Berau, Kaltim (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Kaltim memfasilitasi percepatan pengakuan delapan Masyarakat Hukum Adat (MHA) pada tiga kecamatan di Kabupaten Kutai Timur (Kutim), sehingga dari lima MHA yang sudah mendapat pengakuan, diharapkan tahun ini ada 13 MHA.
"Banyak manfaat ketika MHA sudah mendapat pengakuan, salah satunya adalah untuk menguatkan eksistensi dan melindungi keberadaan mereka," ujar Kabid Pemberdayaan, Kelembagaan dan Sosial Budaya Masyarakat pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Provinsi Kaltim Roslindawaty di Kabupaten Berau, Rabu.
Fasilitasi yang dilakukan DPMPD Kaltim tersebut berupa pelatihan penyusunan data sosial etnografi MHA bagi perangkat desa/kelurahan dan lembaga adat, sebagai langkah percepatan Pemprov Kaltim untuk mendorong pengesahan MHA. Pelatihan penyusunan data sosial etnografi MHA tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Pemprov Kaltim pun telah menerbitkan regulasi, yakni Peraturan Daerah Provinsi Kaltim Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Kaltim. Ia menjelaskan dalam pelatihan yang mengacu pada regulasi tersebut, hal yang menjadi penekanan adalah menyusun dokumen tentang cara memetakan pada enam aspek yakni identitas masyarakat, harta benda adat, kesejarahan, wilayah adat, hukum adat, dan kelembagaan adat.
Sebanyak delapan MHA di Kabupaten Kutim yang difasilitasi itu adalah enam MHA berada di kawasan Wehea, Kecamatan Muara Wahau yakni Desa Deabeq, Bea Nehas, Diaq Lay, Jakluay, Nehas Liah Bing, dan di Desa Long Wehea.
Dua lainnya adalah MHA Basap di Desa Tebangan Lembak, Kecamatan Bengalon, kemudian MHA Kayan Umaq Lekan di Desa Miau Baru, Kecamatan Kongbeng. Sedangkan lima MHA yang telah mendapat pengakuan dari bupati masing-masing adalah dua MHA di Kabupaten Paser, kemudian tiga MHA di Kabupaten Kutai Barat. Khusus di Kutai Barat, meski sudah mendapat pengakuan, tapi ada dokumen data sosial dalam tahap penyempurnaan.
Sebenarnya, kata dia, di Kaltim ada 25 MHA yang difasilitasi untuk percepatan mendapat pengakuan dan perlindungan dari pemerintah, namun dari jumlah itu, masih ada yang belum menyempurnakan dokumen.
Baca juga: Menkopolhukam mengajak semua pihak dorong pengesahan RUU masyarakat hukum adat
Baca juga: Perlu menjaga eksistensi masyarakat hukum adat di Maluku
“Kami berharap kepada MHA yang belum melengkapi dokumen sebagai syarat verifikasi, segera melengkapi berkas agar bisa diajukan ke Panitia MHA, sehingga proses selanjutnya adalah bisa diajukan ke bupati atau wali kota untuk dilakukan pengakuan dan perlindungan,” demikian Roslindawaty.
"Banyak manfaat ketika MHA sudah mendapat pengakuan, salah satunya adalah untuk menguatkan eksistensi dan melindungi keberadaan mereka," ujar Kabid Pemberdayaan, Kelembagaan dan Sosial Budaya Masyarakat pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Provinsi Kaltim Roslindawaty di Kabupaten Berau, Rabu.
Fasilitasi yang dilakukan DPMPD Kaltim tersebut berupa pelatihan penyusunan data sosial etnografi MHA bagi perangkat desa/kelurahan dan lembaga adat, sebagai langkah percepatan Pemprov Kaltim untuk mendorong pengesahan MHA. Pelatihan penyusunan data sosial etnografi MHA tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Pemprov Kaltim pun telah menerbitkan regulasi, yakni Peraturan Daerah Provinsi Kaltim Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Kaltim. Ia menjelaskan dalam pelatihan yang mengacu pada regulasi tersebut, hal yang menjadi penekanan adalah menyusun dokumen tentang cara memetakan pada enam aspek yakni identitas masyarakat, harta benda adat, kesejarahan, wilayah adat, hukum adat, dan kelembagaan adat.
Sebanyak delapan MHA di Kabupaten Kutim yang difasilitasi itu adalah enam MHA berada di kawasan Wehea, Kecamatan Muara Wahau yakni Desa Deabeq, Bea Nehas, Diaq Lay, Jakluay, Nehas Liah Bing, dan di Desa Long Wehea.
Dua lainnya adalah MHA Basap di Desa Tebangan Lembak, Kecamatan Bengalon, kemudian MHA Kayan Umaq Lekan di Desa Miau Baru, Kecamatan Kongbeng. Sedangkan lima MHA yang telah mendapat pengakuan dari bupati masing-masing adalah dua MHA di Kabupaten Paser, kemudian tiga MHA di Kabupaten Kutai Barat. Khusus di Kutai Barat, meski sudah mendapat pengakuan, tapi ada dokumen data sosial dalam tahap penyempurnaan.
Sebenarnya, kata dia, di Kaltim ada 25 MHA yang difasilitasi untuk percepatan mendapat pengakuan dan perlindungan dari pemerintah, namun dari jumlah itu, masih ada yang belum menyempurnakan dokumen.
Baca juga: Menkopolhukam mengajak semua pihak dorong pengesahan RUU masyarakat hukum adat
Baca juga: Perlu menjaga eksistensi masyarakat hukum adat di Maluku
“Kami berharap kepada MHA yang belum melengkapi dokumen sebagai syarat verifikasi, segera melengkapi berkas agar bisa diajukan ke Panitia MHA, sehingga proses selanjutnya adalah bisa diajukan ke bupati atau wali kota untuk dilakukan pengakuan dan perlindungan,” demikian Roslindawaty.