Semarang (ANTARA) - Secercah asa bagi kaum perempuan, khususnya yang akan ikut memperebutkan 580 kursi pada Pemilu Anggota DPR RI 2024, setelah Putusan Mahkamah Agung Nomor 24 P/HUM/2023 yang berpihak pada keterwakilan perempuan.

Lebih indahnya lagi, wakil rakyat produk Pemilu 2019, atau sebanyak 20,8 persen (120 perempuan) dari 575 anggota DPR RI, menunjukkan kinerja yang bagus sehingga menarik minat pemilih untuk mencoblos mereka pada Pemilu Anggota DPR RI 2024.

Dengan demikian, keterwakilan perempuan di parlemen bukan hanya sebagai bagian dari politik keterwakilan dalam suatu sistem demokrasi, tempat kedaulatan berada di tangan rakyat dan bersifat inklusif, melainkan juga untuk membawa aspirasi dan kepentingan perempuan yang khas.

Banyak persoalan perempuan, menurut pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini, yang hanya bisa diidentifikasi dan ditransformasi melalui kehadiran langsung perempuan dalam posisi-posisi pengambilan kebijakan. Oleh karena itu, baik politik kehadiran maupun politik gagasan, sama-sama membutuhkan keterwakilan perempuan di parlemen.

Putusan MA pada hari Selasa (29/8) telah menorehkan tinta emas dalam sejarah kepemiluan di Tanah Air. Sebelumnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) selalu berpihak pada keterwakilan perempuan minimal 30 persen dari total anggota legislatif di semua tingkatan, baik DPR, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota.

Pada putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008, misalnya, hakim konstitusi menolak permohonan pemohon terkait dengan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Pasal 55 ini menyebutkan bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor urut. Ayat berikutnya menegaskan bahwa setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan bakal calon.

Bakal calon anggota legislatif (bacaleg) perempuan yang telah diafirmasi hak politiknya oleh UUD NRI Tahun 1945 dan putusan MK tersebut, ternyata belum mampu mencapai minimal 30 persen dari total anggota parlemen. Meski demikian, pada Pemilihan Umum (Pemilu) Anggota DPR RI 2009 terjadi kenaikan cukup signifikan menjadi 18,3 persen (103 kursi) dari total 560 kursi.

Sebelumnya, Pemilu Anggota DPR RI 2004, persentase keterwakilan perempuan sebanyak 12 persen (66 kursi) dari total 550 kursi. Persentase keterwakilan perempuan tergolong rendah ketika Pemilu 2004 menerapkan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem daftar calon terbuka.

Sebelum Pemilu 2014, MK melalui putusannya nomor 20/PUU-XI/2013 mengubah penjelasan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD selengkapnya menjadi, "Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya."

Keterwakilan perempuan di parlemen produk Pemilu 2014 mengalami penurunan menjadi 17,32 persen (97 kursi) dari total 560 kursi DPR RI yang diperebutkan 12 parpol peserta Pemilu 2014 di 77 daerah pemilihan (dapil).

Apakah putusan MA teranyar itu berpengaruh pada tingkat keterpilihan perempuan sedikitnya 174 perempuan atau 30 persen dari 580 kursi DPR RI pada Pemilu 2024? Itu semua bergantung pada masyarakat yang punya hak pilih pada pemilu anggota legislatif mendatang.

Setidaknya 84 daerah pemilihan (dapil) se-Indonesia capaian keterwakilan perempuan minimal 30 persen. Namun, sebelum ada putusan perkara hak uji materi (HUM) itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menetapkan sebanyak 9.925 bakal calon anggota DPR RI dalam daftar calon sementara (DCS) untuk Pemilu 2024.

Bahkan, menurut anggota KPU RI Idham Holik (sumber: ANTARA, 18 Agustus 2023), dari 9.925 bakal calon DPR RI ini rata-rata calon anggota legislatif (caleg) perempuan melebihi batas minimal 30 persen atau mencapai 37,3 persen.

Sebelumnya, merujuk laman https://infopemilu.kpu.go.id/Pemilu/Dprri_tahap_pengajuan), sebanyak 17 partai politik tidak memenuhi pencalonan perempuan di 290 daerah pemilihan Pemilu Anggota DPR RI sebagaimana perintah Pasal 245 UU Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. (Sumber: ANTARA, 15 Agustus 2023)

Inti amar putusan Mahkamah Agung atas Perkara HUM No. 24 P/HUM/2023 mengabulkan keberatan permohonan HUM. Selaku pemohon: Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem); Koalisi Perempuan Indonesia (KPI); Hadar Nafis Gumay; Titi Anggraini, dan Wahidah Suaib. Sementara itu, Ketua KPU RI selaku termohon.

Objek permohonan adalah Pasal 8 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota terhadap UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW).

Majelis MA menyatakan Pasal 8 ayat (2) PKPU No. 10/2023 bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 1984.

Ditegaskan pula bahwa PKPU itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: "Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas."

Dengan demikian, pasal a quo selengkapnya berbunyi sebagai berikut. Pasal 8 ayat (2): Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas.


Berimplikasi

Sejak ada putusan MA tersebut, PKPU No. 10/2023 tidak lagi punya kekuatan hukum mengikat. Hal ini tentunya akan berimplikasi pada tahapan yang sedang berlangsung. Mengacu pada PKPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024, pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota mulai 24 April 2023 hingga 25 November 2023.

Masih ada waktu untuk mencermati keterwakilan perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil) selagi KPU belum menetapkan daftar calon tetap (DCT) pada tanggal 4 November 2023. Diketahui bahwa DCS diumumkan pada tanggal 19—23 Agustus 2023. KPU lantas memberi kesempatan masyarakat untuk mencermati dan memberi masukan terhadap nama-nama tersebut, 19—28 Agustus 2023.

Seyogianya sebelum merevisi PKPU No. 10/2023, penyelenggara pemilu melibatkan pemangku kepentingan, terutama 18 partai politik, agar peserta pemilu ini menyiapkan bakal calon anggota legislatif dari kalangan perempuan.

Baca juga: Diharapkan perusahaan wujudkan kenyamanan kerja tanpa diskriminasi bagi perempuan
Baca juga: Kaum perempuan menyalurkan bantuan untuk korban banjir di Bima NTB

Semua yang berkepentingan pada Pemilu 2024 perlu mencermati kembali data setiap dapil terkait dengan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dari total bakal calon anggota legislatif. Apabila masih berpatokan Pasal 8 ayat (2) PKPU No. 10/2023, perlu ada perubahan setelah revisi PKPU pencalonan tersebut. Pada prinsipnya, aturan main itu tetap berpayung pada Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

 
 

Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024