Ambon (ANTARA) - Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan terdapat 15 juta warga negara yang tercoret namanya dari kepesertaan BPJS Kesehatan tanpa disertai penjelasan resmi dari pemerintah.
"15 juta warga negara yang dicoret kepesertaan mereka dari BPJS Kesehatan dan saya yakin di Maluku sendiri jumlahnya ada ribuan orang," kata Robert di Ambon, Kamis.
Menurut dia, kondisi ini bisa diketahui seseorang saat sakit dan berurusan dengan rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya.
Ia mengatakan perlu meminta penjelasan pemerintah daerah (pemda), khususnya Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan, terkait hal tersebut sebagai transparansi informasi agar masyarakat bisa mengetahui dengan pasti apakah statusnya masih menjadi peserta BPJS Kesehatan atau tidak.
Jangan sampai, kata dia, orang sudah sakit baru ketahuan kalau dia bukan lagi peserta BPJS Kesehatan. Hal itu harus dijelaskan apakah karena masalah teknis antara BPJS dengan Nomor Induk Kependudukan itu tidak cocok, atau alasan lain seperti ekonomi seseorang sudah meningkat dan tidak lagi menjadi peserta BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI).
"Sebab kita baru pulih dari pandemi COVID-19, lalu ekonomi seseorang dianggap sudah membaik sampai dicoret dari kepesertaan BPJS sehingga perlu diberikan penjelasan," ucapnya.
Pihaknya meminta pemda proaktif turun ke tingkat bawah untuk menanyakan warga yang sudah tidak didaftar ini seperti apa situasinya, apakah sudah meninggal dunia, ekonomi sudah meningkat, atau alasan lain.
Bisa juga terkait masalah teknis dan lebih banyak kesalahan di pemerintah seperti ketidakcocokan data antara kependudukan dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
"Jangan sampai pemerintah yang bermasalah, tetapi masyarakat yang menanggung akibatnya. Tidak boleh terjadi seperti itu," ujar Robert.
Ia menegaskan transparansi informasi memang sangat penting dalam tata kelola kepesertaan BPJS Kesehatan.
"15 juta warga negara yang dicoret kepesertaan mereka dari BPJS Kesehatan dan saya yakin di Maluku sendiri jumlahnya ada ribuan orang," kata Robert di Ambon, Kamis.
Menurut dia, kondisi ini bisa diketahui seseorang saat sakit dan berurusan dengan rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya.
Ia mengatakan perlu meminta penjelasan pemerintah daerah (pemda), khususnya Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan, terkait hal tersebut sebagai transparansi informasi agar masyarakat bisa mengetahui dengan pasti apakah statusnya masih menjadi peserta BPJS Kesehatan atau tidak.
Jangan sampai, kata dia, orang sudah sakit baru ketahuan kalau dia bukan lagi peserta BPJS Kesehatan. Hal itu harus dijelaskan apakah karena masalah teknis antara BPJS dengan Nomor Induk Kependudukan itu tidak cocok, atau alasan lain seperti ekonomi seseorang sudah meningkat dan tidak lagi menjadi peserta BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI).
"Sebab kita baru pulih dari pandemi COVID-19, lalu ekonomi seseorang dianggap sudah membaik sampai dicoret dari kepesertaan BPJS sehingga perlu diberikan penjelasan," ucapnya.
Pihaknya meminta pemda proaktif turun ke tingkat bawah untuk menanyakan warga yang sudah tidak didaftar ini seperti apa situasinya, apakah sudah meninggal dunia, ekonomi sudah meningkat, atau alasan lain.
Bisa juga terkait masalah teknis dan lebih banyak kesalahan di pemerintah seperti ketidakcocokan data antara kependudukan dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
"Jangan sampai pemerintah yang bermasalah, tetapi masyarakat yang menanggung akibatnya. Tidak boleh terjadi seperti itu," ujar Robert.
Ia menegaskan transparansi informasi memang sangat penting dalam tata kelola kepesertaan BPJS Kesehatan.