Mataram (ANTARA) - Jaksa penuntut umum menuntut agar hakim menjatuhkan hukuman pidana kepada mantan Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura (PTPH) Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat M. Tayeb selama 9,5 tahun penjara terkait perkara korupsi dalam program penyaluran bantuan sarana produksi (saprodi) dan cetak sawah baru tahun anggaran 2016.
"Menuntut agar majelis hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa M. Tayeb dengan pidana selama 9 tahun dan 6 bulan penjara," kata Andang Setyo Nugroho mewakili tim jaksa penuntut umum dalam membacakan tuntutan M. Tayeb di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram, Senin.
Selain pidana hukuman, jaksa meminta agar hakim menjatuhkan pidana denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa menyampaikan tuntutan demikian dengan menyatakan perbuatan M. Tayeb dalam perkara ini terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Terkait dengan adanya pasal 18, jaksa pun menuntut agar hakim membebankan terdakwa membayar uang pengganti kerugian negara yang muncul dalam perkara tersebut dengan nilai Rp877 juta.
"Apabila tidak bisa harta kekayaan terdakwa tidak dapat menutupi kerugian negara, maka terdakwa wajib menggantinya dengan menjalani kurungan selama empat tahun," ucap dia.
Andang menjelaskan bahwa jaksa memberikan tuntutan demikian dengan menyatakan bahwa M. Tayeb selama proses persidangan ini kerap memberikan keterangan yang berbelit-belit.
"Hal lainnya yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi," ujarnya.
Dalam perkara ini pun, jaksa turut membacakan tuntutan untuk dua terdakwa lain, yakni mantan Kepala Bidang Rehabilitasi Pengembangan Lahan dan Perlindungan Tanaman Dinas PTPH Kabupaten Bima Muhamad dan Kepala Seksi (Kasi) Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (RPL) Dinas PTPH Kabupaten Bima nonaktif Nur Mayangsari.
Untuk Muhamad, jaksa menuntut pidana 8,5 tahun penjara dengan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Kepada Nur Mayangsari, jaksa menuntut pidana 9,5 tahun penjara dengan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Kepada kedua terdakwa, jaksa turut meminta agar hakim membebankan pembayaran uang pengganti kerugian negara Rp877 juta subsider 4 tahun dan 9 bulan penjara.
Peran kedua terdakwa dalam perkara ini pun dinyatakan jaksa telah terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam perkara ini jaksa menjelaskan bahwa anggaran program penyaluran ini senilai Rp14,4 miliar yang berasal dari Kementerian Pertanian RI. Program ini disalurkan dengan tujuan peningkatan produksi pangan di Kabupaten Bima.
Tercatat ada 241 kelompok tani (poktan) di Kabupaten Bima masuk dalam daftar penerima bantuan dengan rincian Rp8,9 miliar untuk 158 poktan yang mengelola sawah seluas 4.447 hektare dan Rp5,5 miliar untuk 83 poktan dengan luas sawah 2.780 hektare.
Penyaluran anggaran dilakukan secara langsung ke rekening perbankan masing-masing poktan. Proses pencairan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama sebesar Rp10,3 miliar, 70 persen dari total anggaran Rp14,4 miliar, dan 30 persen pada tahap kedua dengan nilai Rp4,1 miliar.
Ketika anggaran tersebut telah masuk ke rekening pribadi poktan, M. Tayeb sebagai pejabat pembuat komitmen mengeluarkan perintah untuk melakukan penarikan tunai kepada poktan. Uang tersebut diminta untuk dikumpulkan kembali di Dinas PTPH Kabupaten Bima.
Namun demikian, pengumpulan anggaran yang seharusnya dikelola mandiri oleh masing-masing poktan itu ditarik kembali atas perintah terdakwa M. Tayeb. Penarikan tidak dibuktikan dengan adanya nota penyerahan.
Setelah uang terkumpul dari poktan, atas perintah M. Tayeb, Muhamad bersama Nur Mayangsari melakukan pembayaran ke CV Mitra Agro Santosa yang beralamat di Jombang, Jawa Timur.
Penunjukan CV Mitra Agro Santosa sebagai penyedia saprodi juga berada di bawah perintah M. Tayeb. Barang-barang yang dibeli dari perusahaan tersebut antara lain, benih padi, pupuk, dan pestisida.
Selain itu, ada beberapa item barang yang tidak bisa disediakan CV Mitra Agro Santosa, namun dibeli dari perusahaan penyedia lokal.
Nur Mayangsari sebagai bawahan Muhamad juga mendapatkan perintah membuat dua nota pesanan saprodi untuk CV Mitra Agro Santosa dengan rincian nota pertama sejumlah Rp8,9 miliar dan untuk pesanan kedua Rp1,7 miliar.
