Mataram (Antara NTB) - Ketua DPRD Nusa Tenggara Barat H Umar Said akan melakukan perlawanan melalui jalur hukum di pengadilan dan mahkamah partai menyusul pemberhentian dirinya dari keanggotaan Partai Golkar.
"Saya akan menempuh jalur hukum, namun sebelum itu, saya akan bersurat ke dewan pimpinan pusat, dewan pertimbangan dan mahkamah partai, untuk mengklarifikasi proses pemberhentian yang saya nilai tidak sesuai prosedur," kata Umar Said di Mataram, Rabu.
Dia menjelaskan akan berusaha melakukan pembelaan di tingkat partai terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh, sesuai dengan AD/ART partai. Kemudian mengajukan keberatan atas PAW yang dinilai tidak sesuai prosedur. Ketika langkah-langkah itu tidak diindahkan maka jelas menempuh jalur hukum.
Sebab, kata dia, pemberhentian dirinya dari keanggotaan partai, kuat dugaan ada motif kekuasaan untuk melancarkan Indrus Marham menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar jelang pelaksanaan musyawarah nasional.
Namun, sebelum itu dilakukan, ia mengingatkan untuk bisa mendepaknya susah karena SK sebagai ketua DPRD NTB diterbitkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), bahkan sebelum dicabut dirinya masih memegang jabatan pimpinan DPRD.
"Mereka jangan tersenyum dulu, apalagi ini masih panjang prosesnya dan belum tentu tuntas dua atau tiga tahun," ujarnya.
Kata dia, di dalam Undang Undang MD3, jelas disebutkan, tidak bisa dieksekusi atau didepak sebelum ada putusan hukum tetap dari pengadilan dan lainnya. Belum lagi yang diatur dalam tata tertib DPRD, di mana ada enam syarat proses pergantian yang akan dilalui sebelum melakukan PAW.
Dari enam item itu, satu di antaranya pencabutan kartu tanda anggota (KTA), hanya saja proses pencabutan itu pun melalui mekanisme jelas, yakni apabila melanggar AD/ART partai.
"Selama ini, apakah pernah saya melanggar AD/ART. Kalau pun ada anggapan kubu (Suhaili, red) pernah, jelas ada kajian dan tidak bisa seenaknya tanpa melalui proses mahkamah partai," jelasnya.
Terlebih lagi, menurutnya, jika melihat legal formal kubu yang memecatnya tersebut bisa dikatakan tidak legal. Artinya, di saat penunjukan sebagai Ketua DPD I Golkar NTB menggunakan hasil Musda Praya (Lombok Tengah). Padahal waktu itu terjadi kevakuman di tubuh Golkar, sehingga diterbitkan SK Menkumham yang mengembalikan ke Munas Riau untuk menyukseskan munas pada Mei nanti.
Karena itu, Umar yang juga pernah menjabat Ketua DPRD Kabupaten Lombok Barat ini mengaku aneh terhadap proses pemecatannya, karena yang boleh memecat kader partai bukan pimpinan partai itu sendiri, melainkan keputusan mahkamah partai dengan dasar dan proses yang jelas.
Umar menambahkan, kalaupun pemecatan melalui proses dan mekanisme jelas lantas diputuskan kalah, dirinya siap menerima dengan lapang dada. Namun, kali ini, ia menilai pemberhentiannya tidak sesuai atau cacat prosedur.
"Jadi nanti jangan sampai mereka kena batunya sendiri, karena semua ini belum berakhir," katanya. (*)
"Saya akan menempuh jalur hukum, namun sebelum itu, saya akan bersurat ke dewan pimpinan pusat, dewan pertimbangan dan mahkamah partai, untuk mengklarifikasi proses pemberhentian yang saya nilai tidak sesuai prosedur," kata Umar Said di Mataram, Rabu.
Dia menjelaskan akan berusaha melakukan pembelaan di tingkat partai terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh, sesuai dengan AD/ART partai. Kemudian mengajukan keberatan atas PAW yang dinilai tidak sesuai prosedur. Ketika langkah-langkah itu tidak diindahkan maka jelas menempuh jalur hukum.
Sebab, kata dia, pemberhentian dirinya dari keanggotaan partai, kuat dugaan ada motif kekuasaan untuk melancarkan Indrus Marham menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar jelang pelaksanaan musyawarah nasional.
Namun, sebelum itu dilakukan, ia mengingatkan untuk bisa mendepaknya susah karena SK sebagai ketua DPRD NTB diterbitkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), bahkan sebelum dicabut dirinya masih memegang jabatan pimpinan DPRD.
"Mereka jangan tersenyum dulu, apalagi ini masih panjang prosesnya dan belum tentu tuntas dua atau tiga tahun," ujarnya.
Kata dia, di dalam Undang Undang MD3, jelas disebutkan, tidak bisa dieksekusi atau didepak sebelum ada putusan hukum tetap dari pengadilan dan lainnya. Belum lagi yang diatur dalam tata tertib DPRD, di mana ada enam syarat proses pergantian yang akan dilalui sebelum melakukan PAW.
Dari enam item itu, satu di antaranya pencabutan kartu tanda anggota (KTA), hanya saja proses pencabutan itu pun melalui mekanisme jelas, yakni apabila melanggar AD/ART partai.
"Selama ini, apakah pernah saya melanggar AD/ART. Kalau pun ada anggapan kubu (Suhaili, red) pernah, jelas ada kajian dan tidak bisa seenaknya tanpa melalui proses mahkamah partai," jelasnya.
Terlebih lagi, menurutnya, jika melihat legal formal kubu yang memecatnya tersebut bisa dikatakan tidak legal. Artinya, di saat penunjukan sebagai Ketua DPD I Golkar NTB menggunakan hasil Musda Praya (Lombok Tengah). Padahal waktu itu terjadi kevakuman di tubuh Golkar, sehingga diterbitkan SK Menkumham yang mengembalikan ke Munas Riau untuk menyukseskan munas pada Mei nanti.
Karena itu, Umar yang juga pernah menjabat Ketua DPRD Kabupaten Lombok Barat ini mengaku aneh terhadap proses pemecatannya, karena yang boleh memecat kader partai bukan pimpinan partai itu sendiri, melainkan keputusan mahkamah partai dengan dasar dan proses yang jelas.
Umar menambahkan, kalaupun pemecatan melalui proses dan mekanisme jelas lantas diputuskan kalah, dirinya siap menerima dengan lapang dada. Namun, kali ini, ia menilai pemberhentiannya tidak sesuai atau cacat prosedur.
"Jadi nanti jangan sampai mereka kena batunya sendiri, karena semua ini belum berakhir," katanya. (*)