Jakarta (ANTARA) - Ombudsman RI mendorong pemerintah daerah memiliki dana penyangga sosial atau dana darurat untuk memberikan perlindungan kesehatan warga.
"Jadi ada instrumen lain di luar BPJS Kesehatan dalam perlindungan kesehatan," ujar Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng dalam bincang dengan media di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan saat ini pencapaian Universal Health Coverage (UHC) atau cakupan kesehatan menyeluruh yang digaungkan pemerintah daerah sampai saat ini masih cenderung kuantitatif, dan tidak mempertimbangkan pelayanan kesehatan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang tidak aktif.
Ia mengemukakan berdasarkan catatan Ombudsman RI per Desember 2023 terdapat sebanyak 54 juta peserta tidak aktif.
"Artinya, ada 54 juta warga negara kalau dia sakit tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan BPJS. Secara formal terdaftar tapi tidak terlindungi, artinya ketika mau akses layanan kesehatan tidak aktif lagi," katanya.
Ia memaparkan terdapat beberapa sebab peserta JKN tidak aktif, diantaranya masyarakat tidak mengetahui sudah tidak terdaftar peserta dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), masyarakat Penerima Bantuan Iuran (PBI) beralih segmen menjadi peserta mandiri tanpa pemberitahuan, peserta mandiri lupa membayar iuran, serta terhambat membayar iuran karena terhambat ekonomi.
"Maka itu transparansi data penting, siapa saja yang keluar dan masuk," ucapnya.
Di sisi lain, kata dia, juga masih ada masyarakat yang belum menjadi peserta program JKN, diantaranya karena tidak terjangkau sosialisasi, hingga kurang sadar akan perlindungan kesehatan.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Abdul Kadir mengatakan di samping sudah mencapai 'Universal Health Coverage' atau UHC, target berikutnya adalah transformasi mutu layanan.
"Target kita sekarang adalah transformasi mutu layanan sehingga mutu layanan itu yang kami perhatikan, masyarakat lebih cepat dilayani, tidak diskriminatif, mudah dan setara," kata Abdul Kadir usai dialog dengan Komisi IX DPR-RI dan instansi terkait di Manado, Sulut, Jumat (8/12).
Baca juga: Natuna terima penghargaan pelayanan publik dari Ombudsman RI
Baca juga: Ombudsman NTB menyesalkan sikap sekolah larang siswa ikuti ujian semester
Dari transformasi mutu layanan tersebut, kata dia, tidak lagi didapatkan misalnya ada pasien yang membayar iuran biaya atau mengambil obat di luar obat-obatan JKN.
Abdul Kadir mengatakan, untuk mencapai transformasi mutu layanan tersebut, dia berharap adanya komitmen rumah sakit memberikan layanan mudah, cepat dan setara kepada semua pasien. Hal berikutnya, tidak ada diskriminasi antara pasien JKN dan pasien umum, semua mendapatkan layanan dalam waktu dan tempat yang sama.
"Jadi ada instrumen lain di luar BPJS Kesehatan dalam perlindungan kesehatan," ujar Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng dalam bincang dengan media di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan saat ini pencapaian Universal Health Coverage (UHC) atau cakupan kesehatan menyeluruh yang digaungkan pemerintah daerah sampai saat ini masih cenderung kuantitatif, dan tidak mempertimbangkan pelayanan kesehatan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang tidak aktif.
Ia mengemukakan berdasarkan catatan Ombudsman RI per Desember 2023 terdapat sebanyak 54 juta peserta tidak aktif.
"Artinya, ada 54 juta warga negara kalau dia sakit tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan BPJS. Secara formal terdaftar tapi tidak terlindungi, artinya ketika mau akses layanan kesehatan tidak aktif lagi," katanya.
Ia memaparkan terdapat beberapa sebab peserta JKN tidak aktif, diantaranya masyarakat tidak mengetahui sudah tidak terdaftar peserta dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), masyarakat Penerima Bantuan Iuran (PBI) beralih segmen menjadi peserta mandiri tanpa pemberitahuan, peserta mandiri lupa membayar iuran, serta terhambat membayar iuran karena terhambat ekonomi.
"Maka itu transparansi data penting, siapa saja yang keluar dan masuk," ucapnya.
Di sisi lain, kata dia, juga masih ada masyarakat yang belum menjadi peserta program JKN, diantaranya karena tidak terjangkau sosialisasi, hingga kurang sadar akan perlindungan kesehatan.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Abdul Kadir mengatakan di samping sudah mencapai 'Universal Health Coverage' atau UHC, target berikutnya adalah transformasi mutu layanan.
"Target kita sekarang adalah transformasi mutu layanan sehingga mutu layanan itu yang kami perhatikan, masyarakat lebih cepat dilayani, tidak diskriminatif, mudah dan setara," kata Abdul Kadir usai dialog dengan Komisi IX DPR-RI dan instansi terkait di Manado, Sulut, Jumat (8/12).
Baca juga: Natuna terima penghargaan pelayanan publik dari Ombudsman RI
Baca juga: Ombudsman NTB menyesalkan sikap sekolah larang siswa ikuti ujian semester
Dari transformasi mutu layanan tersebut, kata dia, tidak lagi didapatkan misalnya ada pasien yang membayar iuran biaya atau mengambil obat di luar obat-obatan JKN.
Abdul Kadir mengatakan, untuk mencapai transformasi mutu layanan tersebut, dia berharap adanya komitmen rumah sakit memberikan layanan mudah, cepat dan setara kepada semua pasien. Hal berikutnya, tidak ada diskriminasi antara pasien JKN dan pasien umum, semua mendapatkan layanan dalam waktu dan tempat yang sama.