Jakarta (ANTARA) - Penulis sekaligus Penasihat Taman Bacaan Masyarakat, Maman "Kang Maman" Suherman mengatakan bahwa pondasi peningkatan literasi di Indonesia terletak pada kecakapan pustakawan yang berperan untuk meningkatkan kualitas perpustakaan.
Pernyataan ini disampaikan Kang Maman saat menjadi pembahas buku "Literasi Kunci Negara Produsen" yang ditulis oleh Kepala Perpustakaan Nasional RI Syarif Bando, sekaligus memperingati Hari Buku Nasional dan 43 tahun Perpusnas RI, pada diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
“Mari mengubah level pustakawan kita, bagaimana menjadikan pustakawan sebagai influencer, harus jadi pengepul yang cerdas, dia jadi agregator dan autentikator, investigator, penyedia forum, pemberdaya, penyaksi, panutan,” katanya.
Ia mengatakan, pondasi pertama peningkatan literasi yang harus dipenuhi adalah kelengkapan perpustakaan dan peran pustakawannya. “Kita selalu bangga dengan istilah kita nomor dua perpustakaan terbanyak setelah India, tetapi apakah karakter perpustakaan kita sudah berubah? Terbanyak perpustakaan sekolah kan, yang kalau anak lagi di kelas, perpustakaan buka, dan kalau anak-anaknya istirahat, perpustakaannya juga istirahat," katanya.
"Dan rata-rata perpustakaan di sekolah adalah pekerjaan sampingan guru bahasa Indonesia, bukan pustakawan, sementara Undang-Undang mewajibkan ada pustakawan di sana, tapi apa payung hukum dan sanksinya kalau perpustakaan tidak punya pustakawan?” tambahnya.
Menurutnya, untuk mewujudkan literasi sebagai kunci negara produsen, kita tidak boleh melewati pondasi dasar di tahap pertama, yakni baca, tulis, hitung, dan pembentukan karakter. “Mengapa perpustakaan sedemikian jauh melangkah, sementara baru di tahap pertama saja kita masih punya masalah? Di Indonesia, satu buku diperebutkan oleh 90 orang, sementara di negara literat, setiap orang mampu mengakses minimal tiga buku per tahun, mengapa kita tidak bergulat di sini dulu untuk menyelesaikannya” katanya.
Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), ada enam literasi dasar yang harus dimiliki masyarakat, yakni Literasi Baca Tulis, Literasi Numerasi, Literasi Sains, Literasi Digital, Literasi Finansial. Dan Literasi Budaya dan Kewargaan.
Sebagai Penasihat Taman Bacaan Masyarakat (TBM), Kang Maman mengemukakan bahwa setiap daerah memiliki perpustakaan atau ruang baca dengan level yang berbeda-beda, sehingga penanganan dan solusi yang diterapkan juga mestinya berbeda.
“Taman bacaan masyarakat yang jumlahnya ribuan itu berada pada level yang tidak sama, ada yang mengolah potensi-potensi alam di sekelilingnya dan dijadikan bahan cerita, kita tidak bisa menerapkan keenam tingkatan itu ke TBM, karena levelnya beda. Di Sulawesi Barat misalnya, tidak ada toko buku sebesar Gramedia, harus delapan jam untuk ke Makassar,” katanya.
Untuk itu, ia menekankan bahwa pondasi perpustakaan dengan Pustakawan yang berkualitas menjadi penting, karena pada beberapa titik di luar Jawa, perpustakaan atau TBM bahkan belum paham identifikasi buku yang dibutuhkan seperti apa.
Baca juga: TPBIS basis wujudkan pembangunan perpustakaan
Baca juga: Perpustakaan NTB memaksimalkan pelayanan untuk pustakawan
“Yang penting mereka dapat buku, tetapi misalnya butuh literasi tentang pertanian, yang dikirim malah tentang maritim, jadi kita butuh peningkatan kemampuan untuk mengakses buku yang tepat, akurat, dan terkini,” katanya.
