alat dan mesin pertanian (alsintan) tahun 2018 sebagai sarana kampanye.
"Selain ada yang dikelola secara pribadi, ada juga yang dibagikan ke masing-masing anggota tim sukses Saprudin," kata Yuli Partimi, mewakili jaksa penuntut umum dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan perkara korupsi alsintan di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, Rabu.
Menurut kejaksaan, ada 14 unit traktor roda dua yang dibagikan ke tim sukses terdakwa Saprudin. Enam di antaranya telah disita dan sisanya tidak dapat terdeteksi dalam proses penyidikan kejaksaan.
Untuk alsintan yang ada pada terdakwa Asri Mardianto, terungkap ada yang telah digadaikan dengan harga Rp35 juta dan dibagikan ke pihak keluarga dan rekan terdakwa Asri.
"Tujuannya untuk menarik simpati masyarakat agar Saprudin terpilih menjadi anggota DPRD Lombok Timur (Lotim) Tahun 2019," ujarnya.
Asri Mardianto dalam perkara ini menerima perintah dari Saprudin yang saat itu juga menjabat sebagai anggota legislatif tahun 2018 untuk membentuk tiga Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA), yakni UPJA Lemor Maju, UPJA Cahaya Pelita, dan UPJA Pelita Jaya.
Namun, jaksa menyatakan bahwa pembentukan UPJA tersebut tidak sesuai aturan. Menurut jaksa, pembentukan UPJA harus memiliki struktur organisasi kepengurusan dan melalui pengesahan bupati/wali kota.
"Dalam perkara ini terungkap pembentukan UPJA hanya formalitas," ucap dia.
Meskipun demikian, Saprudin tetap menyerahkan berkas pembentukan UPJA tersebut ke terdakwa Zaeni yang menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian Lombok Timur.
Selain itu, Saprudin memerintahkan saksi Mastur yang menjabat sebagai Kasi Alsintan pada Dinas Pertanian Lombok Timur untuk membuat Surat Keputusan (SK) calon penerima bantuan alsintan.
"Pembuatan daftar penerima alsintan juga tidak dilakukan verifikasi terlebih dahulu," ujarnya.
Nama penerima bantuan alsintan pun dikatakan tidak sesuai dengan pedoman dan ketentuan program.
"Karena tidak sesuai dengan ketentuan, seharusnya, UPJA yang diajukan Saprudin tidak diterima. Namun, Zaeni tetap mengesahkan nama penerima bantuan tersebut," kata Yuli.
Dengan adanya penerbitan SK tersebut, Alsintan pun disalurkan Kementerian Pertanian ke Dinas Pertanian Lombok Timur. Usai penerimaan, Asri bersama Saprudin menyimpan seluruh alsintan.
"Dalam hal ini, Asri dan Saprudin telah mengambil, menyimpan, dan mengelola secara pribadi seluruh alsintan," ucapnya.
Sesuai perincian data, ada 14 unit traktor roda dua dan satu unit traktor roda empat yang dikelola Asri Mardianto. Sedangkan yang dikelola Saprudin sebanyak 16 unit traktor roda dua.
"Untuk 65 unit pompa air dan 117 handsprayer dikelola bersama oleh Saprudin dan Asri," ujar dia.
Dengan uraian dakwaan demikian, penuntut umum menyampaikan bahwa kerugian negara yang muncul dalam perkara ini sebesar Rp3,81 miliar.
Sesuai dengan hasil audit ahli dari BPKP NTB, angka tersebut muncul dari penyaluran alsintan yang tidak sesuai dengan prosedur dan adanya unsur pemanfaatan untuk kepentingan pribadi terdakwa.
"Selain ada yang dikelola secara pribadi, ada juga yang dibagikan ke masing-masing anggota tim sukses Saprudin," kata Yuli Partimi, mewakili jaksa penuntut umum dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan perkara korupsi alsintan di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, Rabu.
Menurut kejaksaan, ada 14 unit traktor roda dua yang dibagikan ke tim sukses terdakwa Saprudin. Enam di antaranya telah disita dan sisanya tidak dapat terdeteksi dalam proses penyidikan kejaksaan.
Untuk alsintan yang ada pada terdakwa Asri Mardianto, terungkap ada yang telah digadaikan dengan harga Rp35 juta dan dibagikan ke pihak keluarga dan rekan terdakwa Asri.
"Tujuannya untuk menarik simpati masyarakat agar Saprudin terpilih menjadi anggota DPRD Lombok Timur (Lotim) Tahun 2019," ujarnya.
Asri Mardianto dalam perkara ini menerima perintah dari Saprudin yang saat itu juga menjabat sebagai anggota legislatif tahun 2018 untuk membentuk tiga Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA), yakni UPJA Lemor Maju, UPJA Cahaya Pelita, dan UPJA Pelita Jaya.
Namun, jaksa menyatakan bahwa pembentukan UPJA tersebut tidak sesuai aturan. Menurut jaksa, pembentukan UPJA harus memiliki struktur organisasi kepengurusan dan melalui pengesahan bupati/wali kota.
"Dalam perkara ini terungkap pembentukan UPJA hanya formalitas," ucap dia.
Meskipun demikian, Saprudin tetap menyerahkan berkas pembentukan UPJA tersebut ke terdakwa Zaeni yang menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian Lombok Timur.
Selain itu, Saprudin memerintahkan saksi Mastur yang menjabat sebagai Kasi Alsintan pada Dinas Pertanian Lombok Timur untuk membuat Surat Keputusan (SK) calon penerima bantuan alsintan.
"Pembuatan daftar penerima alsintan juga tidak dilakukan verifikasi terlebih dahulu," ujarnya.
Nama penerima bantuan alsintan pun dikatakan tidak sesuai dengan pedoman dan ketentuan program.
"Karena tidak sesuai dengan ketentuan, seharusnya, UPJA yang diajukan Saprudin tidak diterima. Namun, Zaeni tetap mengesahkan nama penerima bantuan tersebut," kata Yuli.
Dengan adanya penerbitan SK tersebut, Alsintan pun disalurkan Kementerian Pertanian ke Dinas Pertanian Lombok Timur. Usai penerimaan, Asri bersama Saprudin menyimpan seluruh alsintan.
"Dalam hal ini, Asri dan Saprudin telah mengambil, menyimpan, dan mengelola secara pribadi seluruh alsintan," ucapnya.
Sesuai perincian data, ada 14 unit traktor roda dua dan satu unit traktor roda empat yang dikelola Asri Mardianto. Sedangkan yang dikelola Saprudin sebanyak 16 unit traktor roda dua.
"Untuk 65 unit pompa air dan 117 handsprayer dikelola bersama oleh Saprudin dan Asri," ujar dia.
Dengan uraian dakwaan demikian, penuntut umum menyampaikan bahwa kerugian negara yang muncul dalam perkara ini sebesar Rp3,81 miliar.
Sesuai dengan hasil audit ahli dari BPKP NTB, angka tersebut muncul dari penyaluran alsintan yang tidak sesuai dengan prosedur dan adanya unsur pemanfaatan untuk kepentingan pribadi terdakwa.