Mataram (ANTARA) - Pagi di halaman Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), beberapa bulan lalu masih terekam jelas bagi siapa saja yang mengikuti perkara Agus Buntung.
Wajahnya yang tenang memasuki ruang sidang, kontras dengan dinamika hukum yang membelitnya, mulai dakwaan berlapis, keberatan hukum yang ditarik panjang di ruang peradilan, hingga opini publik yang terbelah antara solidaritas terhadap penyandang disabilitas dan seruan keras untuk keadilan bagi korban.
Kini, putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) menutup seluruh ruang perdebatan itu. Hukuman yang semula 10 tahun penjara dinaikkan menjadi 12 tahun, sesuai dengan tuntutan jaksa.
Putusan majelis hakim agung pada 25 November 2025 tersebut menegaskan bahwa hukum tetap harus menjaga marwahnya, sekalipun pelakunya adalah penyandang tunadaksa.
Dalam sistem peradilan, kasasi adalah ruang terakhir menguji penerapan hukum. Ketika MA menyatakan permohonan kasasi terdakwa ditolak, di sana terdapat pesan bahwa hukum substantif pada tingkat sebelumnya telah dianggap tepat, baik dalam pembuktian, penalaran, maupun penerapan pasal.
Namun, di balik keputusan yang final itu, perkara Agus justru membuka kembali tanya yang lebih luas. Seberapa siap sistem peradilan pidana Indonesia menangani perkara kekerasan seksual, ketika pelaku maupun korban memiliki kondisi khusus.
Pertanyaan ini penting, bukan karena menyoal “siapa yang harus dimenangkan”, melainkan bagaimana negara memastikan bahwa keadilan berpihak pada kebenaran, melindungi yang rentan, dan tidak mereduksi kompleksitas perkara kekerasan seksual menjadi sekadar hitungan tahun hukuman.
Keadilan dan kerentanan
Kasus Agus Buntung memperlihatkan betapa rumitnya perkara kekerasan seksual di ruang pengadilan. Di satu sisi, hukum harus mengakui bahwa penyandang disabilitas berhak mendapat akses peradilan yang setara, termasuk penyesuaian prosedur dan pertimbangan khusus, sebagaimana diatur dalam UU Disabilitas.
Di sisi lain, perkara kekerasan seksual memiliki karakteristik pembuktian yang tidak sederhana, seringkali minim saksi independen, dan sangat sarat relasi kuasa antara pelaku dan korban.
Majelis hakim tingkat pertama dan banding menyatakan Agus terbukti melakukan pencabulan lebih dari satu kali kepada beberapa korban dan melanggar Pasal 6 huruf c juncto Pasal 15 UU TPKS.
Fakta bahwa perbuatan dilakukan berulang kali menjadi faktor pemberat, sebagaimana dicatat jaksa dalam tuntutan 12 tahun penjara. Mahkamah Agung kemudian meneguhkan konstruksi itu dengan menambah hukuman dari 10 menjadi 12 tahun.
Dalam praktik hukum, putusan yang makin berat biasanya dibangun dari dua hal, yakni kualitas pembuktian pada tingkat sebelumnya dianggap cukup kuat, dan alasan permohonan kasasi tidak memenuhi syarat untuk dibenarkan.
Di sinilah jalan cerita hukum berbeda dari narasi publik. Pukul rata opini yang berkembang di masyarakat cenderung melihat perkara pelecehan seksual melalui kacamata emosional. Apakah mereka percaya pada korban atau pada terdakwa.
Namun, bagi majelis hakim, ukuran yang ditimbang adalah kesesuaian fakta persidangan dengan unsur pasal yang dilanggar.
Di titik inilah polemik muncul. Penasihat hukum terdakwa menilai pengadilan mengabaikan kebutuhan khusus penyandang disabilitas dan terlalu mengandalkan keterangan satu korban.
Majelis hakim menolak pandangan itu. Bagi hakim, kecacatan fisik tidak serta-merta meniadakan kemampuan seseorang melakukan perbuatan pidana, terlebih jika rangkaian bukti dan kronologi dinilai konsisten.
Perdebatan seperti ini sebenarnya menunjukkan benturan dua prinsip dasar, yakni perlindungan terhadap kelompok rentan dan hak korban atas keadilan. Keduanya sama-sama dijamin undang-undang.
Permasalahannya, dalam perkara yang sensitif dan minim saksi, seperti kekerasan seksual, menemukan titik temu kedua prinsip ini bukan perkara mudah.
