Denpasar (ANTARA) - Majelis Desa Adat Kota Denpasar, Bali menyatakan sepakat untuk turut bersinergi dalam mensosialisasikan pencegahan HIV-AIDS dan menghapus stigma bagi orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) agar tidak sampai putus pengobatan antiretroviral.
"Desa adat siap saja bekerja sama, mari kita mensosialisasikan bersama dan diupayakan dibuat perarem (keputusan adat tertulis)," kata Ketua MDA Denpasar Anak Agung Ketut Sudiana dalam diskusi di Denpasar, Sabtu.
Diskusi bertajuk Penanganan HIV-AIDS di Desa Adat itu juga menghadirkan perwakilan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar, Ketua Pengurus Forum Peduli AIDS (FPA) dr Made Oka Negara, perwakilan komunitas atau relawan Forum Peduli AIDS dan undangan lainnya.
Sudiana berpandangan sosialisasi mengenai pencegahan HIV-AIDS ini penting dan sangat relevan untuk melindungi masyarakat di desa adat supaya hidupnya sehat. Demikian pula para prajuru (pengurus) di desa penting untuk lebih proaktif sehingga terbangun kesadaran masyarakat untuk senantiasa melakukan pencegahan.
"Kita banyak punya nilai kearifan lokal, salah satunya Vasudhaiva Kutumbhakam yang maknanya kita semua bersaudara apapun kondisinya," kata Sudiana.
Menurut dia, jika nilai kearifan lokal dimasukkan dalam sosialisasi diharapkan bisa mengurangi stigma terhadap ODHIV dan terbangun sikap saling menghormati. Demikian pula dengan keterlibatan adat diyakini lebih mudah mensosialisasikan karena konsepnya sekala niskala (jasmani rohani) dan akan lebih berhasil dengan peran pentahelix (akademisi, pemerintah, masyarakat, pihak swasta, dan media) secara bersama-sama.
Ketua Pengurus Forum Peduli AIDS (FPA) Kota Denpasar dr Made Oka Negara mengatakan jika stigma soal ODHIV masih terus terjadi, maka mereka yang ODHIV akan semakin tidak berani membuka diri dan menjadi takut untuk mengakses layanan kesehatan.
"Padahal bagi yang ODHIV itu obatnya sudah ada, tinggal rutin untuk dikonsumsi. Desa adat juga sangat fleksibel, bisa pula upaya pencegahan HIV-AIDS ini dimasukkan dalam perarem," ucapnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga sempat menyinggung mengenai target Indonesia Bebas AIDS tahun 2030 dengan Program Three Zero haruslah melibatkan berbagai pihak dan komponen masyarakat. Three Zero yakni Zero New HIV Infection (nol infeksi infeksi HIV baru), Zero AIDS Related Death (nol kematian karena AIDS) dan Zero Discrimination (nol stigmatisasi).
Ni Wayan Sriwiyanti dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar mengakui selama ini koordinasi lebih banyak dilakukan dengan perbekel (kepala desa) dibandingkan dengan pihak desa adat.
Baca juga: Ambon dorong percepatan realisasi anggaran penanganan HIV/AIDS
Baca juga: Tangerang Selatan sediakan 26 layanan kesehatan penderita HIV
Sedangkan sosialisasi yang pernah dilakukan dengan desa adat terkait cara pemulasaran jenazah bagi mereka yang ODHIV. "Stigma ODHIV masih tinggi di masyarakat sehingga banyak akhirnya yang menyembunyikan statusnya," katanya
"Desa adat siap saja bekerja sama, mari kita mensosialisasikan bersama dan diupayakan dibuat perarem (keputusan adat tertulis)," kata Ketua MDA Denpasar Anak Agung Ketut Sudiana dalam diskusi di Denpasar, Sabtu.
Diskusi bertajuk Penanganan HIV-AIDS di Desa Adat itu juga menghadirkan perwakilan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar, Ketua Pengurus Forum Peduli AIDS (FPA) dr Made Oka Negara, perwakilan komunitas atau relawan Forum Peduli AIDS dan undangan lainnya.
Sudiana berpandangan sosialisasi mengenai pencegahan HIV-AIDS ini penting dan sangat relevan untuk melindungi masyarakat di desa adat supaya hidupnya sehat. Demikian pula para prajuru (pengurus) di desa penting untuk lebih proaktif sehingga terbangun kesadaran masyarakat untuk senantiasa melakukan pencegahan.
"Kita banyak punya nilai kearifan lokal, salah satunya Vasudhaiva Kutumbhakam yang maknanya kita semua bersaudara apapun kondisinya," kata Sudiana.
Menurut dia, jika nilai kearifan lokal dimasukkan dalam sosialisasi diharapkan bisa mengurangi stigma terhadap ODHIV dan terbangun sikap saling menghormati. Demikian pula dengan keterlibatan adat diyakini lebih mudah mensosialisasikan karena konsepnya sekala niskala (jasmani rohani) dan akan lebih berhasil dengan peran pentahelix (akademisi, pemerintah, masyarakat, pihak swasta, dan media) secara bersama-sama.
Ketua Pengurus Forum Peduli AIDS (FPA) Kota Denpasar dr Made Oka Negara mengatakan jika stigma soal ODHIV masih terus terjadi, maka mereka yang ODHIV akan semakin tidak berani membuka diri dan menjadi takut untuk mengakses layanan kesehatan.
"Padahal bagi yang ODHIV itu obatnya sudah ada, tinggal rutin untuk dikonsumsi. Desa adat juga sangat fleksibel, bisa pula upaya pencegahan HIV-AIDS ini dimasukkan dalam perarem," ucapnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga sempat menyinggung mengenai target Indonesia Bebas AIDS tahun 2030 dengan Program Three Zero haruslah melibatkan berbagai pihak dan komponen masyarakat. Three Zero yakni Zero New HIV Infection (nol infeksi infeksi HIV baru), Zero AIDS Related Death (nol kematian karena AIDS) dan Zero Discrimination (nol stigmatisasi).
Ni Wayan Sriwiyanti dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar mengakui selama ini koordinasi lebih banyak dilakukan dengan perbekel (kepala desa) dibandingkan dengan pihak desa adat.
Baca juga: Ambon dorong percepatan realisasi anggaran penanganan HIV/AIDS
Baca juga: Tangerang Selatan sediakan 26 layanan kesehatan penderita HIV
Sedangkan sosialisasi yang pernah dilakukan dengan desa adat terkait cara pemulasaran jenazah bagi mereka yang ODHIV. "Stigma ODHIV masih tinggi di masyarakat sehingga banyak akhirnya yang menyembunyikan statusnya," katanya