Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kawiyan memandang regulasi yang menjamin informasi layak untuk anak perlu dibuat oleh pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sehingga dapat melindungi anak dari konten berbahaya di media sosial.
"Semua orang bisa bikin berita sendiri tanpa konfirmasi dan tanpa diseleksi, (kemudian) di-upload, itu menjadi konsumsi anak-anak. Jadi perlunya informasi layak anak. Tentu dalam hal ini Kominfo untuk membuat regulasi yang menjamin adanya informasi untuk anak-anak," kata Kawiyan dalam Rapat Koordinasi KPAI yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Menurut Kawiyan, Undang-Undang (UU) atau regulasi lain terkait perlindungan anak dari ancaman pornografi yang sudah ada saat ini sebetulnya sudah cukup lengkap. Meski begitu, masih terdapat aspek-aspek yang belum sempurna dan masih harus ditunjang dengan peraturan komprehensif yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Kawiyan mengingatkan bahwa anak-anak yang tumbuh di masa sekarang, terutama yang melek digital, berpotensi terkena paparan konten pornografi melalui dunia maya. Dia mengandaikan media sosial seperti hutan belantara yang tidak hanya menyediakan informasi-informasi positif tetapi juga hal-hal berbahaya yang bisa membawa dampak negatif pada anak.
"Anak-anak kita (di Indonesia) ada sekitar 37,7 juta jiwa, anak yang masih dalam kategori anak. Kemudian 88,9 persen dari jumlah itu yang berumur 5-17 tahun, mereka mengakses internet dan sebagian besar dari mereka mengonsumsi media sosial," ujar dia.
KPAI mencatat, kasus pada anak yang menjadi korban kejahatan pornografi dan dunia maya menempati posisi kelima dalam klaster perlindungan khusus anak. Berdasarkan data KPAI periode Januari hingga Oktober 2023, terdapat 25 aduan yang masuk terkait kasus tersebut.
KPAI juga telah melakukan pengawasan pada sejumlah kasus di subklaster anak korban pornografi dan kejahatan siber, salah satunya termasuk kasus eksploitasi seksual melalui panggilan video yang terjadi di Lampung Tengah.
Kawiyan mengatakan anak-anak yang bermukim di luar pulau Jawa juga tidak menjamin bahwa mereka aman dari dampak negatif teknologi komunikasi. Menurut temuan KPAI, masih ada anak-anak yang menjadi korban pornografi dan kejahatan siber (cybercrime) di beberapa daerah.
Baca juga: KPAI sebut masyarakat perlu terlibat awasi pengasuhan dan kekerasan terhadap anak
Baca juga: Kota Batu-KPAI perkuat pengawasan cegah eksploitasi anak
"Posisi anak yang berada di daerah itu juga bukan jaminan mereka aman dari pengaruh teknologi komunikasi yang sangat canggih. Buktinya bahwa kasus-kasus seperti itu juga terjadi di beberapa daerah," kata Kawiyan.
"Semua orang bisa bikin berita sendiri tanpa konfirmasi dan tanpa diseleksi, (kemudian) di-upload, itu menjadi konsumsi anak-anak. Jadi perlunya informasi layak anak. Tentu dalam hal ini Kominfo untuk membuat regulasi yang menjamin adanya informasi untuk anak-anak," kata Kawiyan dalam Rapat Koordinasi KPAI yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Menurut Kawiyan, Undang-Undang (UU) atau regulasi lain terkait perlindungan anak dari ancaman pornografi yang sudah ada saat ini sebetulnya sudah cukup lengkap. Meski begitu, masih terdapat aspek-aspek yang belum sempurna dan masih harus ditunjang dengan peraturan komprehensif yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Kawiyan mengingatkan bahwa anak-anak yang tumbuh di masa sekarang, terutama yang melek digital, berpotensi terkena paparan konten pornografi melalui dunia maya. Dia mengandaikan media sosial seperti hutan belantara yang tidak hanya menyediakan informasi-informasi positif tetapi juga hal-hal berbahaya yang bisa membawa dampak negatif pada anak.
"Anak-anak kita (di Indonesia) ada sekitar 37,7 juta jiwa, anak yang masih dalam kategori anak. Kemudian 88,9 persen dari jumlah itu yang berumur 5-17 tahun, mereka mengakses internet dan sebagian besar dari mereka mengonsumsi media sosial," ujar dia.
KPAI mencatat, kasus pada anak yang menjadi korban kejahatan pornografi dan dunia maya menempati posisi kelima dalam klaster perlindungan khusus anak. Berdasarkan data KPAI periode Januari hingga Oktober 2023, terdapat 25 aduan yang masuk terkait kasus tersebut.
KPAI juga telah melakukan pengawasan pada sejumlah kasus di subklaster anak korban pornografi dan kejahatan siber, salah satunya termasuk kasus eksploitasi seksual melalui panggilan video yang terjadi di Lampung Tengah.
Kawiyan mengatakan anak-anak yang bermukim di luar pulau Jawa juga tidak menjamin bahwa mereka aman dari dampak negatif teknologi komunikasi. Menurut temuan KPAI, masih ada anak-anak yang menjadi korban pornografi dan kejahatan siber (cybercrime) di beberapa daerah.
Baca juga: KPAI sebut masyarakat perlu terlibat awasi pengasuhan dan kekerasan terhadap anak
Baca juga: Kota Batu-KPAI perkuat pengawasan cegah eksploitasi anak
"Posisi anak yang berada di daerah itu juga bukan jaminan mereka aman dari pengaruh teknologi komunikasi yang sangat canggih. Buktinya bahwa kasus-kasus seperti itu juga terjadi di beberapa daerah," kata Kawiyan.