Namun, MA dalam putusannya justru mempertegas pesan bahwa perlindungan tidak berarti impunitas. Penyandang disabilitas berhak mendapat pemenuhan akomodasi yang layak, tetapi tidak berarti kebal hukum.
Dalam relasi yang asimetris antara pelaku dan korban, yang harus diutamakan adalah memastikan kebenaran substantif tidak kabur oleh narasi yang menempatkan kerentanan pelaku sebagai alasan pemaaf.
Bagi publik, putusan ini bisa dibaca sebagai penguatan terhadap UU TPKS yang baru tiga tahun berjalan. Bagi sistem peradilan, ini menjadi contoh bagaimana pengadilan tinggi negara memberi sinyal kehati-hatian dalam menangani kasus kekerasan seksual yang sarat perdebatan publik.
Dan bagi para korban, keputusan itu menghadirkan pesan simbolik bahwa suara mereka tidak ditiadakan oleh kekaburan teknis hukum.
Membenahi sistem
Telaah atas putusan MA ini seharusnya membawa diskusi kita ke persoalan yang lebih strategis, yakni bagaimana memperkuat sistem pembuktian dan layanan bagi korban serta terdakwa berkebutuhan khusus.
Perdebatan panjang tentang kesaksian tunggal, visum, dan relevansi status disabilitas dalam perkara ini memperlihatkan bahwa ekosistem penegakan hukum masih menyisakan banyak ruang kosong.
Pertama, perkara kekerasan seksual membutuhkan dukungan pembuktian yang lebih kuat. Tidak adanya visum dalam beberapa perkara kerap menjadi celah pembelaan, meski sejatinya UU TPKS telah mengakui bahwa kekerasan seksual tidak selalu meninggalkan luka fisik.
Pemerintah dan aparat penegak hukum harus memperluas penggunaan alat bukti forensik modern, termasuk psikologi forensik, pendampingan pemulihan, dan asesmen risiko perilaku.
Kedua, perkara yang melibatkan penyandang disabilitas, baik sebagai korban maupun pelaku, memerlukan protokol khusus.
UU Disabilitas sudah mengamanatkan akomodasi yang layak, tetapi implementasinya tidak selalu terlihat dalam praktik.
Setiap pengadilan harus memiliki panduan teknis pemeriksaan yang mempertimbangkan hambatan fisik, komunikasi, atau kognitif penyandang disabilitas, tanpa mengurangi ketegasan hukum.
Ketiga, publik harus dididik tentang nuansa hukum dalam perkara kekerasan seksual.
Kasus seperti Agus sering menjadi ruang perdebatan emosional karena masyarakat terbiasa melihat perkara pidana sebagai “siapa melawan siapa”. Padahal, inti dari setiap proses hukum adalah menemukan kebenaran melalui bukti, bukan mencari simpati melalui narasi.
Putusan MA yang menaikkan hukuman menjadi 12 tahun seharusnya menjadi momentum memperluas diskusi tentang reformasi peradilan pidana.
Bukan sekadar memaknai perkara ini sebagai kekalahan atau kemenangan salah satu pihak, tetapi bagaimana hukum bergerak melindungi yang rentan, memulihkan korban, dan memastikan tidak ada celah bias terhadap siapa pun, termasuk mereka yang lahir, tumbuh, atau hidup dalam kondisi berbeda.
Di ruang publik, perkara ini adalah pengingat bahwa keadilan tidak selalu hadir dalam bentuk yang memuaskan semua pihak. Namun, ia harus berdiri di atas prinsip, yakni melindungi yang lemah, menindak yang bersalah, dan memastikan prosesnya bersih dari prasangka.
Di balik putusan 12 tahun itu, pesan yang ingin ditegaskan negara sederhana bahwa hukum tidak boleh buta terhadap kerentanan, tetapi juga tidak boleh lumpuh oleh narasi yang menyimpang dari kebenaran.
Kasus Agus adalah cermin bahwa sistem kita tengah berproses menjadi lebih peka dan responsif dalam menangani perkara kekerasan seksual. Proses itu belum selesai.
Namun, setiap putusan, termasuk putusan MA ini, adalah bagian dari jalan panjang menegakkan keadilan yang tidak hanya menghukum, tetapi juga mencerahkan, mendidik, dan menguatkan masyarakat agar lebih manusiawi dalam melihat korban maupun pelaku.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menakar ulang keadilan di kasasi Agus
