Mataram (Antara NTB) - Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia Nusa Tenggara Barat berniat memboikot pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Malaysia karena berbagai kebijakan yang kontroversial.
"Kalau calon TKI masih dibebani berbagai pungutan lebih baik diboikot saja," kata Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) Nusa Tenggara Barat (NTB) H Muhammadun, di Mataram, Senin.
Berbagai pungutan yang memberatkan calon TKI adalah pungutan "endorse" paspor sebesar Rp1 juta dan pungutan pengambilan sidik jari sebesar Rp320 ribu.
Pungutan itu dilakukan oleh dua perusahaan berbeda dari Malaysia yang menempatkan perwakilannya di Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, Konsulat Jenderal Malaysia di Pontianak (Kalimantan Barat), Medan (Sumatera Utara), dan Pekanbaru (Riau).
Menurut Muhammadun, pungutan itu awalnya akan ditarik dari majikan setelah TKI resmi bekerja di Malaysia, namun pada kenyataannya semuanya dibayarkan di Indonesia, melalui perbankan tanpa ada bukti penerimaan.
Selain harus membayar pengurusan "endorse" paspor dan pengambilan sidik jari, ada juga perusahaan dari Malaysia yang akan menarik pungutan sebesar Rp420 ribu untuk pengurusan catatan hidup calon TKI.
Namun kebijakan itu ditolak oleh Apjati karena akan semakin memberatkan calon TKI, sehingga sampai saat ini belum resmi diberlakukan di seluruh daerah.
"Dari pada memperbanyak TKI ilegal ke Malaysia, lebih baik diboikot saja sekalian. Kasihan warga Indonesia, belum bekerja sudah diperas dulu. Saya pribadi tidak masalah menghentikan pengiriman demi kemaslahatan umat," ujarnya.
Muhammadun yang juga pernah merasakan pahit manisnya menjadi seorang TKI menyarankan pemerintah sebaiknya lebih fokus menempatkan warga yang ingin bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit di Kalimantan, dan Sulawesi.
Sektor perkebunan kelapa sawit di kedua daerah tersebut saat ini sedang berkembang dan bahkan memasok untuk kebutuhan internasional, selain memenuhi permintaan dalam negeri.
Pemerintah, katanya, juga bisa mengarahkan warga yang belum memperoleh pekerjaan layak untuk mengikuti program transmigrasi ke beberapa provinsi, termasuk Kalimantan dan Sulawesi.
"Nanti para transmigran bisa diarahkan mengembangkan kelapa sawit karena pengembangan komoditas perkebunan tersebut di Indonesia, dinilai sudah mengalahkan Malaysia," ucapnya. (*)
"Kalau calon TKI masih dibebani berbagai pungutan lebih baik diboikot saja," kata Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) Nusa Tenggara Barat (NTB) H Muhammadun, di Mataram, Senin.
Berbagai pungutan yang memberatkan calon TKI adalah pungutan "endorse" paspor sebesar Rp1 juta dan pungutan pengambilan sidik jari sebesar Rp320 ribu.
Pungutan itu dilakukan oleh dua perusahaan berbeda dari Malaysia yang menempatkan perwakilannya di Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, Konsulat Jenderal Malaysia di Pontianak (Kalimantan Barat), Medan (Sumatera Utara), dan Pekanbaru (Riau).
Menurut Muhammadun, pungutan itu awalnya akan ditarik dari majikan setelah TKI resmi bekerja di Malaysia, namun pada kenyataannya semuanya dibayarkan di Indonesia, melalui perbankan tanpa ada bukti penerimaan.
Selain harus membayar pengurusan "endorse" paspor dan pengambilan sidik jari, ada juga perusahaan dari Malaysia yang akan menarik pungutan sebesar Rp420 ribu untuk pengurusan catatan hidup calon TKI.
Namun kebijakan itu ditolak oleh Apjati karena akan semakin memberatkan calon TKI, sehingga sampai saat ini belum resmi diberlakukan di seluruh daerah.
"Dari pada memperbanyak TKI ilegal ke Malaysia, lebih baik diboikot saja sekalian. Kasihan warga Indonesia, belum bekerja sudah diperas dulu. Saya pribadi tidak masalah menghentikan pengiriman demi kemaslahatan umat," ujarnya.
Muhammadun yang juga pernah merasakan pahit manisnya menjadi seorang TKI menyarankan pemerintah sebaiknya lebih fokus menempatkan warga yang ingin bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit di Kalimantan, dan Sulawesi.
Sektor perkebunan kelapa sawit di kedua daerah tersebut saat ini sedang berkembang dan bahkan memasok untuk kebutuhan internasional, selain memenuhi permintaan dalam negeri.
Pemerintah, katanya, juga bisa mengarahkan warga yang belum memperoleh pekerjaan layak untuk mengikuti program transmigrasi ke beberapa provinsi, termasuk Kalimantan dan Sulawesi.
"Nanti para transmigran bisa diarahkan mengembangkan kelapa sawit karena pengembangan komoditas perkebunan tersebut di Indonesia, dinilai sudah mengalahkan Malaysia," ucapnya. (*)