Jakarta (ANTARA) - Pakar komunikasi politik Universitas Indonesia Effendi Gazali mengatakan etika dalam berkomunikasi menjadi penting agar Indonesia memiliki ketahanan terhadap potensi segregasi dan penunggangan kepentingan tertentu, terutama menjelang Pemilu 2024.
"Sering ada pihak yang memang punya niat untuk memecah belah kelompok masyarakat, agar elektabilitas dirinya, kelompoknya, partainya, atau capresnya bisa naik mengalahkan lawan-lawannya," kata Effendi dalam keterangan yang diterima ANTARA di Jakarta, Jumat.
Effendi mengatakan etika sering dianggap sebagai kompas moral penopang peradaban manusia, karena sangat menentukan unsur kepantasan di setiap kejadian.
Pada konteks kehidupan bernegara di Indonesia, lanjutnya, menjadi penting untuk mengusahakan hadirnya etika dalam keseharian masing-masing individu.
Oleh karena itu, Effendi berharap agar semua pihak yang ikut andil dalam pendewasaan demokrasi di Indonesia tidak asal bicara, yang disadari atau tidak, berpotensi membuat jurang pemisah antar masyarakat.
Dibutuhkan kecerdasan berkomunikasi untuk menyadari bahwa seluruh kebebasan ada batasnya, termasuk dalam berbicara, tambahnya.
Batas tak terlihat itu, jika dilanggar, justru akan mencederai kebebasan orang lain atau mungkin menghancurkan kesatuan dan kekompakan dari kelompok masyarakat lainnya.
"Maka dari itu, terutama bagi para figur atau tokoh masyarakat yang biasanya mendapatkan porsi lebih untuk tampil di khalayak ramai, sudah sepatutnya menjadikan pengalaman sebagai guru terbaik," tuturnya.
Dia juga menilai adanya kebutuhan untuk saling mengingatkan di antara semua tokoh yang sering dapat kesempatan berbicara di depan publik.
Menurut Effendi, tanpa sengaja, perpecahan bisa terjadi karena kalimat-kalimat kecil yang semula tidak dibayangkan dan bahkan bisa berakibat fatal.
"Mulai dari humor, anekdot, hingga pengandaian-pengandaian yang tidak pas disampaikan di ruang publik. Alangkah baiknya jika semua orang bisa bersatu dan punya alarm pada diri sendiri untuk menghentikan perkataan yang berpotensi merusak kerukunan," kata Effendi.
Dia mengatakan bahwa etika sebenarnya adalah konsep yang berlaku secara umum dan harus terus dijunjung tinggi terlepas apa pun keadaannya.
"Mereka yang dengan gampang melakukan pencemaran nama baik, menyebar fitnah atau hoaks, memang harus diajak mencoba memahami bagaimana rasanya jika diri mereka, keluarganya, atau teman dekatnya menjadi korban. Dalam banyak upaya advokasi, contoh-contoh kasus dan diskusi seperti ini, sangat membantu," katanya.
Dia menambahkan dalam beberapa materi film, misalnya, biasanya ditampilkan konsekuensi korban pencemaran nama baik yang berlangsung amat panjang dan sangat sulit untuk bangkit kembali.
Sehingga, menurut Effendi, harus ada kesadaran bersama tentang akibat negatif dan penderitaan panjangnya atau pada akhirnya harus dilakukan penegakan hukum yang diawali dengan pendidikan, dan sesudah itu baru diberikan semacam efek jera.
Dalam komunikasi politik, lanjutnya, mempraktikkan etika juga berarti menyampaikan kebenaran yang didasarkan pada fakta lengkap.
"Apabila dalam kesempatan tertentu kita dibatasi oleh waktu, seperti pada acara debat atau talk show, maka kita dahulukan untuk menyampaikan fakta-fakta yang lebih penting," katanya.
Effendi juga menyarankan agar komunikasi atau menyampaikan pendapat dibuat menarik sekaligus santun.
"Kalau anak sekarang bilangnya santuy. Artinya, gaya komunikasi kita agar dibuat menarik, tidak perlu kasar. Kadang ada orang yang punya gaya bahasa atau gaya penyampaian relatif kasar," terang Effendi.
Dengan beretika, dia menilai seorang komunikator juga bertanggung jawab dalam menyampaikan pesan penuh makna kepada mereka yang mendengarkan.
Komunikasi yang efektif bukan sekadar meningkatkan popularitas pembicara, tetapi juga bermanfaat bagi pendengarnya.
Ketika etika dijunjung tinggi dalam berkomunikasi, maka orang yang berbicara memiliki tanggung jawab moral untuk tidak berbohong demi tujuannya.
Dia juga tidak boleh berdusta hanya karena ingin menutupi kepentingan diri sendiri, kelompoknya, atau kelompok lain yang memintanya.
Menerapkan etika dalam berkomunikasi berarti seseorang tidak boleh memaksa pihak tertentu untuk melakukan suatu kebohongan.
"Komunikasi yang efektif dan beretika juga mampu mencerdaskan publik dengan sesuatu yang baru. Oleh karenanya, ada andil besar bagi orang yang berbicara jika ia mampu mencerdaskan kehidupan bangsa melalui apa yang disampaikannya," ujar Effendi.