Jaksa pun menilai pemesanan saprodi tersebut tidak sesuai dengan luas sawah poktan yang terdaftar dalam petunjuk pelaksanaan. Sehingga terdapat kekurangan yang kini muncul sebagai nilai kerugian negara sebesar Rp5,1 miliar.
"Menuntut agar majelis hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa M. Tayeb dengan pidana selama 9 tahun dan 6 bulan penjara," kata Andang Setyo Nugroho mewakili tim jaksa penuntut umum dalam membacakan tuntutan M. Tayeb di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram, Senin.
Selain pidana hukuman, jaksa meminta agar hakim menjatuhkan pidana denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa menyampaikan tuntutan demikian dengan menyatakan perbuatan M. Tayeb dalam perkara ini terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Terkait dengan adanya pasal 18, jaksa pun menuntut agar hakim membebankan terdakwa membayar uang pengganti kerugian negara yang muncul dalam perkara tersebut dengan nilai Rp877 juta.
"Apabila tidak bisa harta kekayaan terdakwa tidak dapat menutupi kerugian negara, maka terdakwa wajib menggantinya dengan menjalani kurungan selama empat tahun," ucap dia.
Andang menjelaskan bahwa jaksa memberikan tuntutan demikian dengan menyatakan bahwa M. Tayeb selama proses persidangan ini kerap memberikan keterangan yang berbelit-belit.
"Hal lainnya yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi," ujarnya.
Dalam perkara ini pun, jaksa turut membacakan tuntutan untuk dua terdakwa lain, yakni mantan Kepala Bidang Rehabilitasi Pengembangan Lahan dan Perlindungan Tanaman Dinas PTPH Kabupaten Bima Muhamad dan Kepala Seksi (Kasi) Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (RPL) Dinas PTPH Kabupaten Bima nonaktif Nur Mayangsari.
Untuk Muhamad, jaksa menuntut pidana 8,5 tahun penjara dengan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Kepada Nur Mayangsari, jaksa menuntut pidana 9,5 tahun penjara dengan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Kepada kedua terdakwa, jaksa turut meminta agar hakim membebankan pembayaran uang pengganti kerugian negara Rp877 juta subsider 4 tahun dan 9 bulan penjara.
Peran kedua terdakwa dalam perkara ini pun dinyatakan jaksa telah terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam perkara ini jaksa menjelaskan bahwa anggaran program penyaluran ini senilai Rp14,4 miliar yang berasal dari Kementerian Pertanian RI. Program ini disalurkan dengan tujuan peningkatan produksi pangan di Kabupaten Bima.
Tercatat ada 241 kelompok tani (poktan) di Kabupaten Bima masuk dalam daftar penerima bantuan dengan rincian Rp8,9 miliar untuk 158 poktan yang mengelola sawah seluas 4.447 hektare dan Rp5,5 miliar untuk 83 poktan dengan luas sawah 2.780 hektare.
Penyaluran anggaran dilakukan secara langsung ke rekening perbankan masing-masing poktan. Proses pencairan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama sebesar Rp10,3 miliar, 70 persen dari total anggaran Rp14,4 miliar, dan 30 persen pada tahap kedua dengan nilai Rp4,1 miliar.
Ketika anggaran tersebut telah masuk ke rekening pribadi poktan, M. Tayeb sebagai pejabat pembuat komitmen mengeluarkan perintah untuk melakukan penarikan tunai kepada poktan. Uang tersebut diminta untuk dikumpulkan kembali di Dinas PTPH Kabupaten Bima.
Namun demikian, pengumpulan anggaran yang seharusnya dikelola mandiri oleh masing-masing poktan itu ditarik kembali atas perintah terdakwa M. Tayeb. Penarikan tidak dibuktikan dengan adanya nota penyerahan.
Setelah uang terkumpul dari poktan, atas perintah M. Tayeb, Muhamad bersama Nur Mayangsari melakukan pembayaran ke CV Mitra Agro Santosa yang beralamat di Jombang, Jawa Timur.
Penunjukan CV Mitra Agro Santosa sebagai penyedia saprodi juga berada di bawah perintah M. Tayeb. Barang-barang yang dibeli dari perusahaan tersebut antara lain, benih padi, pupuk, dan pestisida.
Selain itu, ada beberapa item barang yang tidak bisa disediakan CV Mitra Agro Santosa, namun dibeli dari perusahaan penyedia lokal.
Nur Mayangsari sebagai bawahan Muhamad juga mendapatkan perintah membuat dua nota pesanan saprodi untuk CV Mitra Agro Santosa dengan rincian nota pertama sejumlah Rp8,9 miliar dan untuk pesanan kedua Rp1,7 miliar.
Jaksa pun menilai pemesanan saprodi tersebut tidak sesuai dengan luas sawah poktan yang terdaftar dalam petunjuk pelaksanaan. Sehingga terdapat kekurangan yang kini muncul sebagai nilai kerugian negara sebesar Rp5,1 miliar.