Negara saat ini belum berpihak pada buku dan perpustakaan, untuk itu diharapkan agar peta literasi yang saat ini disusun oleh Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) segera diselesaikan demi kemajuan literasi di Indonesia, demikian Maman Suherman.
Pernyataan ini disampaikan Kang Maman saat menjadi pembahas buku "Literasi Kunci Negara Produsen" yang ditulis oleh Kepala Perpustakaan Nasional RI Syarif Bando, sekaligus memperingati Hari Buku Nasional dan 43 tahun Perpusnas RI, pada diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
“Mari mengubah level pustakawan kita, bagaimana menjadikan pustakawan sebagai influencer, harus jadi pengepul yang cerdas, dia jadi agregator dan autentikator, investigator, penyedia forum, pemberdaya, penyaksi, panutan,” katanya.
Ia mengatakan, pondasi pertama peningkatan literasi yang harus dipenuhi adalah kelengkapan perpustakaan dan peran pustakawannya. “Kita selalu bangga dengan istilah kita nomor dua perpustakaan terbanyak setelah India, tetapi apakah karakter perpustakaan kita sudah berubah? Terbanyak perpustakaan sekolah kan, yang kalau anak lagi di kelas, perpustakaan buka, dan kalau anak-anaknya istirahat, perpustakaannya juga istirahat," katanya.
"Dan rata-rata perpustakaan di sekolah adalah pekerjaan sampingan guru bahasa Indonesia, bukan pustakawan, sementara Undang-Undang mewajibkan ada pustakawan di sana, tapi apa payung hukum dan sanksinya kalau perpustakaan tidak punya pustakawan?” tambahnya.
Menurutnya, untuk mewujudkan literasi sebagai kunci negara produsen, kita tidak boleh melewati pondasi dasar di tahap pertama, yakni baca, tulis, hitung, dan pembentukan karakter. “Mengapa perpustakaan sedemikian jauh melangkah, sementara baru di tahap pertama saja kita masih punya masalah? Di Indonesia, satu buku diperebutkan oleh 90 orang, sementara di negara literat, setiap orang mampu mengakses minimal tiga buku per tahun, mengapa kita tidak bergulat di sini dulu untuk menyelesaikannya” katanya.
Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), ada enam literasi dasar yang harus dimiliki masyarakat, yakni Literasi Baca Tulis, Literasi Numerasi, Literasi Sains, Literasi Digital, Literasi Finansial. Dan Literasi Budaya dan Kewargaan.
Sebagai Penasihat Taman Bacaan Masyarakat (TBM), Kang Maman mengemukakan bahwa setiap daerah memiliki perpustakaan atau ruang baca dengan level yang berbeda-beda, sehingga penanganan dan solusi yang diterapkan juga mestinya berbeda.
“Taman bacaan masyarakat yang jumlahnya ribuan itu berada pada level yang tidak sama, ada yang mengolah potensi-potensi alam di sekelilingnya dan dijadikan bahan cerita, kita tidak bisa menerapkan keenam tingkatan itu ke TBM, karena levelnya beda. Di Sulawesi Barat misalnya, tidak ada toko buku sebesar Gramedia, harus delapan jam untuk ke Makassar,” katanya.
Untuk itu, ia menekankan bahwa pondasi perpustakaan dengan Pustakawan yang berkualitas menjadi penting, karena pada beberapa titik di luar Jawa, perpustakaan atau TBM bahkan belum paham identifikasi buku yang dibutuhkan seperti apa.
Baca juga: TPBIS basis wujudkan pembangunan perpustakaan
Baca juga: Perpustakaan NTB memaksimalkan pelayanan untuk pustakawan
“Yang penting mereka dapat buku, tetapi misalnya butuh literasi tentang pertanian, yang dikirim malah tentang maritim, jadi kita butuh peningkatan kemampuan untuk mengakses buku yang tepat, akurat, dan terkini,” katanya.
Negara saat ini belum berpihak pada buku dan perpustakaan, untuk itu diharapkan agar peta literasi yang saat ini disusun oleh Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) segera diselesaikan demi kemajuan literasi di Indonesia, demikian Maman Suherman.