Yogyakarta (ANTARA) - Warga dan seniman di Kampung Ngadinegaran dan Danunegaran, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta berkolaborasi menggelar festival budaya alternatif untuk melihat kembali sejarah Raden Tumenggung Sumodiningrat.
Festival budaya bertajuk "Amanat Mulia Usaha Kampung (AMUK) 1812" itu dibuka di Kampung Ngadinegaran, Kota Yogyakarta, Minggu malam, ditandai pemotongan tumpeng dan pembacaan Babad Panular. "Festival ini penting untuk melihat sejarah Tumenggung Sumodiningrat. Seorang tokoh penting di Keraton Yogyakarta namun tidak banyak orang yang tahu," kata Penggagas sekaligus Direktur Artistik "AMUK 1812" Agung Kurniawan.
Berdasarkan Babad Panular dan buku yang ditulis sejarawan Inggris Peter Carey, kata Agung, Sumodiningrat adalah adalah patih dalem atau panglima perang Kraton Yogyakarta masa Hamengkubuwana II yang menjadi korban dari serangan Raffles ke Yogyakarta pada tahun 1812.
Rumah Sumodiningrat yang diperkirakan berada di kawasan Ngadinegaran, Kota Yogyakarta dihancurkan pasukan Inggris dan harta bendanya dijarah. "Dia adalah tokoh penting yang menolak campur tangan Inggris atau asing di Keraton Yogyakarta," ujar dia.
Namun, kata Agung, nama Sumodiningrat sendiri seolah dihilangkan sebagai nama bangsawan di Kesultanan Yogyakarta, dan tidak boleh dipakai lagi sampai sekarang. "Yang menarik adalah bagaimana kemudian tokoh sepenting itu dilupakan. Bahkan warga di sini juga tidak tahu," kata dia.
Karena itu, melalui festival budaya AMUK 1812 yang berlangsung sampai 29 Juli 2023, warga serta seniman berkolaborasi melakukan inovasi memahami sejarah lewat serangkaian media seni, tari, lokakarya, pawai, teater, seni rupa.
Media itu, kata Agung, dipakai untuk mempermudah, memperjelas konteks sejarah Sumodiningrat yang rumit dan berlapis-lapis. Menurut dia, inovasi juga diterapkan menggunakan teknologi seperti video mapping untuk menunjang visual panggung dan menampilkan kemasalaluan teater, pawai dengan patung kinetik, serta menciptakan koreografi, diskusi dengan berbagai media perantara.
"Kegiatan ini hadir lebih kontemporer dan multimedia. Dengan menggunakan beragam media menjadi cara yang lebih cair, relevan, dan kritis untuk memahami sejarah tempat tinggalnya," ucap Agung. Ketua Panita AMUK 1812 Ipeh Nur menjelaskan rangkaian festival meliputi teater berjudul "Bedhahe Kraton Ngayogyakarto" yang akan membahas tema penyerangan Inggris ke Keraton Yogyakarta pada tahun 1812.
Baca juga: MDMC DIY-UI mengkaji integrasi mitigasi bencana di Yogyakarta
Baca juga: Jakarta issues policy banning shipping of livestock from anthrax areas
Teater itu akan menempatkan artefak-artefak yang berhubungan dengan penyerbuan Yogyakarta 1812 sebagai subjek dalam penciptaannya. "Artefak-artefak tersebut akan dihubungkan dengan teknologi masa kini yaitu video mapping, " ujar dia.
Adapula kegiatan mural "Lengah Sejarah" yang melibatkan para seniman di area Kampung Ngadinegaran. Berikutnya, performans "Sepehi Jebol Beteng" merupakan arak-arakan menggunakan patung bergerak yang diarak dari Pojok Beteng Utara Timur Yogyakarta menuju Ngadinegaran, bekas kediaman Sumodiningrat. Selain itu, koreografi "Kebo Nglokro" yakni tari yang menggunakan instalasi berbentuk kerbau dan digerakkan dengan komposisi gerak tertentu dan dipentaskan di area kampung Ngadinegaran.