Baca juga: Pakar Komunikasi Unram menyoroti kelemahan Lembaga Penyiaran Publik
"Sering ada pihak yang memang punya niat untuk memecah belah kelompok masyarakat, agar elektabilitas dirinya, kelompoknya, partainya, atau capresnya bisa naik mengalahkan lawan-lawannya," kata Effendi dalam keterangan yang diterima ANTARA di Jakarta, Jumat.
Effendi mengatakan etika sering dianggap sebagai kompas moral penopang peradaban manusia, karena sangat menentukan unsur kepantasan di setiap kejadian.
Pada konteks kehidupan bernegara di Indonesia, lanjutnya, menjadi penting untuk mengusahakan hadirnya etika dalam keseharian masing-masing individu.
Oleh karena itu, Effendi berharap agar semua pihak yang ikut andil dalam pendewasaan demokrasi di Indonesia tidak asal bicara, yang disadari atau tidak, berpotensi membuat jurang pemisah antar masyarakat.
Dibutuhkan kecerdasan berkomunikasi untuk menyadari bahwa seluruh kebebasan ada batasnya, termasuk dalam berbicara, tambahnya.
Batas tak terlihat itu, jika dilanggar, justru akan mencederai kebebasan orang lain atau mungkin menghancurkan kesatuan dan kekompakan dari kelompok masyarakat lainnya.
"Maka dari itu, terutama bagi para figur atau tokoh masyarakat yang biasanya mendapatkan porsi lebih untuk tampil di khalayak ramai, sudah sepatutnya menjadikan pengalaman sebagai guru terbaik," tuturnya.
Dia juga menilai adanya kebutuhan untuk saling mengingatkan di antara semua tokoh yang sering dapat kesempatan berbicara di depan publik.
Menurut Effendi, tanpa sengaja, perpecahan bisa terjadi karena kalimat-kalimat kecil yang semula tidak dibayangkan dan bahkan bisa berakibat fatal.
"Mulai dari humor, anekdot, hingga pengandaian-pengandaian yang tidak pas disampaikan di ruang publik. Alangkah baiknya jika semua orang bisa bersatu dan punya alarm pada diri sendiri untuk menghentikan perkataan yang berpotensi merusak kerukunan," kata Effendi.
Dia mengatakan bahwa etika sebenarnya adalah konsep yang berlaku secara umum dan harus terus dijunjung tinggi terlepas apa pun keadaannya.
"Mereka yang dengan gampang melakukan pencemaran nama baik, menyebar fitnah atau hoaks, memang harus diajak mencoba memahami bagaimana rasanya jika diri mereka, keluarganya, atau teman dekatnya menjadi korban. Dalam banyak upaya advokasi, contoh-contoh kasus dan diskusi seperti ini, sangat membantu," katanya.
Dia menambahkan dalam beberapa materi film, misalnya, biasanya ditampilkan konsekuensi korban pencemaran nama baik yang berlangsung amat panjang dan sangat sulit untuk bangkit kembali.
Sehingga, menurut Effendi, harus ada kesadaran bersama tentang akibat negatif dan penderitaan panjangnya atau pada akhirnya harus dilakukan penegakan hukum yang diawali dengan pendidikan, dan sesudah itu baru diberikan semacam efek jera.
Dalam komunikasi politik, lanjutnya, mempraktikkan etika juga berarti menyampaikan kebenaran yang didasarkan pada fakta lengkap.
"Apabila dalam kesempatan tertentu kita dibatasi oleh waktu, seperti pada acara debat atau talk show, maka kita dahulukan untuk menyampaikan fakta-fakta yang lebih penting," katanya.
Effendi juga menyarankan agar komunikasi atau menyampaikan pendapat dibuat menarik sekaligus santun.
"Kalau anak sekarang bilangnya santuy. Artinya, gaya komunikasi kita agar dibuat menarik, tidak perlu kasar. Kadang ada orang yang punya gaya bahasa atau gaya penyampaian relatif kasar," terang Effendi.
Dengan beretika, dia menilai seorang komunikator juga bertanggung jawab dalam menyampaikan pesan penuh makna kepada mereka yang mendengarkan.
Komunikasi yang efektif bukan sekadar meningkatkan popularitas pembicara, tetapi juga bermanfaat bagi pendengarnya.
Ketika etika dijunjung tinggi dalam berkomunikasi, maka orang yang berbicara memiliki tanggung jawab moral untuk tidak berbohong demi tujuannya.
Dia juga tidak boleh berdusta hanya karena ingin menutupi kepentingan diri sendiri, kelompoknya, atau kelompok lain yang memintanya.
Menerapkan etika dalam berkomunikasi berarti seseorang tidak boleh memaksa pihak tertentu untuk melakukan suatu kebohongan.
"Komunikasi yang efektif dan beretika juga mampu mencerdaskan publik dengan sesuatu yang baru. Oleh karenanya, ada andil besar bagi orang yang berbicara jika ia mampu mencerdaskan kehidupan bangsa melalui apa yang disampaikannya," ujar Effendi.
Baca juga: Pakar Komunikasi Unram menyoroti kelemahan Lembaga Penyiaran Publik