Jakarta (ANTARA) -
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) RI Hasto Wardoyo menyatakan bahwa kelas orang tua hebat yang diinisiasi oleh BKKBN merupakan salah satu upaya untuk mengurangi angka perceraian di Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan Hasto pada diskusi bersama media di Jakarta pada Jumat terkait kolaborasi pelayanan Keluarga Berencana (KB) dalam percepatan penurunan stunting.
"Program BKKBN ada Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), dan yang utama kelas orang tua hebat yang juga kita selenggarakan secara virtual, ini langkah konkret agar tidak membuat anak stres, biar kekerasan dalam rumah tangganya menurun," kata dia.
Ia menegaskan, melalui kelas orang tua hebat ini, BKKBN berupaya untuk tidak hanya membangun keluarga dari sisi raganya saja, tetapi juga dari segi jiwanya.
"Program BKKBN sekarang sudah bergeser sekarang ke kualitas, jadi meskipun jumlah anak sedikit, tetapi badannya harus tinggi agar tidak stunting, tapi itu kualitas yang masih sangat kebendaan dan kualitatif, otaknya bagus, tapi belum memikirkan jiwanya. Fokus kita ke depan, jiwanya yang harus kita bangun," ucapnya.
Ia juga menanggapi kasus perceraian yang masih tinggi di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, ada 2.000 pasangan yang bercerai selama satu semester di tahun 2023.
"Perceraian cukup tinggi, dalam semester pertama 2023 sudah ada 2.000 yang cerai. Ini baru yang cerai, belum lagi yang keluarganya tidak harmonis, jadi ini puncak gunung esnya. Penyebab utama perceraian, 70 persen itu karena perbedaan pendapat antara suami dan istri, sepele," ujar dia.
Selain perbedaan pendapat, menurutnya, permasalahan ekonomi juga menjadi faktor yang banyak menimbulkan perceraian di Indonesia.
"Sebab kedua, itu karena faktor ekonomi, termasuk judi, jadi gara-gara rendahnya faktor ekonomi ini, dia terpikir untuk judi. Saya yakin dia tidak sempat berpikir menggunakan uangnya untuk hal-hal yang positif, tidak bisa mengoptimalkannya, misal untuk memikirkan gizi keluarga," katanya.
Ia memaparkan, judi termasuk salah satu gangguan mental dan emosional yang kerap dialami oleh generasi milenial saat ini, karena berdasarkan data yang disampaikan Hasto, saat ini setiap 9 dari 100 orang menderita gangguan mental.
"Jadi kalau dulu pertama kali BKKBN fokus membangun kuantitas dengan menekan jumlah penduduk, kemudian fokus kedua beberapa tahun ini kita membangun kualitas penduduk, dan yang ketiga, fokus kita mulai tahun depan yakni pembangunan jiwa," ujar dia.
Baca juga: Penganggaran stunting di daerah harus transparan dan jelas
Baca juga: Pembangunan jiwa jadi fokus bangun keluarga 2024
Ia berpesan kepada seluruh tim pendamping keluarga yang terdiri dari para bidan, tim pendamping PKK, dan kader untuk menguatkan program revolusi mental dan pembangunan jiwa ini hingga ke tingkat RT/RW, sehingga keluarga Indonesia bisa lebih siap menghadapi persaingan global di masa depan.
Pernyataan ini disampaikan Hasto pada diskusi bersama media di Jakarta pada Jumat terkait kolaborasi pelayanan Keluarga Berencana (KB) dalam percepatan penurunan stunting.
"Program BKKBN ada Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), dan yang utama kelas orang tua hebat yang juga kita selenggarakan secara virtual, ini langkah konkret agar tidak membuat anak stres, biar kekerasan dalam rumah tangganya menurun," kata dia.
Ia menegaskan, melalui kelas orang tua hebat ini, BKKBN berupaya untuk tidak hanya membangun keluarga dari sisi raganya saja, tetapi juga dari segi jiwanya.
"Program BKKBN sekarang sudah bergeser sekarang ke kualitas, jadi meskipun jumlah anak sedikit, tetapi badannya harus tinggi agar tidak stunting, tapi itu kualitas yang masih sangat kebendaan dan kualitatif, otaknya bagus, tapi belum memikirkan jiwanya. Fokus kita ke depan, jiwanya yang harus kita bangun," ucapnya.
Ia juga menanggapi kasus perceraian yang masih tinggi di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, ada 2.000 pasangan yang bercerai selama satu semester di tahun 2023.
"Perceraian cukup tinggi, dalam semester pertama 2023 sudah ada 2.000 yang cerai. Ini baru yang cerai, belum lagi yang keluarganya tidak harmonis, jadi ini puncak gunung esnya. Penyebab utama perceraian, 70 persen itu karena perbedaan pendapat antara suami dan istri, sepele," ujar dia.
Selain perbedaan pendapat, menurutnya, permasalahan ekonomi juga menjadi faktor yang banyak menimbulkan perceraian di Indonesia.
"Sebab kedua, itu karena faktor ekonomi, termasuk judi, jadi gara-gara rendahnya faktor ekonomi ini, dia terpikir untuk judi. Saya yakin dia tidak sempat berpikir menggunakan uangnya untuk hal-hal yang positif, tidak bisa mengoptimalkannya, misal untuk memikirkan gizi keluarga," katanya.
Ia memaparkan, judi termasuk salah satu gangguan mental dan emosional yang kerap dialami oleh generasi milenial saat ini, karena berdasarkan data yang disampaikan Hasto, saat ini setiap 9 dari 100 orang menderita gangguan mental.
"Jadi kalau dulu pertama kali BKKBN fokus membangun kuantitas dengan menekan jumlah penduduk, kemudian fokus kedua beberapa tahun ini kita membangun kualitas penduduk, dan yang ketiga, fokus kita mulai tahun depan yakni pembangunan jiwa," ujar dia.
Baca juga: Penganggaran stunting di daerah harus transparan dan jelas
Baca juga: Pembangunan jiwa jadi fokus bangun keluarga 2024
Ia berpesan kepada seluruh tim pendamping keluarga yang terdiri dari para bidan, tim pendamping PKK, dan kader untuk menguatkan program revolusi mental dan pembangunan jiwa ini hingga ke tingkat RT/RW, sehingga keluarga Indonesia bisa lebih siap menghadapi persaingan global di masa depan.