Jakarta (ANTARA) - Organisasi hak asasi manusia yang tergabung dalam Forum Asia untuk HAM dan Pembangunan (Forum Asia) pada Rabu mendesak Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk beralih dari Konsensus Lima Poin (5PC) dalam menangani krisis Myanmar.

 

Seperti diketahui, Konsensus Lima Poin menyerukan penghentian kekerasan, dialog dengan semua pemangku kepentingan, menunjuk utusan khusus untuk memfasilitasi mediasi dan dialog, mengizinkan ASEAN untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Myanmar, serta mengizinkan utusan khusus ASEAN untuk mengunjungi dan bertemu dengan pemangku kepentingan di Myanmar.

Forum Asia mengirimkan surat terbuka kepada para pemimpin ASEAN sebelum KTT ke-42 ASEAN yang dijadwalkan pada 9-11 Mei 2023. Surat tersebut ditandatangani oleh 25 organisasi hak asasi manusia di Asia.

“Kami mendesak para pemimpin ASEAN untuk segera beralih dari Konsensus Lima Poin dan menciptakan tindakan yang lebih kuat dan nyata untuk menghentikan kekerasan junta militer dan kekejaman mereka,” katanya dalam sebuah pernyataan yang dimuat di situs web Progressive Voice Myanmar.

Mereka juga mendesak ASEAN untuk segera menyelenggarakan dialog yang konstruktif dan inklusif dengan semua pemangku kepentingan dan pihak terkait, termasuk Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (NUG) sebagai pemerintah yang dipilih secara demokratis, perwakilan dari Organisasi Perlawanan Etnis (EROs), dan masyarakat sipil Myanmar.

Organisasi-organisasi tersebut juga meminta ASEAN untuk bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terutama Dewan Keamanan dan Sekretaris Jenderal dalam upaya menyelesaikan krisis di Myanmar.

Forum Asia mengungkapkan keprihatinan mendalam atas minimnya tindakan nyata yang dilakukan ASEAN dalam mengakhiri krisis di Myanmar.

Pada April 2021, ASEAN dan pimpinan junta militer Min Aung Hlaing menyepakati Konsensus Lima Poin sebagai rencana perdamaian dalam mengatasi krisis Myanmar.

Konsensus menyerukan untuk segera mengakhiri kekerasan; mengadakan dialog di antara semua pihak; penunjukan utusan khusus; mengizinkan bantuan kemanusiaan oleh ASEAN; dan mengizinkan utusan khusus ASEAN mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak.

Namun, dua tahun setelah diadopsi, junta militer Myanmar justru mengabaikan rencana perdamaian tersebut.

Organisasi-organisasi hak asasi manusia itu mengatakan bahwa ASEAN telah gagal tidak hanya meminta junta Myanmar untuk bertanggung jawab atas komitmennya terhadap poin-poin yang disepakati, tetapi juga untuk menyatukan upaya dan kepemimpinan ASEAN dalam menciptakan perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan.

Junta semakin sering melancarkan serangan udara yang menyebabkan kerusakan yang cukup parah dan melukai warga sipil, kata pernyataan itu.

Forum Asia mencatat junta militer telah melakukan 734 serangan udara yang mengakibatkan 356 kematian warga sipil antara Februari 2021 dan Januari 2023.

Mereka berharap ASEAN segera menunjuk utusan khusus untuk Myanmar serta menetapkan mandat yang jelas. Peran utusan khusus harus permanen, berlangsung lebih dari satu tahun, dan harus bertanggung jawab kepada para pemimpin ASEAN dan menteri luar negeri, bukan Ketua ASEAN yang sedang menjabat.

Baca juga: Pemerintah kaji dampak penggunaan "LCT" secara masif ASEAN
Baca juga: ASEAN Indo-Pacific Forum aims to strengthen collaboration:

“Kami sangat berharap bahwa tindakan nyata ini, yang selaras dengan suara rakyat dari bawah, akan didengar dan diimplementasikan dalam KTT mendatang untuk menunjukkan akuntabilitas, kredibilitas, dan efektivitas ASEAN,” katanya.
 



 


Pewarta : Shofi Ayudiana
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024