Festival budaya bertajuk "Amanat Mulia Usaha Kampung (AMUK) 1812" itu dibuka di Kampung Ngadinegaran, Kota Yogyakarta, Minggu malam, ditandai pemotongan tumpeng dan pembacaan Babad Panular. "Festival ini penting untuk melihat sejarah Tumenggung Sumodiningrat. Seorang tokoh penting di Keraton Yogyakarta namun tidak banyak orang yang tahu," kata Penggagas sekaligus Direktur Artistik "AMUK 1812" Agung Kurniawan.
Berdasarkan Babad Panular dan buku yang ditulis sejarawan Inggris Peter Carey, kata Agung, Sumodiningrat adalah adalah patih dalem atau panglima perang Kraton Yogyakarta masa Hamengkubuwana II yang menjadi korban dari serangan Raffles ke Yogyakarta pada tahun 1812.
Rumah Sumodiningrat yang diperkirakan berada di kawasan Ngadinegaran, Kota Yogyakarta dihancurkan pasukan Inggris dan harta bendanya dijarah. "Dia adalah tokoh penting yang menolak campur tangan Inggris atau asing di Keraton Yogyakarta," ujar dia.
Namun, kata Agung, nama Sumodiningrat sendiri seolah dihilangkan sebagai nama bangsawan di Kesultanan Yogyakarta, dan tidak boleh dipakai lagi sampai sekarang. "Yang menarik adalah bagaimana kemudian tokoh sepenting itu dilupakan. Bahkan warga di sini juga tidak tahu," kata dia.
Karena itu, melalui festival budaya AMUK 1812 yang berlangsung sampai 29 Juli 2023, warga serta seniman berkolaborasi melakukan inovasi memahami sejarah lewat serangkaian media seni, tari, lokakarya, pawai, teater, seni rupa.
Media itu, kata Agung, dipakai untuk mempermudah, memperjelas konteks sejarah Sumodiningrat yang rumit dan berlapis-lapis. Menurut dia, inovasi juga diterapkan menggunakan teknologi seperti video mapping untuk menunjang visual panggung dan menampilkan kemasalaluan teater, pawai dengan patung kinetik, serta menciptakan koreografi, diskusi dengan berbagai media perantara.
"Kegiatan ini hadir lebih kontemporer dan multimedia. Dengan menggunakan beragam media menjadi cara yang lebih cair, relevan, dan kritis untuk memahami sejarah tempat tinggalnya," ucap Agung. Ketua Panita AMUK 1812 Ipeh Nur menjelaskan rangkaian festival meliputi teater berjudul "Bedhahe Kraton Ngayogyakarto" yang akan membahas tema penyerangan Inggris ke Keraton Yogyakarta pada tahun 1812.
Baca juga: MDMC DIY-UI mengkaji integrasi mitigasi bencana di Yogyakarta
Baca juga: Jakarta issues policy banning shipping of livestock from anthrax areas
Teater itu akan menempatkan artefak-artefak yang berhubungan dengan penyerbuan Yogyakarta 1812 sebagai subjek dalam penciptaannya. "Artefak-artefak tersebut akan dihubungkan dengan teknologi masa kini yaitu video mapping, " ujar dia.
Adapula kegiatan mural "Lengah Sejarah" yang melibatkan para seniman di area Kampung Ngadinegaran. Berikutnya, performans "Sepehi Jebol Beteng" merupakan arak-arakan menggunakan patung bergerak yang diarak dari Pojok Beteng Utara Timur Yogyakarta menuju Ngadinegaran, bekas kediaman Sumodiningrat. Selain itu, koreografi "Kebo Nglokro" yakni tari yang menggunakan instalasi berbentuk kerbau dan digerakkan dengan komposisi gerak tertentu dan dipentaskan di area kampung Ngadinegaran.