Banda Aceh (ANTARA) - Filolog Aceh Tarmizi Abdul Hamid memamerkan manuskrip yang menceritakan tentang keberadaan rempah Aceh sejak abad 16 selama perhelatan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke 8 mulai 4-12 November 2023, di rumah manuskrip Aceh.

"Pameran ini kita buka selama momentum PKA-8 sebagai tempat edukasi rempah Aceh kepada masyarakat," kata Filolog Aceh yang akrab disapa Cek Midi, di Banda Aceh, Rabu.

Cek Midi mengatakan, kisah dan alur perjalanan rempah banyak terekam dalam manuskrip kuno Aceh, rempah tidak hanya sebatas produk herbal dan bumbu masakan. Tetapi, juga menjadi ikon dan falsafah hidup masyarakat Aceh.

"Hal tersebut terekam banyak pada toponimi dan juga catatan utama di dalam beragam manuskrip. Rempah-rempah yang tertulis di dalam manuskrip merupakan karya pendahulu yang harus dilanjutkan pengetahuan dan pengembangannya saat ini," ujarnya.

Ia menjelaskan, rempah sebagai bahan obat-obatan banyak tercantum dalam karangan kitab ulama-ulama Aceh seperti dalam kitab Tajul Muluk, Mujarabah, dan masih banyak kitab lainnya dengan judul berbeda membahas rempah sebagai ramuan.

Selain itu, kata Cek Midi, dalam manuskrip rempah juga disebut hasil alam itu sebagai kekuatan orang Aceh pada masa kesultanan. Dengan rempah, Aceh bisa membangun diplomasi dengan negara asing terutama Turki.

Tidak hanya itu, Aceh mampu membuat bandar negosiasi dengan pedagang rempah dunia di Pulau Penang, Malaysia pada masa kesultanan dahulu, sehingga diplomasi dan kekuatan militer terbentuk. Rakyat juga bisa makmur hanya dengan rempah saja.

"Paru sultan dulu menggunakan hasil bumi yang ada di permukaan, tidak pernah digali seperti emas, batu bara, minyak karena hasil rempah sudah bisa memakmurkan rakyat Aceh malah bisa diekspor dan melakukan hubungan dengan negara asing," katanya.

Tak hanya itu, dalam manuskrip juga disebutkan rempah menjadi alat tukar masyarakat. Pada masa dulu, masyarakat menukar rempah dengan kertas-kertas berkualitas, dirham, dinar, dan piring-piring keramik.

"Piring-piring yang terbuat dari keramik itu bukan dibuat oleh orang Aceh, melainkan bangsa lain yang ditukar dengan rempah," ujarnya.

Kehebatan rempah membuatnya disebut sebagai emas hitam bagi masyarakat Aceh. Adapun komoditas rempah yang menjadi kekuatan kesultanan Aceh adalah lada hitam dan lada putih. Kemudian, kayu manis, kemenyan, dan sarang burung walet. Andalan utama lada sehingga Aceh disebut bangsa ladam Cek Midi berpendapat, kekuatan rempah Aceh terancam penggerusan lahan yang saat ini banyak digunakan untuk perkebunan sawit dan pertambangan. Akibatnya, beberapa rempah sudah mulai langka dan sulit ditemukan.

"Paling langka kemiri, kulit gaharu, cendana, karena keterbatasan lahan yang sudah banyak berubah menjadi perkebunan sawit," katanya.

Baca juga: Sebanyak 46 peserta ikuti lomba video kreatif Taman Budaya Maluku
Baca juga: Kemendikbudristek mendukung program perlindungan diri musisi tradisional

Cek Midi berharap PKA-8 ini mampu menjadi momentum bagi pemerintah dan masyarakat Aceh untuk mengembalikan kekuatan rempah yang sudah melesu di abad 21 ini.

"Ke depan mari kita ambil potensi dari rempah ini menjadi sesuatu kekuatan ekonomi bagi rakyat Aceh. Tidak hanya pariwisata, hasil bumi. Tapi, potensi yang sudah ada masa lalu kita manfaatkan lebih baik lagi," demikian Cek Midi.

 

 

Pewarta : Rahmat Fajri
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024